2. Sejak Kapan Duda Lebih Menggoda

572 126 7
                                    

"Terima kasih, Nak Irwan."

Samar aku mendengar suara Ibu di luar rumah sedang berbicara dengan seseorang. Kusingkap tirai jendela kamar yang langsung terhubung pada halaman karena letak kamarku memang berada di deretan depan. Aku melotot demi melihat Ibu tengah berbincang dengan seorang pria yang kusebut-sebut sebagai Mas Duda.

Sialnya, aku mulai terusik dengan penampilannya yang sekarang. Bagaimana mungkin Mas Irwan bisa terlihat lebih tampan begitu. Setahuku pria itu telah menyandang status duda sejak aku SMA kelas tiga. Dan sekarang aku sudah satu tahun lulus kuliah. Yang artinya lebih dari lima tahun pria itu menduda. Dan dulu tidak setampan itu. Bagaimana mungkin lelaki yamg sudah tak lagi terikat pernikahan bisa glow-up seperti itu.

Hais, kenapa aku justru keterusan mengintip mereka. Dan sialnya lagi, Mas Duda rupanya tahu akan keberadaanku di sini karena mata kami berdua sempat beradu. Hanya sekian detik karena ketika aku menyadarinya buru-buru aku menutup tirai kamar. Kuusap dada demi merasa detakannya yang kencang.

Huft, memalukan sekali. Kenapa juga harus ketahuan. Rutukku dalam hati.

"Mer! Keluar kamu. Anak perawan kok kerjaannya mendekam terus di dalam kamar. Bantu-bantu ibu napa biar nanti jika sudah jadi istri tidak males macam itu."

Duh, telingaku ini mendadak sakit acapkali Ibu mengomeliku. Daripada semakin banyak ocehan yang dilontarkan Ibu untukku, lebih baik aku segera keluar kamar.

"Apaan sih, Bu. Pagi-pagi sudah mengomel begitu."

"Anak perawan tidak sopan. Berani mengatai Ibu kamu, ya. Punya anak perempuan kok begini amat. Coba sana bercermin. Itu rambut sudah mirip singa. Awut-awutan. Disisir kek yang rapi biar banyak pemuda yang kepincut sama kamu. Apalagi itu tuh kalau Nak Irwan bisa kepincut ... duh Ibu pasti bakal seneng banget."

Semua perkataan ibu tentang penampilanku pagi ini memang benar. Sejak bangun tidur tadi, yang aku lakukan hanya mencuci wajah dan menggosok gigi. Setelahnya menyeduh kopi instan dan rebahan di dalam kamar. Tanpa berniat mandi, ganti baju atau bahkan menyisir dan mengikat rambut panjangku. Dan tadi aku sempat mengintip Ibu dengan Mas Duda. Jadi pasti lelaki tadi melihatku yang berantakan. Astaga! Tapi buat apa juga aku panik. Biasa saja. Aku dan dia juga tidak saling kenal bukan? Dan tadi apa yang ibu bilang?

"Nak Irwan?" Aku menggumam dengan kening mengernyit.

"Iya. Itu anak juragan Somat. Barusan ke sini antar belanjaan Ibu. Adal kamu tahu saha Mer. Nak Irwan itu lelaki potensial untuk dijadikan suami. Sudah tampan, rajin lagi. Ditambah anak orang kaya. Duh, paket komplet, Mer."

"Tapi dia kan duda, Bu."

"Memang kenapa kalau duda. Hanya status saja, kan?

"Ya kalau dia potensial kenapa harus jadi duda?"

Tiba-tiba saja Ibu menjewer telingaku. "Aduh. Sakit, Bu!"

"Ya, kamu ini. Ngomong nggak dipikir. Jangan pura-pura lupa kenapa Nak Irwan jadi duda. Apa iya kamu nggak ingat jika istri Nak Irwan dulu meninggal karena sakit. Padahal mereka baru menikah. Kasihan Nak Irwan."

Aku mencebik. Kenapa ibuku ini suka sekali membela orang lain dan perhatian akan hidup orang daripada aku yang jelas-jelas anaknya sendiri.

"Asal kamu tahu ya, Mer. Jaman sekarang ini cari suami tidak penting statusnya apa. Mau duda kek ... perjaka kek yang penting tanggung jawab. Karena hidup berumah tangga itu nggak hanya butuh cinta. Tapi butuh nafkah untuk bisa bertahan hidup."

