Desah Gairah [14]

12.5K 153 7
                                    

BAGIAN 14
POV MAMA INA

“Dasar menantu gila! Tidak sopan sekali sama mertua!” Saking emosinya, aku kelepasan berteriak. Kubanting kasar ponsel ke atas ranjang. Sialan sekali istrinya Bayu yang sekarang! Semakin kurang ajar saja sikapnya. Berani-beraninya dia berkata-kata kasar dan sinis pada Lia? Awas saja dia! Nanti akan kubejek-bejek jika ketemu nanti.

“Ma, kenapa teriak-teriak, sih?” Mas Anwar tiba-tiba masuk ke kamar tidur kami. Pria yang berpakaian rapi dengan kaus berkerah motif kuda dan celana jins biru itu membuka celah pintuku semakin lebar. Aku yang salah tak mengunci pintu tadinya. Lihat, pria tua itu akhirnya masuk juga, kan!

“Oh, maafkan aku, Pa. Ini. Menantumu. Menyebalkan sekali.” Aku bangkit dari tepi ranjang. Buru-buru bergerak ke arahnya dengan lenggok anggun. Pengusaha tekstil dan pemilik peternakan ayam boiler terbesar di kota ini tersebut jangan sampai murka padaku. Kalau itu terjadi, bisa habislah aku hari ini.

“Jangan biasakan berteriak begitu. Suaramu terdengar hingga ruang kerjaku!” Mas Anwar membentak. Pria berambut ikal tipis dengan kumis tebal yang selalu dicat hitam tersebut mendelik dari balik kacamata plusnya. Suamiku pasti marah lagi. Ah, sial!

“Iya, aku minta maaf, Papa. Janji, tidak akan teriak-teriak lagi,” bujukku seraya memeluk tubuhnya.

Mas Anwar yang keras sekaligus galak itu menepis keras tanganku. Dia seperti menolak untuk dipeluk. Lelaki 63 tahun yang masih kuat cari uang tersebut memang kelihatannya tengah naik pitam.

“Kamu tahu, pikiranku sedang kacau sekarang! Ayam dipeternakan mati seribu ekor karena viru. Ini lagi kamu malah nambahin pikiran! Hah! Dasar perempuan kampung. Bicara saja kamu harus diajari terus! Mau sampai kapan sikap norakmu itu melekat?!” Mas Anwar yang memiliki perut buncit dan kulit legam itu menunjuk ke arahku. Pria keturunan Jawa-Ambon tersebut murka semurka-murkanya hingga tega menyebutku perempuan kampung lagi. Kurang ajar si Risti. Semua karena telepon darinya.

“Papa, aku minta maaf, lho,” ucapku lagi dengan memasang muka melas.

“Ina, Ina! Uang memang tidak mampu membeli kelas, rupanya. Kalau memang bakat kampungan, mau dikasih uang berapa pun pasti tetap saja kampungan!” Mas Anwar memakiku habis-habisan. Seperti biasa. Sudah jadi kebiasaannya sejak puluhan tahun lalu. Gampang menghina dan merendahkanku. Meski telah menjadi istrinya pun, tetap saja kelakuannya begitu. Ngebos!

“Iya, Pa. Mama minta maaf.” Aku menunduk. Mulai mengeluarkan air mata demi membuat hatinya luluh.

“Anak perempuanmu yang susah diatur itu mana? Dari kemarin aku tidak melihatnya di rumah!”

Pertanyaan Mas Anwar sontak membuat jantungku mau copot seketika. Ya Tuhan, aku harus bagaimana ini? Kenapa masalahnya jadi merembet ke mana-mana?

“Ng … dia—”

“Katakan, ke mana anak itu?! Keluar kota lagi? Touring sama teman-teman lelakinya?!” Suara Mas Anwar semakin menggelegar. Membuat segenap inci tubuhku gemetar hebat. Lelaki yang hobi marah-marah ini selalu saja berhasil menampar mentalku bulat-bulat.

“T-tidak. Dia tidak touring, Mas. Aku sudah larang anak itu motoran jauh-jauh dengan teman-temannya.”
“Lantas, ke mana dia?!” Mas Anwar berkacak pinggang. Menatapku tajam dengan dengusan napas yang memburu.

“Ina, kulihat-lihat, kelakuan Lia sudah sangat merajalela!”

“A-aku minta maaf, Mas.”

“Minta maaf? Mau berapa kali? Kalau memang kamu tidak sanggup mengurus anak, biar kukirim dia keluar negri! Kalaupun dia menjadi jalang di sana, cukup orang sana yang tahu. Jangan sampai kolega-kolega bisnisku mendengar berita buruk tentangnya!” Kalimat destruktif yang menyakitkan itu membuatku jatuh dari berdiri. Aku terduduk dengan perasaan hancur. Jalang? Mas Anwar mengatai Liaku jalang? Ya Tuhan, tega sekali dia.

Desah Gairah Di Kamar SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang