8.

15.9K 2.4K 139
                                    

"Gimana? Masih perih?" 

Kendra tak pernah menyangka. Pria yang tadi siang berpisah dengannya, kembali berada di sisinya saat ini. Terlihat cemas, panik, tak lupa dengan omelannya yang mirip Bu RT nagih iuran sampah warga yang menunggak. Panjang, sepanjang jalan kenangan. 

"Harusnya bilang sama Erik kalau belum makan nasi dari siang, kenapa malah ngopi sama makan kue sih?"  Omelan yang harus rela didengarnya sejak tadi. 

Setelah Erwin berhasil menemukan Kendra, dia cukup terkejut dengan penampakan gadis itu yang kacau. Sungguh aneh, padahal baru berjumpa dengan sang kekasih. Wajah itu kusut, tak ada gairah, lalu tiba-tiba saja menangis dan tertawa. Membuatnya bingung. 

Sejujurnya, Erwin menyimpan amarah, ketika dia tahu Kendra pulang sendirian tanpa Erik, bahkan sepupu sialannya itu tidak mengantar, minimal hingga terminal. Membuat darahnya tersirap ke ubun-ubun. Belum lagi, omongannya yang bikin darah tinggi. 

"Dia sendiri yang bilang gak usah, dia mengerti kondisiku yang sibuk, kok kamu yang ribut sih? Naksir sama dia?" 

Naksir? Masih diingatnya dengan jelas suara ketus Erik saat dia menelpon dan menanyakan posisi mereka, karena hendak menyusul, menyerahkan cetakan desain untuk Papa Kendra. 

"Nyesel aku minta tolong, ternyata mau nikung kan kamu?" 

Tuduhan itu, langsung tanpa basa-basi. Untung saja via telepon, jika berhadapan, mungkin pukulannya lah sebagai jawaban. 

Erwin tak perlu mendengar omongan itu. Dia menutup telepon begitu saja dan mengirim pesan pada Kendra. Pesannya dibaca, tapi tidak ada balasan. Perasaan cemas langsung saja mendominasi. Teleponnya tak diangkat, hingga berkali-kali panggilan yang dia lakukan.

Lantas, dengan tergesa, Erwin bergegas keluar kantor, memacu mobilnya menuju terminal. Menahan emosi saat terjebak macet panjang di jalan A Yani. Lalu begitu sampai, rela mengitari terminal mencari sosok itu, diantara lalu lalang orang. Berharap, masih terkejar. Dia tak tega melihatnya pulang sendirian.

Lalu, gadis yang berhasil ditemukannya setelah kelelahan berlari kesana kesini, yang baru saja menangis dan tertawa di depannya, tiba-tiba memegangi perut, mengeluh perih.

"Udah enggak apa-apa, tadi soto-nya enak, jadi perutnya sudah baikan." 

Kendra tersenyum, Erwin menghela napas besar. Mereka tadi makan soto lebih dulu, di salah satu warung di dalam terminal. Dekat mushola kecil. Erwin memberi ultimatum untuk menunggunya di warung itu, tidak boleh kemana-mana, sampai dia kembali dari sholat maghrib. 

Demi Kendra, dia memutuskan ikut naik bus, pulang ke Malang, meninggalkan mobilnya di parkiran terminal Bungurasih. Karena khawatir, rasa lelah setelah beberapa hari lembur membuatnya tidak fokus menyetir, dia memutuskan ikut naik saja ke bus, mengantar gadis ini pulang. 

Sesuatu hal yang dipertanyakan Kendra, kenapa Pria ini rela berkorban seperti ini? 

"Beban moral Ken, membiarkan anak gadis sepertimu, pulang sendirian malam-malam begini." begitu jawabannya tadi. 

Jujur Kendra senang, meski sisi hatinya yang lain merasakan miris, harusnya Erik yang seperti ini. 

"Besok, kalau saya sudah balik ke Surabaya, saya akan buat perhitungan dengan tunangan bodohmu itu." 

Kendra tertawa kecil, menyandarkan kepalanya, menikmati waktu selama kurang lebih dua jam kedepan, duduk di sebelah Pria ini, di dalam transportasi umum. 

Rasanya mendebarkan. 

"Enggak usah."

"Usahlah." Erwin tampak masih gusar, "otaknya ditaruh dengkul kali, kalau ada apa-apa denganmu gimana? Kerjaan apa-an? Mau teladan kayak apapun, gaji juga tetep sama."

Bittersweet [Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang