Koloni

57 7 0
                                    

Kami tinggal dalam sebuah Koloni yang di pimpin oleh Ayahku. Koloni ini kami dirikan di sebuah halaman luas yang dimana sisi-sisinya adalah bangunan yang roboh dan berserakan.

Kami tidur dibawahnya, kadang bisa di dalam bangunan besar itu, yang akan mengancam nyawa kami. Pasalnya dinding dan atapnya sudah terlihat retak dan bisa saja roboh kapanpun tanpa mengulur-ulur waktu. Jadi kebanyakan orang lebih memilih tidur di dalam sebuah tenda buatan di lapangan oleh masing-masing keluarganya. Bahkan ada yang tidur tanpa tenda mengelilingin api besar jikalau tak turun hujan.

Baju yang kami kenakan merupakan baju peninggalan orang-orang terdahulu yang kami temukan di dalam bangunan. Seperti jas yang sudah berwarna kecoklatan, atau bahkan berjamur. Kami membersihkannya termasuk pakaian-pakaian mereka yang terkubur untuk kami gunakan.

Kami juga mendapatkan air dari sungai yang mengalir dekat dari sini, air untuk minum, mencuci pakaian dan mandi. Bersyukur tidak ada hewan bandel yang menjejakkan kakinya ke dasar sungai dangkal itu, jadi tidak susah-susah untuk membersihkannya.

Omong-omong soal buahan. Kami tidak memiliki kebun, hanya saja banyak pohon yang tumbuh liar di pekarangan. Seperti pohon anggur yang merambat dan menjalar di sekitar beton bangunan, aku dan Yomna suka bersaing dalam hal itu. Itu mengapa Yomna tidak ingin merasa di sepelekan.

Kemudian pohon jambu air favoritku yang tumbuh subur dan besar pohonnya. Buahnya manis jika sudah berwarna kemerahan.
Dan ada satu pohon lagi yang tumbuh subur dan tinggi. Pohon itu tidak mengeluarkan buah, akan tetapi kulit pohonnya bisa kami gunakan untuk campuran meminum daun anggur sebagai ramuan khusus orang sakit.

Nenek moyang kami pernah bercerita bahwa semasih mereka kecil bisa memakan buah apa saja yang mereka inginkan, hanya dengan menukar buah itu dengan sebuah lembaran bernilai. Bahkan katanya ada makanan enak yang terbuat dari buah anggur, terbuat dari rempah-rempah makanan pokok keluarga pada masanya, yang jika di tukar akan menghabiskan lembaran berharga yang seharusnya dapat di tukar dengan pakaian indah, begitu.

Sayangnya aku hanya sedikit mendengarkan pengalaman kecilnya pada masa sebelum gempa terjadi, dan kini beliau telah wafat. Tak ada lagi buku sejarah yang akan di ingat untuk di ceritakan kepada generasi selanjutnya.

Bahkan ada rumor beredar bahwa penyebab bencana yang di sebut gempa bumi itu di sebabkan karena ada campur tangan dari seorang suku pedalaman hutan yang membuat bumi tergoncang keras. Entah apa maksudnya, kemungkinan berkaitan dengan sihir.

Sihir? Aku tidak percaya hal itu. Selama 19 tahun aku hidup belum pernah melihat atau mendengar rumor bahwa ada sihir di sekitar kami. Jika memang ada, aku ingin melihat gambaran masa lalu sebelum 100 tahun ini terjadi, atau kembali mundur 200 tahun sebelumnya.

Kambing tua itu akhirnya terpanggang di atas api besar yang menyala-nyala dengan dua orang yang memegangi dua bagian sudut masing-masing secara bergantian hingga matang.

Sepertinya kambing gemuk itu akan habis untuk kami 30 orang. Sepertinya malam esok akan tiba saat berburu kembali. Tidak ada yang akan menyimpannya untuk di buat dendeng untuk hari esok. Paling tidak usus-usus segala macam daging yang berada di dalam perut kambing itu bisa kami jadikan beberapa mangkok sup dengan irisan anggur muda.
Hal yang paling aku senangi adalah menyantapnya seorang diri.

Orang-orang bersorak-sorai ramai. Kerni tetap angkuh kulihat, anak itu memang agaknya meninggi, tapi aku jujur dia akan kebagian daging selangkang kurasa.

Aku tidak sabar untuk menyantap hasil buruan kami bersama, makan bersama, menyantap bersama. Hal kekeluargaan yang luar biasa.

