BAGIAN 8 : PENGAKUAN KENAN

154 115 815
                                    

“Hah? Serius lo! Terus gimana?”

“Ya gue gak mau lah, gue mau nikahnya sama Jihan masa gue nikahin walang keket.” Alzio berucap, ucapannya mampu membuat Velly tertawa.

“Tapi masalahnya satu.” Alzio menambahi, tatapannya bingung.

Velly bergumam sambil memperbaiki posisi duduknya. “Apa masalahnya?”

“Jihan udah gak mau ngomong sepatah kata pun sama gue. Pernah gue nyoba pake nomor Deri, diangkat sih eh langsung dimatiin, gue telpon lagi nomornya diblokir. Dia bener-bener mutusin semuanya sepihak.”

“Lo udah samperin ke rumah dia?” Velly bertanya.

“Udah, tapi hasilnya nihil. Jihan gak keluar sama sekali dari rumahnya, gue nunggu depan gerbang lumayan lama, sampe akhirnya gue milih buat pulang,” jelas Alzio.

“Kalau gitu sampe kapan lo melarat begini?”

“Nah iya, kalau gue gak nikah, Mama masih sita semuanya. Sedangkan gue bingung mau nikah sama siapa.” Alzio menghentikan ucapannya. “apa gue nikah pura-pura aja, em ... sama lo? Iya bener sama lo, lo mau kan?”

Velly meninju kening Alzio kencang, tidak habis pikir dengan rencana gila Alzio. Mana mungkin dia dan Alzio menikah pura-pura, sedangkan Karin, selaku mamanya Alzio sangatlah kenal dengan dirinya.

“Kalau bego jangan dipelihara!” kesal Velly. “tante Karin pasti ketawa sampe pingsan kali, udah jelas lo sama gue itu kayak gimana.”

Alzio meringis lalu menyengir sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. “Terus gue harus gimana, gue harus nikah sama siapa?”

“Nikah bukan permainan, Zio. Jadi lo jangan ngada-ngada. Jodoh juga Tuhan yang nentuin, jadi kita gak bisa mengambil keputusan secepat itu.”

“Iya-iya gue paham. Tapi masalahnya sampe kapan gue kayak gembel begini? Duit jajan gak punya, gak bisa traktir cewek-cewek imut dan cantik di bar. Gak punya motor, gak bisa bonceng selingkuhan, kartu ATM juga disita, nyakin merana gue,” tutur Alzio sambil memainkan tutup sambal yang terletak di atas meja kantin.

“Otak lo itu cewek mulu, gak bisa kali bersihan sedikit pikiran lo?”

“Lo kan kenal gue banget, Sayang. Masa gak ngerti sih, cium nih lama-lama, gemes....” Alzio mencubit pipi Velly lalu menariknya, Velly meringis sesaat, menampar tangan Alzio dengan kesal.

“Jangan begitu, enek!”

“Nanti beneran naksir lo sama gue,” goda Alzio seraya mencolek dagu Velly.

Velly memutar bola mata malas, suara Sheila membuatnya menoleh. Ternyata gadis itu sudah selesai dengan urusannya di toilet. Cukup lumayan lama Sheila berada di toilet.

“Boker lo ya? Lama bener.” Alzio menuduh.

“Nggak kok, tadi ngantri.” Sheila menjawab, ia duduk di samping Velly. Memakan sisa makanan yang tadi ia pesan, mungkin saat ini sudah dingin.

“Alasan klasik, malu ya mau jujurnya?” Alzio masih terus memojokkan Sheila supaya gadis itu mengaku.

“Apasih Zio! Jangan bikin gue bete. Udah sana pergi lo!” usir Sheila dengan nada tinggi.

Alzio mendengkus karena diusir Sheila. Ia bangkit dari kursi lalu berjalan menuju tempat duduk Sheila. Tanpa aba-aba, dia mencium telinga Sheila membuat gadis itu mematung di tempat, begitu juga dengan Velly.

“Jangan marah-marah nanti cantiknya hilang,” goda Alzio lalu berlari pergi ketika melihat Sheila masih diam.

Kesadarannya sudah kembali, Sheila berdiri, berkacak pinggang, menarik napas dalam lalu berteriak, “ZIO BANGKE LO! GUE SUMPAHIN TUH BIBIR BISULAN! KURANG ASEM, TELINGA GUE BISA-BISA BERKURAP NIH, SIAL LO ZIO!!!”

Teman Sehati [ON GOING]Where stories live. Discover now