Perhatian Wulfer teralih pada Debora, yang dengan hati-hati mengencangkan sarung tangannya dan dengan fasih menjaga persentuhan dengan orang lain seminimal dan secepat mungkin.

"Ulf?" Eber menyadarkannya dari lamunan. Mereka akhirnya berada di dalam salah satu kompartemen tertutup di gerbong paling depan kereta uap, "Sudah mengerjakan tugas esai penilaian buku dari Juf Famke?"

Wulfer menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi sambil memejamkan matanya yang letih. Dia bahkan tidak yakin isi tasnya memuat semua yang diperlukan untuk mata pelajaran hari ini, "Aku benci buku itu."

Eber menelengkan kepalanya, memasang ekspresi ingin tahu, "Kenapa? Witte Bloem cerita klasik yang indah."

Wulfer menegakkan kepalanya sejenak, "Kita sudah membaca dan menghapalnya berpuluh-puluh kali, Eber."

"Iya, sih. Tapi di luar Witte Bloem, bagaimana dengan yang lain?" Eber masih belum menyerah sementara Wulfer kembali merebahkan kepalanya dan memejamkan mata, "Bukankah menarik mempelajari perkembangan pengetahuan yang diajarkan kepada anak-anak dari tahun ke tahun? Ditambah, semakin sering berpindah sekolah, semakin banyak teman."

"Tetap saja tidak ada wanita yang mau jalan bersama anak umur dua belas tahun."

Eber mengulum senyum, "Terjebak di tubuh anak-anak tidak selamanya menyebalkan, kok. Kita bisa naik trem secara cuma-cuma."

Sudut bibir Wulfer naik sedikit, "Atau dapat karcis gratis untuk pekan raya minggu lalu."

"Atau tidak harus bekerja setiap hari."

"Itu yang terbaik."

Selama kereta melaju membelah kota, keduanya tak banyak bicara. Wulfer menghabiskan waktunya memandangi pemandangan di luar jendela, ke arah rumah-rumah dan para pejalan kaki. Ketika kereta berhenti di salah satu stasiun, dia melihat seorang ayah tengah menggandeng anaknya laki-lakinya menyeberangi peron yang ramai. Bocah itu mungkin masih berusia lima tahunan, tangan kecilnya menggandeng tangan milik ayahnya tanpa ragu, hingga Wulfer berpikir melantur bila si pria memutuskan untuk berjalan ke jurang, si anak pasti akan pasrah saja dan ikut jatuh bersama ayahnya.

Wulfer mengalihkan tatapannya seraya mendengkus. Mungkin dia sendiri pun seperti itu dulu, terhadap sang ayah.

Aldert Van Leanders pernah menjadi sosok yang sangat Wulfer hormati. Biar bagaimanapun, pencipta jenius itu telah 'memberi kehidupan' kepada lima orang anak yang seharusnya tidak pernah ada. Pria itu juga menyediakan rumah untuk pulang bagi mereka semua. Kasur yang hangat. Pakaian yang bagus. Makanan yang terjamin. Keamanan dan pendidikan.

Namun semua ilusi hangat akan sosok Aldert di mata Wulfer hancur lebur ketika suatu hari pria itu membawa dirinya dan Eber ke sebuah hutan. Hutan pucat dan sunyi yang konon dihuni makhluk-makhluk mengerikan, termasuk monster itu.

"Untuk inilah aku menciptakan kalian. Karena itu, kuharap kalian tidak mengecewakan."

Diiringi perkataan dingin itu, pria itu meninggalkan Wulfer dan Eber semalaman di Hutan Putih, sengaja menjadikan mereka umpan untuk monster berwujud manusia serigala. Si Moncong Perak.

Masih terpatri dengan jelas di ingatan Wulfer bagaimana Moncong Perak mendatangi mereka di malam purnama itu, bagaimana dia tak mampu menggerakkan tubuhnya akibat rasa takut yang menguasainya. Tetapi Eber bersamanya, dan Wulfer berjuang menguasai diri. Dia—yang secara fisik lebih besar dan kuat dibanding Eber—berupaya melindungi adik kembarnya dari serangan monster itu, namun ada harga yang harus ditukar. Cakar besar dan tajam milik si Moncong Perak menoreh punggungnya, dalam dan menyakitkan, meninggalkan jejak luka yang tak bisa hilang hingga saat ini.

Wulfer : The Black Snout [Leanders Series]Where stories live. Discover now