Seketika aku menyadari ada yang mengawasi kami semua dari balik pohon dekat dengan arah hutan tempat kami berburu.
Jika dari bentuk tubuhnya sepertu seorang perempuan muda dengan rambut acak-acakan dengan pakaian lusuh yang menyeramkan.

''Kau lihat gadis gila itu? Dia menyukaimu sepertinya. Kejar dia.'' ucap Tirsa meledekku.

Ya kami sering menyebut gadis itu gila. Sikapnya yang bagai orang gugup setengah mati dan tingkah mengerikannya mengeluh-eluhkan pemujaan yang di lakukannya. Entahlah apakah ia merasa kerasukan seorang untuk memuja dinding yang di coretnya dengan arang pembakaran yang menyala. Bahkan aku sempat melihat jari-jari hitamnya yang terbakar dan berbau busuk saat itu.

Wanita itu merupakan anggota Koloni kami yang dari dulu sudah mengalami tidak waras seperti itu. Cara bicaranya yang tidak jelas membuat kami sulit menangkap apa yang ia tengah sampaikan. Terkadang seringkali ku pergoki ia tengah bersekongkol kepada batang pohon untuk menghabisi kami satu-persatu, memang ada gilanya kurasa.

''Lama sekali matangnya ya ampun. Benar sekali daging kambing tua ini memang sudah tidak layak di makan sepertinya. Besok akan ku ganti dengan yang lebih besar atau lebih banyak saja bagaimana?'' ucap Yomna yang seolah-olah meledek Kerni yang bangga. Anak itu selalu seperti itu, tidak ada yang mau mengerti ataupun mengalah satu sama lainnya.

''Keknya sih bakal ada akar pohon yang menjalar di daging kerasnya. Uh tidak enak sama sekali.''

''Yang banyak bicara gak usah di kasih makan ya. Ya walaupun dia minta kita kasih saja lidahnya agar supaya bungkam mulutnya selamanya.''

Ya kami percaya, ada mitos beredar jika seseorang memakan lidah hewan apapun. Nantinya ia akan tidak banyak bicara ataupun tidak dapat bersuara lagi. Namun hal itu hanya layaknya sebuah dongeng belaka, dongeng untuk anak kecil agar tidak makan terlalu banyak jika terlalu banyak nantinya akan di berikan lidah hewan untuk di santap, dan akhirnya tidak mampu lagi berbicara ataupun makan.

Yomna terdiam membungkam mulutnya. Disisinya terdapat seorang gadis bernama Aneta. Gadis manis yang agaknya lembut, berbanding terbalik dengan sikap Yomna yang urakan.

Semua yang kami miliki disini seakan-akan terpenuhi. Semua yang kami akan perlukan untuk sesuatu yang berguna tinggal mencari barang bekas ke dalam gedung-gedung.
Tentunya ada sebuah organisasi juga di dalam koloni kami.

Kami memiliki penjaga koloni yang bertugas bergantian, setidaknya untuk orang dewasa, wanita ataupun pria.

Lalu pemburu, seperti aku dan anak muda lainnya. Terpilih untuk anak-anak muda seperti kami bisa bergiliran ataupun layaknya pekerjaan tetap. Kami tidak ada yang pernah menolaknya. Seakan-akan memang sudah kewajiban kami.

Para Ibu-Ibu dan lansia mengurus makanan di saat kami mendapatkan buruan. Mereka juga mengurus orang sakit dan menjamu mereka dengan ramuan hingga sehat.

Sedangkan pencari keperluan seperti mencari barang-barang di dalam gedung juga tugas sebagian orang. Setiap harinya hanya boleh berganti-ganti orang. Dimana jika kami beruntung akan bertemu dengan anggota Koloni lain dan mencari bersama tanpa saling membedakan. Aku pun punya salah seorang sahabat mencari benda dari Koloni lain. Walaupun sangat jarang bertemu, tapi kami percaya bahwa akan baik-baik saja, dan selalu setia mengabdi pada masing-masing Koloni.

Kebetulan sekali esok jadwalku bersama beberapa temanku untuk mencari benda. Benda apapun yang kami temukan sekiranya berguna untuk kehidupan, seperti cadangan pakaian, perabotan, obat-obat kadaluarsa untuk dipakai luka luar, bahkan senjata seperti pisau, belati atau apapun yang terbuat dari bahan anti karat, walaupun gagangnya telah musnah.

100 Tahun SetelahnyaWhere stories live. Discover now