6. Duda Gula

652 110 6
                                    

Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan terakhirku dengan Mas Duda. Selama itupula tak lagi aku melihat juga bertemu dengannya. Yang aku tahu, Mas Duda yang sering disapa dengan nama Irwan itu memang bekerja di kota. Tapi karena juragan Somat yang sudah mulai menua maka Mas Irwan akan sering pulang mengunjungi orang tuanya. Dan di pertemuan-pertemuan kami beberapa kali itu karena bertepatan dengan Mas Irwan yang sedang pulang.

Karena kepulangan kakak lelaki beberapa waktu lalu juga ayahku yang kemudian bergantian pulang menggantikan kakakku, oleh sebab itulah aku sedikit terlupa akan hadirnya sosok pria yang sempat berhasil membuatku terpesona.

Malam ini Ayah sengaja membawa anak gadisnya ini pergi makan malam di sebuah resto mewah di kota tempat tinggalku. Itung-itung menyenangkan hati anak perawannya ini ketika berada di rumah. Aku senang sekali jika ada Ayah di rumah karena pasti beliau akan sangat memanjakanku. Sayangnya kami harus terpisah jarak demi penghidupan yang layak untuk keluarga.

Ibu yang tampak sumringah juga malam ini dengan gamis berwarna abu-abu ikut duduk di samping ayah. Beliau juga tampak bahagia sama sepertiku. Dan ajaibnya ketika ada ayah di antara kami, maka sikap cerewet serta bawelnya hilang tanpa jejak. Apa iya benar adanya kebawelan ibu karena sebagai pelampiasan kerinduan akan sosok suaminya yang tak lain adalah ayahku. Buktinya jika ada ayah aura ibu sangatlah berbeda. Tidak ada aura mistis seperti biasanya.

"Mer!"

Sikutan ibu pada lenganku mengembalikan pada alam nyata di mana kini kedua orang tuaku tengah memandangku dengan tatapan bertanya. Ibu yang biasa mendelik kini juga berbeda. Penuh selidik juga kata tanya.

"Ada apa?" Jawabku asal dengan muka sok polos.

"Kenapa itu senyum-senyum sendiri sejak tadi?"

"Apa sih. Ibu ini suka sekali mengganggu kesenanganku," cibirku. Kukira ada apa, rupanya ibu tengah resah mendapati anak gadisnya senyum-senyum tidak jelas.

"Lihat tuh, Yah. Ibu bilang juga apa. Lama-lama Mer ini makin nggak jelas saja. Senyam senyum sejak tadi. Udah gitu kalo ibu bilangin suka ngebantah."

Aku berdecak melihat drama ibu yang sedang mengadu pada Ayah. Aku tidak protes karena apa yang ibu katakan memang benar.

"Ibu saja yang tidak peka akan kesenangan anaknya. Aku senyum-senyum gini juga sedang bahagia. Jarang-jarang bisa makan di resto mewah seperti ini. Jika tidak karena Ayah, mana pernah aku makan enak."

Ayah hanya tertawa saja. Berbanding terbalik dengan ibu yang justru melotot padaku. Tidak terima sepertinya karena aku bicara seperti itu.

"Eh, siapa bilang kamu tidak pernah makan enak. Itu yang setiap hari ibu masak selalu makanan yang enak-enak. Kesukaanmu."

Tuh, kan ibu langsung ngegas. Kutanggapi dengan cengiran. "Tapi Ibu nggak pernah kan membawaku makan di resto mewah seperti ini?" Tak mau kalah aku dengan ibu.

Andai ayah tidak menengahi mungkin debat antara ibu dan anak ini tak akan pernah usai.

"Sudah ... sudah. Kalian ini tidak di rumah, tidak di luar ribut terus. Malu di dengar orang."

"Ibu tuh, Yah."

"Mer!"

Jika ayah sudah mendelik padamu maka langsung nyiut nyaliku. Untung saja makanan pesanan kami sudah datang dan siap santap. Aku yang memang paling semangat segera melahap apa yang ada di depan mata.

"Mer, pelan-pelan makannya." Ayah mengingatkan.

Dan ibu, lihat saja beliau kembali mengataiku. "Ingat, Merliana! Anak perawan dijaga kelakuannya. Makan yang sopan jangan mirip anak yang nggak pernah dikasih makan."

