Part 16

4K 324 11
                                    

"Dim, kita ngapain sih ke sini segala?" tanya Zee. Kini mereka berdua sudah berada di perbatasan antara halaman belakang sekolah dengan padang rumput yang luas.

Dimmy tersenyum, lalu membantu Zee menaiki pagar kayu pembatasnya. Ia duduk di sebelah Zee seraya berkata, "Mau ngobrol-ngobrol aja bareng lo. Terakhir kita ke sini itu dua bulan yang lalu kan? Gue kangen."

Zee menatap Dimmy, lalu tersenyum. "Mau ngobrolin apa juga, Dim...."

Dimmy terdiam beberapa saat, tak mau menatap Zee. Ia menjadi canggung sendiri, bingung ingin memulai percakapannya dari mana. "Zee ... ToD yuk?" bego. Dimmy merutuk sendiri dalam hati. Kenapa ia malah mengajak Zee bermain ToD alias Truth or Dare? Sebenarnya ia punya alasan tertentu, ia punya tujuannya.

Zee menatap Dimmy tak mengerti, lalu menjawab, "Apaan? ToD? Lah, ngapain?"

"Daripada diem-diem aja kan?" Dimmy mencari-cari alasan sembari memandang langit yang dipenuhi oleh bintang. Zee terdiam sesaat, lalu akhirnya mengangguk menyetujui. Benar juga.

"Ya udah. Gue pilih T."

Dimmy berpikir sebentar, lalu mulai bertanya, "Gue ini apa di mata lo?"

Zee terpaku mendengar pertanyaan Dimmy. Wajah anak itu menjadi serius saat menatapnya. "M-maksudnya?"

"Lo anggep gue apa?" Dimmy kembali bertanya.

Zee berpikir agak lama, lalu mulai menjawab, "Kakak?"

Jleb. Dimmy down seketika, entah kenapa. Rasa percaya dirinya yang sudah susah-payah ia kumpulkan seakan-akan terbang begitu saja. "K-kakak?"

Zee mengangguk, "Iya. Walaupun lo lebih muda beberapa bulan dari gue. Lo itu ... selalu ada buat gue, Dim. Walaupun berandalan, tapi lo selalu ngelindungin gue, khawatirin gue, berantem bareng, bercanda sama gue, lo juga care banget sama gue. Gue seneng bisa ketawa dan bercanda bareng sama lo," jelas Zee sembari tersenyum dengan tulus, sangat manis.

Dimmy memandang gadis itu penuh arti. Ada yang menusuk dengan sangat keras di hatinya. Ia merasa sedih mendengar itu, tetapi ia hanya membalas perkataan Zee dengan senyuman lemah, senyuman kesedihan yang bahkan Zee sendiri tidak menyadarinya.

"Orang-orang kebanyakan nilai lo itu sebagai berandalan, pembuat onar, tapi nggak bagi gue. Lo begitu karena ada alasannya kan? Lo mau ngelindungin dan ngebela sesuatu, tapi terkadang lo emang gak bisa ngontrol emosi dengan baik, lo terlalu temperamental. Inget gak waktu berantem sama anak kelas 10-A yang namanya Enno itu? Lo nyerang dia karena belain kelas kita dan King kan?" Dimmy hanya mengangguk, menunggu kelanjutan kalimat Zee. "Yah, lo itu sebenernya baik, baik banget malah. Gue suka!" Zee tersenyum lebar.

Dimmy membelalakkan kedua matanya, tak percaya. "Su ... ka?" Dimmy menunjuk dirinya sendiri.

Zee mengangguk, "Gue suka temenan sama lo, gue suka saat-saat gue bisa ketawa lepas bareng lo, gue seneng bisa kenal sama lo, Dimmy. Lo gak keberatan kan kalo gue anggep sebagai sahabat terbaik gue sekaligus kakak buat gue?" Zee menatap Dimmy penuh arti. Senyuman terus mengembang di wajahnya yang manis itu.

Dimmy terdiam mendengar penuturan Zee. Entah ia harus senang atau sedih mendengar itu semua. Wajahnya memanas. Rasa emosinya sudah memuncak, ingin sekali rasanya ia menendang atau memukul sesuatu, tetapi di depannya kini adalah Zee. Ia tidak bisa melakukannya, bahkan ia seakan tak memiliki tenaga sama sekali. Semuanya seakan-akan runtuh dan tak ada yang tersisa.

"Dimmy? Kenapa?" Zee menyentuh pundak Dimmy. Dimmy terdiam menatap wajah Zee yang seakan bersinar dengan terang di hadapannya. Gadis itu menatapnya dengan khawatir. "Gue salah ngomong ya? Lo marah? Atau sakit? Kok diem tiba-tiba?" Zee terus bertanya. Dimmy hanya menggeleng lemah sambil tersenyum.

Achilleo AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang