PROLOG

76 16 22
                                    

Aku sepertinya sudah memilih mode expert saat diminta memilih mode kehidupan yang akan dijalani. Kupikir, hidup sebagai mahasiswa semester akhir sudah jadi fase kehidupan terburuk yang bisa dihadapi oleh manusia. Tapi ternyata semester akhir ditambah dengan tugas penelitian adalah hal terburuk yang levelnya jauh di atas rata-rata.

Kami diharuskan menyelesaikan semester akhir tepat waktu dengan melakukan penelitian yang bisa didaftarkan dalam Perserikatan Penemu Muda Internasional. Padahal kapasitas otakku berada di batas rata-rata dan mungkin tidak mampu untuk itu.

Tapi aku harus melakukannya dengan segala cara. Ya, dengan segala cara. Jadi mengendap-endap di malam hari bulan Desember yang sangat dingin menunggu momen untuk mendapatkan sampling untuk diberikan kepada dosen penguji adalah caraku mendapatkan izin mereka untuk lulus pendidikan tanpa harus menyelesaikan penelitian.

Ini merupakan sebuah solusi win-win bagi kedua belah pihak. Dosen mendapatkan sampel untuk melakukan penelitian—jika beruntung mereka bisa mendapatkan penghargaan atas penemuan yang luar biasa, dan kami bisa lulus dengan bahagia.

Sebagian kecil dari kami di fakultas juga melakukan hal yang sama, dan di sinilah kami bersaing kembali. Siapa yang mendapatkan sampel terbaik, mereka lah yang bisa maju duluan. Sungguh, tingkat kesulitannya sangat tinggi.

Kukatakan begitu karena lihat saja keadaankusekarang. Berdiri di jalanan kosong yang ada di kompleks pertokoan selagimenunggu kedatangan undead—mereka adalah makhluk yang tak hidup dan juga tak mati, yang muncul diawal tahun ini.

Mereka memiliki karakteristik yang mirip zombie di cerita-cerita lama; agresif, selalu lapar, menyerang siapa sajayang ada di hadapan mereka. Mereka memakan apa saja, bangkai hewan, sampah,bahkan pernah kutemukan mereka memakan pohon. Apapun yang ada dalam jarakpandang mereka pasti akan berusaha diserang untuk dimakan.

Tapi pada dasarnya mereka adalah makhluk yang tidak bernyawa, jadi membunuh mereka juga tidak begitu sulit. Jalan umum adalah tempat mereka sering terlihat muncul di malam-malam dingin yang mana orang-orang jarang beraktivitas di luar ruangan.

Aku tahu benar, selama ini penelitian tentang undead belum mencapai titik terang karena sulitnya mengambil sampel. Bukan karena pemerintah tidak mau memberikan sampel pada peneliti, tetapi begitu mereka mati tubuh mereka juga ikut hancur dan membusuk dalam waktu sangat singkat sehingga sulit untuk dilakukan penelitian.

Itu sebabnya malam ini aku sudah membawa boks berisi formaldehid dalam bentuk es dan sudah kupasang umpan berupa daging sapi potong yang kubeli di supermarket sebelum datang ke tempat ini.

Umpan kupasang di antara dua tiang lampu, dan di antara kedua tiang itu kuikatkan sebuah karung berisi batu-batu kecil dengan menggunakan tali tambang yang ujung simpulnya terikat di dekat tempatku duduk—salah seorang rekan kuliahku membantu saat kami membawa karung itu dari kampus.

Rencananya, aku akan menunggu sampai salah satu dari mereka menyantap daging potong yang kutaruh di atas wadah, dan selagi undead itu menikmati santapannya, aku akan memotong tali tambang di dekatku dan boom!

Dengan berbekal linggis aku akan memotong salah satu bagian tubuhnya dan pergi.

Rencana yang sangat sempurna.

Tapi sayangnya setelah duduk selama berjam-jam di depan gedung, aku tidak kunjung melihat kemunculan mereka. Ugh, apa aku memilih tempat yang salah? Tapi jarang sekali ada tiang lampu berjajar di kota ini.

Semua pencahayaan sudah dilakukan secara otomatis melalui microchip yang ada di pohon-pohon dan gedung-gedung di sekitar sini. Gedung ini satu-satunya tempat yang masih memiliki sepasang lampu jalanan di depannya.

MYSTIQUE BOX [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang