006

112 12 10
                                    

Sambil menunggu masakan selesai dan Lan Wangji kembali, Xichen memberikan banyak camilan kepada dua anak manusia yang terlihat seperti kelaparan. Nie Huaisang dan Wei Wuxian sudah makan pisang bakar, kue-kue kering sekian banyak, cokelat, buah-buahan dan masih banyak lagi. Namun, keduanya masih belum terlihat seperti manusia yang kenyang.

Xichen menduga kalau hari mereka pasti sangat berat sampai kelaparan seperti belum pernah makan sejak sekolah dasar (SD).

"Erge, makanannya sangat enak. A-Sang akhirnya merasa seperti hidup kembali. Tadinya hampir saja merasa akan mati dan rohku menguap."

Nie Huaisang memulai obrolan lucu seperti biasanya. Dia sangat pandai berbicara manis, sangat berbeda dengan Nie Mingjue kakaknya. Walau begitu, Xichen bisa memahami keduanya dengan baik.

"Benarkah? Apa sekolah itu sangat membuatmu pusing?"

Xichen seperti biasanya juga selalu meladeni obrolan lucu dengan Huaisang. Mereka sudah lama saling mengenal dan sudah terbiasa dengan sikap anak itu.

"Tentu saja. Apalagi tadi pas pelajaran matematika, A-Sang malah disuruh berdiri di depan kelas sambil angkat satu kaki. Lalu, kedua tangan harus memegangi telinga. A-Sang hampir merasa kalau lengan A-Sang hampir copot."

Xichen terkekeh walau dia agak terkejut. Dia tahu bahwa Lan Qiren adalah guru matematika sekaligus kepala sekolah di Gusu.

Ah, tetapi Xichen tidak mau berpikir terlalu banyak. Masih ada guru matematika lain di sekolah itu. Mari berpikir positif.

"Pak Tua kumis lele itu memang kejam. Aku hanya tidak mengerti matematika apakah aku langsung dikatakan bodoh? Aku tidak bodoh hanya malas saja berpikir keras untuk angka-angka tidak berguna," tambah Wei Wuxian yang akhirnya berhenti makan lalu sedikit mencampuri pembicaraan menarik itu.

Xichen tersenyum. Dia merasa dirinya bagai seorang ibu yang tengah mendengarkan curhat dua anaknya yang mendadak besar dalam semalam. Dia tahu siapa yang sedang mereka bicarakan.

"Ah, memang setiap orang punya kekurangan dan kelebihan," kata Xichen.

"Tuh, kan benar! Kenapa si Pak Lele itu tidak mengerti? Kalau tidak bisa matematika apakah dunia langsung kiamat?"

Wei Wuxian kembali melanjutkan keluhannya dan begitu pula Nie Huaisang. Keduanya benar-benar seperti sepaket dalam mengeluh dan bercanda. Kini, Xichen tahu mengapa dua anak itu sangat akrab.

"Lalu, siapa si Pak Lele yang kalian maksud?"

Xichen penasaran walau dia sudah menduga sekitar 50 persen.

"Tentu saja Lan Qiren! Dia galak dan kejam! Apa bagusnya kalau pandai matematika? Apakah dunia menjadi milikku?"

Wei Wuxian bersemangat menghina dan mengejek gurunya itu. Bahkan, dia juga menambahkan dengan menirukan gaya berbicara dan ekspresi wajah Lan Qiren.

Nie Huaisang tertawa terbahak-bahak melihat tingkah temannya itu sementara Xichen hanya tersenyum pasrah. Dia sudah menduga kejadian ini.

"Erge, apa kau marah? Dia pamanmu, kami tahu, tapi ...."

Nie Huaisang terdiam dan menunggu respons dari pria yang tertua di ruangan itu. Suasana mendadak sedikit kaku walau Wei Wuxian santai saja. Bahkan, jika ada Lan Qiren di sana, dia akan tetap mengatakan hal yang sama.

Baik di depan dan belakang orangnya, dia akan tetap mengatakan hal yang sama.

"Tidak apa-apa, semua orang punya kelebihan dan keunggulan," jelas Xichen lagi dengan sabar.

"Tapi Pak Tua itu, apa kelebihannya selain darah tinggi?"

Xichen tidak tampak terkejut dengan laporan yang seperti aduan itu. Walau bicaranya kasar, Wei Wuxian tidak terlihat dendam atau benci. Itulah satu hal yang semakin menarik dari gadis ini, menurut Lan Xichen. Dia hanya asal bicara saja tidak ada niat membalas atau mencelakai Lan Qiren.

Perfect Husband [Hiatus]Where stories live. Discover now