Bibirku yang masih penuh dengan makanan mengerucut tidak suka akan ocehan Ibu. Dan lihat saja bagaimana Ayah yang justru menertawaiku.

"Ibumu benar, Mer. Kasihan suamimu nanti jika melihat cara makanmu begitu. Pasti langsung ilfeel."

"Oh, sekarang Ayah membela ibu ceritanya."

"Mana ada begitu. Ayah kan hanya mengingatkan. Umurmu sebentar lagi dua puluh lima tahun. Tentu sudah siap nikah, dong."

"Enggak. Siapa juga yang mau nikah," elakku karena memang aku belum ingin menikah dalam waktu dekat. Pekerjaan saja belum dapat apalagi calon suami.

"Memangnya kamu belum punya pacar, Mer?"

Tumben ayah bertanya. Membuatku malu saja. Pipi ini pasti sudah merah merona.

"Gimana mau punya pacar. Tiap hari saja kerjaannya mengurung diri di dalam kamar. Ibu jodohkan juga menolak dianya."

Ini ibu kenapa ketus begitu sih. Nggak ada akur-akurnya denganku. Iya, aku tahu. Ibu memang selalu cemburu jika mendapatiku yang dekat dengan ayah. Haish, tua-tua begitu tapi masih saja suka cemburu.

"Memangnya Ibu mau menjodohkan Mer dengan siapa?"

Ini kenapa Ayah justru terdengar antusias akan apa yang ibu katakan. Dan aku seperti orang bodoh yang mengunyah makanan sambil melihat ibu dan ayah bergantian. Lebih tepatnya ikut tertarik akan pembahasan mereka berdua.

"Itu, Yah. Anak juragan Somat. Lah, kan Nak Irwan itu sudah cakep, kerjaannya bagus, sudah mapan pula. Apa kurangnya coba? Nggak ada, kan? Menurut ibu, Nak Irwan itu calon menantu potensial. Suami idaman para wanita."

"Irwan?" Ayah mencoba mengingat-ingat.

"Oh, yang kerjanya di kota?"

"Iya."

"Memangnya dia kembali tinggal di kota ini lagi, Bu?"

"Enggak juga, Yah. Tapi sekarang Nak Irwan sering pulang. Katanya sih kasihan dengan bapaknya yang sudah makin tua."

"Oh."

Ayah tampak manggut-manggut lalu menatapku.

Aku sendiri seolah menjadi target incaran oleh Ayah memilih menundukkan kepala dan pura-pura fokus kembali pada makanan di atas meja.

"Mer! Itu apa yang ibumu katakan benar? Kamu menolak dijodohkan? Padahal anaknya juragan Somat itu ayah rasa cocok juga jika dijadikan suamimu."

"Ayah tahu dari mana jika aku cocok dengan Mas Duda?" tanyaku tidak terima. Entah kenapa Ibu berhasil juga menghasut ayah.

"Mas Duda?" Ayah membeo.

"Iya."

"Jadi dia duda?" Ayah seolah kaget mendengarnya. Namun, ibu buru-buru menyela.

"Lah ... Ayah ini gimana. Masak lupa jika Nak Irwan memang sudah jadi duda. Lebih tepatnya duda gula alias sugar duda."

"Sugar duda apaan?" tanyaku penasaran karena baru kali ini aku mendengar istilah yang Ibu lontarkan. Biasanya kan Sugar Daddy.

"Kalau janda kan kembang. Lah kalo duda ya gula karena pasti masih manis."

"Ibu ini apaan. Nggak jelas banget," gerutuku.

"Gini loh, Yah. Maksud ibu itu ... Nak Irwan memang duda. Ayah lupa? Kan dulu dia pernah menikah. Tapi nggak lama karena istrinya meninggal dunia."

Ayah mulai diam sambil mengingat-ingat. "Ah, iya. Ayah ingat. Dulu si Irwan pernah menikah. Tapi ... Bukannya itu sudah lama sekali ya? Apa iya Irwan belum pernah menikah lagi?"

"Ibu sih yakin belum. Karena beberapa kali Ibu belanja ke toko juragan Somat, pas ketemu Irwan pasti dia nanya-nanya tentang Mer."

Blush. Entah kenapa aku kegirangan sekaligus kepedean. Banarkah Mas Duda sering menanyakanku pada Ibu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 28, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Merindukan Mas Duda [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang