4. Ke Mana Pria Lajang di Dunia?

350 86 1
                                    

Hari ini aku dapat jadwal interview di sebuah perusahaan garmen. Jaraknya lumayan jauh dari rumah karena bisa di katakan jika lokasinya ada di liar kota. Memerlukan jarak tempuh lebih dari satu jam lamanya. Awalnya ibu melarangku berangkat karena jaraknya terkesan jauh. Tapi aku ngotot dan keukeh meyakinkan Ibu jika mungkin di situ lah jodohku mendapat sebuah pekerjaan. Melamar di bagian akuntansi sesuai passion dan minatku. Jujur ya, aku ini tipe-tipe orang yang tidak memiliki pengalaman apa-apa. Terlebih pengalaman kerja. Nol besar. Dan mungkin hanya bagian administrasi atau akuntansi lah pekerjaan yang sesuai dan cocok untukku. Hal itu pula penyebab kenapa hingga detik ini aku belum juga mendapat pekerjaan karena acapkali pekerjaan yang aku inginkan tidak ada maka penawaran di posisi lain pasti aku tolak. Merasa tidak mampu adalah alasan yang selalu aku kemukakan. Bukan aku tidak mau mencoba. Rasanya malas sekali jika mencoba hal di luar dari kemampuan dan ujung-ujungnya pasti akan gagal. Selain aku akan kecewa pada diriku sendiri juga pastinya aku akan mengecewakan pihak perusahaan yang telah susah payah memberikannya aku kesempatan. Jadi, tidak ingin mengecewakan banyak pihak dengan terpaksa aku tetap harus memilih-milih jenis pekerjaan apa yang harus aku terima.

Setelan kemeja putih lengan panjang dengan bawahan celana bahan berwarna hitam. Merasa jika penampilanku sudah rapi dengan polesan tipis make up di wajah. Jika dilihat-lihat, wajahku ini juga tidak jelek-jelek amat. Hidung bangir dengan bibir tipis. Juga rambut lurus bergelombang hitam legam. Tinggi tubuh seratus enam puluh senti meter dengan berat badan empat puluh tiga. Cukup proporsional untuk ukuran anak gadis berusia dua puluh tiga tahun.

Sebelum keluar kamar, tidak lupa aku menyambar jaket yang tergantung di balik pintu. Memakainya agar dapat menghalau sengatan matahari di luaran sana.

Ketika aku menuju ruang makan yang menyatu dengan dapur, ibu menatapku sendu. Beliau sudah menyiapkan sarapan di atas meja dan tengah menungguku dengan duduk di salah satu kursi seorang diri. Di rumah ini memang aku hanya tinggal berdua saja dengan ibu karena kakak lelakiku dan ayahku bekerja di sebuah perusahaan tambang yang ada di Kalimantan. Sehingga tidak setiap hari bisa pulang. Biasanya satu bulan sekali mereka pulang. Di rumah satu sampai dua minggu, setelahnya akan kembali ke Kalimantan. Itupun jarang sekali ayah dan kakak pulang secara bersamaan. Yang ada mereka akan pulang bergantian. Hanya di momen lebaran saja mereka berdua bisa barengan pulang ke rumah. Oleh sebab itulah dalam keseharianku hanya tinggal berdua dengan Ibu.

"Mer! Jangan berangkat napa. Ibu kok nggak rela jika sampai kamu diterima kerja," ucap Ibu ketika aku baru saja mendaratkan pantat teposku di samping beliau.

Aku menoleh sekilas sebelum akhirnya menyesap teh hangat yang sudah ibu siapkan.

"Ibu ini aneh. Anaknya jadi pengangguran, dihina-hina. Sekarang giliran ada tawaran pekerjaan di do'akan biar tidak diterima. Terus ... Aku harus gimana, Bu?" jawabku menyerupai protestan. Ya, gimana lagi. Seharusnya sebagai seorang ibu beliau bisa mendoakan yang baik-baik untukku. Seperti ibu-ibu yang lain ketika anaknya akan berangkat interview maka akan didoakan agar nanti diterima. Lah, ini ibuku berbeda.

"Bukan begitu, Mer. Carilah pekerjaan yang dekat-dekat sini saja. Biar ibu nggak kepikiran kamu terus nantinya."