"Cih, Ibu. Sejak kapan jadi mata duitan begitu. Sok-sokan bicara soal cinta."

"Lah ni bocah. Dibilangin orang tua nggak percaya. Sudah sana bantuin ibu memasukkan barang di teras. Bawa ke dapur langsung . Kalau perlu di bongkar sekalian dan tata rapi ke tempatnya masing-masing."

"Yaelah, Bu. Kenapa harus Mer, sih?"

"Lha terus? Siapa jika bukan kamu. Anak perempuan ibu kan kamu."

"Kenapa bukan ibu sendiri saja yang ngerjain."

"Ibu harus masak buat sarapan. Memangnya kamu mau masak dan ibu yang beberes. Masak aja nggak becus masih saja protes. Jadi anak yang nurut napa. Jangan ngebantah ibu mulu."

"Iya ... iya. Punya ibu satu saja bawelnya kebangetan."

"Eh ... Eh. Apa tadi kamu bilang?"

"Enggak. Ya, sudah sana ibu masak. Aku sudah lapar."

"Angkut dulu itu barang di depan."

Dengan bersungut-sungut aku melenggang keluar rumah. Mengembuskan napas kasar melihat dua buah kardus berisi sembako hasil belanjaan ibu dari toko kelontong milik juragan Somat.

Mengangkatnya satu per satu dan membawanya masuk. Berat juga ternyata. Dan setelah dua buah kardus berhasil nangkring di atas meja makan napas ini sudah ngos-ngosan.

"Makanya rajin olahraga. Ngangkat dua kardus saja udah ngos-ngosan. Gimana mau sehat jika kerjaannya rebahan mulu."

"Ibu ini terus saja menghinaku."

"Lah ... ya, bener kan yang ibu bilang. Kamu ini pengangguran saja malasnya kebangetan. Bagaimana nanti jika kamu sudah kerja yang mengharuskan bangun pagi dan berangkat tepat waktu. Sekarang lihat bagaimana dirimu. Bangun siang, nggak pernah mandi pagi, kerjaannya hanya rebahan sambil bawa cemilan."

"Bu ... aku rebahan itu tidak diam. Tapi juga berusaha cari kerjaan."

"Nggak gitu juga kali, Mer. Cari kerja itu yang serius agar segera dapat."

"Memangnya aku nggak serius, Bu?"

"Serius dari mana? Jangan kira Ibu tidak tahu. Kamu buka laptop bukannya cari lowongan kerja yang ada lihat konsernya BTS."

Aku menelan ludah. Ibu benar. Tapi itu kan hanya karena agar aku tidak bosan. Orang tua macam ibu mana tahu hal begituan.

"Sudah, Bu. Jangan ngomel-ngomel mulu. Aku sudah lapar. Cacing di perutku ini pada demo minta makan."

"Itu kan kamu kalau dinasehati pasti ngelak. Sok mengalihkan pembicaraan. Sana mandi. Jangan perut saja yang diurusi."

"Ibu ini kenapa jahat sekali dengan anak sendiri. Beda banget dengan Ayah. Awas saja nanti kalau ayah pulang ibu akan adukan."

"Dasar bocah kurang ajar. Berani mengadu domba ibu dan ayahnya."

Ibu sudah mengacungkan centong nasi di tangan. Dan aku segera meluncur meninggalkan ibu yang berkacak pinggang dengan muka menyeramkan.

"Ampun, Bu!"

Aku lari masuk ke dalam kamar. Begini amat nasibku. Sudah jomlo pengangguran. Nasib ... nasib. Sampai kapan tetap begini. Lama-lama aku bisa stres sendiri.

Berpikir kiranya pekerjaan apa yang bisa di dapat dengan cepat. Setiap hari mendengar omelan ibuku telinga ini semakin berdengung. Bukannya membantuku mendapat pekerjaan yang ada hanya hinaan. Meskipun aku tahu niat ibu baik. Ingin memotivasiku. Gerah juga lama-lama.

Langit bisakah kau turunkan aku pekerjaan!

Sembari menengadah ke langit-langit kamar aku berteriak kencang berharap Allah mendengar dan mengabulkan permintaanku.

Merindukan Mas Duda [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang