☁️24 : Di Balik Yang Berantakan☁️

Start from the beginning
                                    

"Kalo ternyata ada yang hidup di perut lo gimana?"

Padahal Andari tahu apa yang barusan terlontar dari mulutnya adalah sesuatu yang benar-benar tidak ingin kuhadapi. Tapi kali ini ia tampak tidak peduli lagi. Andari pasti sudah kepalang jengah sebab ternyata menurutiku hanya semakin membuat ketidakwarasanku menjadi-jadi.

"Gue tanya sama lo, Bi... Semisal sekarang di tubuh lo ada dua nyawa gimana? Lo mau bunuh dia, hah?"

Aku tidak ingat apa Andari pernah memberiku tatapan senyalang itu sebelumnya. Selama menghadapi diriku yang keras kepala, ia tidak pernah membalas demikian keras. Andari meloloskan setiap kalimatnya bertubi-tubi seolah bermaksud menampar egoku. Sampai akhirnya, melihatku merosot lemas membuatnya perlahan melunak. Tidak lama Andari juga tidak sanggup lagi menguasai ledakan tangisnya.

"Gue tahu lo takut, Bi. Lo nggak siap. Gue tahu. Gue nggak nyalahin lo karena merasa begitu." Ujarnya terputus-putus. Sembari mendekapku seerat mungkin. "Tapi lo harus tau juga. Ini semua nggak harus lo hadapin sendiri. Gue disini. Anfal juga. Bahkan Windi. Kami udah sangat merasa bersalah karena nggak bisa mencegah apa yang terjadi sama lo. Jadi tolong, kasih kami kesempatan buat ngelakuin apa yang kami bisa. Gue nggak pingin ngomong begini tapi lo butuh bantuan, Bi."

Anfal yang datang dengan tergopoh berhenti di ambang pintu kamar mandi. Menatap mata sahabatku menghadirkan rasa bersalah sendiri untukku. Padahal baik Anfal maupun Andari sudah sangat lelah karena urusan tugas akhir dan perkuliahan. Tapi atas alasan tersebut pun mereka tidak lantas mengabaikanku. Sekalipun pada kondisi yang kurang stabil, aku tentu masih bisa melihat bagaimana mereka mengusahakan segalanya demi mengangkatku dari keterpurukan.

Sedangkan aku selalu saja begini, tidak tahu terima kasih.

"Dari, gue... semisal benar seperti kata lo, selanjutnya gue harus gimana, Dar?" setelah bertahan dengan sikap denial sepanjang waktu, kuputuskan mengakui diriku yang sedang hilang arah ini. Masalahnya aku lelah melarikan diri. Ujung-ujungnya, konsekuensi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.

"Gue bukan nggak mempertimbangkan perasaan lo sekarang, Bi. Wajar banget kok kalau lo butuh waktu untuk setuju. Take your time to recover anyway. Tapi kita nggak bisa melimpahkan kesalahan ke siapapun kecuali kepada yang berbuat. Jadi mulai sekarang, mau nggak mau Awan perlu dilibatkan."

"Soalnya, drunk or not itu tetap dia. He did it. Selanjutnya, adalah tanggung jawab Awan."

Belum sempat aku mencerna lamat-lamat perkataan Andari, pandanganku teralih pada Windi yang sosoknya dapat kutangkap dari balik punggung Anfal. Gadis itu meraba-raba tepian nakas tempat ia baru saja meletakkan semangkuk sarapan. Jika tadi ia tidak langsung menemukan sesuatu untuk berpegangan, Windi pasti sudah terhuyung jatuh.

"Anfal... bilang ke Kak Ge gue mau ketemu dia." Putusku sejurus kemudian. Menyadari bahwa yang takut dan tidak siap untuk menghadapi akibat dari semua ini bukan cuma aku.

☁️⭐☁️⭐

Di Balik: 🌬Angin

Kuhela napas panjang-panjang tepat di pertigaan dimana harus kulajukan mobilku kembali setelah tanda lampu jalan berubah hijau. Nggak biasanya aku menyetir sendiri. Terlebih ketika jaraknya jauh. Berjam-jam memancang mata lurus ke depan membuat leherku mulai terasa kaku. Buku-buku jariku yang melingkar pada kemudi juga sedikit kebas dan berkeringat.

Kenapa sih aku ini banyak mengeluh?

Kubuka mulut lalu membuang sisa-sisa pernapasan yang menumpuk. Biasanya aku hanya duduk di kursi samping dan bebas melakukan apapun, tidak perlu khawatir salah mengambil jalan atau repot memperhatikan haluan. Karena aku selalu ditemani seseorang. Dia bersedia mengantarku kemana pun aku mau.

Di Balik AwanWhere stories live. Discover now