"Andai di sekitar sini ada yang mau menawariku kerja ... pasti anak ibu yang cantiknya kebangetan ini tidak akan jadi pengangguran. Masalahnya, tidak ada satupun yang cocok dengan kriteriaku, Bu. Masak iya aku harus jadi SPG, atau kalau nggak jadi penjaga toko. Sia-sia dong aku kuliah tinggi-tinggi menguras otak dan pikiran jika Ujung-ujungnya bekerja sembarangan."

"Habisnya kamu ini ingin bekerjasama jadi apa, Mer?"

"Teller bank kek. Atau seenggaknya sesuai jurusan ketika aku kuliah dulu kan ekonomi. Jadi bagian keuangan itu lebih cocok sesuai dengan passion-ku, Bu."

"Duh, repot jika kamu sudah pilih-pilih begitu."

"Ya, harus dong, Bu. Pilih-pilih mana yang sesuai dengan kriteria dan kemauan. Nggak hanya urusan pekerjaan tapi juga jodoh. Semua harus melalui pertimbangan dan pemilihan yang pas dan tepat."

"Gaya bicaramu, Mer. Kebanyakan milih yang ada kayak kamu. Udah jomlo, pengangguran lagi."

Aku hanya sanggup menelan ludah. Cibiran ibu sukses membungkam ocehan yang selalu keluar dari dalam mulutku. Lebih baik aku segera sarapan saja daripada keburu siang nantinya.

Selesai dengan menu sarapan sampai membuat perut kekenyangan, gegas aku beranjak berdiri dan menyambar tas yang tadi aku letakkan asal di atas kursi.

"Bu, aku berangkat dulu. Doakan anakmu ini. Semoga interview hari ini berjalan lancar dan bisa diterima kerja secepatnya," pamitku seraya mencium punggung tangan ibu dengan khidmat. Berharap mengantongi doa restu dari Ibu yang telah melahirkanku dan berakhir sebuah keberuntungan aku dapatkan hari hari ini.

Ibu mengusap lembut rambutku. "Seharusnya kamu itu jangan meminta yang aneh-aneh pada Ibu. Karena kamu sudah tahu apa yang ibu harapkan darimu."

Lagi-lagi Ibu mengajukan keberatannya akan keberangkatanku pagi ini. Karena aku sudah bertekad, tak kuhiraukan rengekan ibu dan aku tetap berangkat. Ibu mengantarkanku sampai halaman. Masih menatapku yang sedang memasang helm di kepala.

"Aku berangkat dulu, Bu."

Ibu menganggukkan kepala seraya melambaikan tangan. Kupacu motor matic milikku meninggalkan rumah. Berharap perjalanan pagi ini tidak mengalami kendala sampai aku tiba di perusahaan tempatku melakukan interview nanti.

Sekian panjang jarak tempuhnya yang aku lakukan, tepat di perbatasan kota. Di mana sebuah perempatan jalan yang terdapat traffict light menyala merah warnanya. Terpaksa kuhentikan laju motor dan berhenti bersama para pengendara yang lainnya. Di saat sibuk melamun karena warna hijau tak kunjung menyala, aku dikejutkan dengan sebuah pajero sport yang berhenti tepat di samping kiriku.

"Merlin! Mau ke mana pagi-pagi begini?" Kata tanya dengan suara yang sudah kuhafal di luar kepala.

Aku menoleh, seketika mataku membulat sempurna. Kenapa harus bertemu Mas Duda lagi di sini. Kadang heran. Kenapa pesona duda lebih terdepan ketimbang pria lajang. Atau jangan-jangan nasibku saja yang kurang beruntung dalam segala hal. Tidak jodoh tidak juga masalah pekerjaan.

"Namaku bukan Merlin. Tapi Merliana!" Ketusku tidak terima karena setiap kali berjumpa selalu saja dia menyingkat nama panggilan untukku. Rasanya aneh saja mendengarnya.

Bukannya marah karena aku sinisi, yang ada Mas Irwan justru tertawa. Apanya yang lucu coba. Beruntungnya traffict light berubah warna menjadi hijau, hingga aku tak perlu lagi berlama-lama berada bersamanya.

Merindukan Mas Duda [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang