Kedatangan seorang wanita dengan alis tebal itu disambut hangat oleh si tuan rumah. Lama tak bersua, memicu tangis haru akan pertemuan sepasang adik-kakak ini.
Akan tetapi, kedatangan keluarga Hanah bukan sekadar menyambung silaturahmi dengan sang kakak, melainkan juga untuk menyampaikan sesuatu.
M
ereka awali dengan perbincangan hangat membahas kabar satu sama lain. Kemudian, barulah Hanah menerangkan maksud dan tujuannya.
"Ke Jakarta?" Seorang gadis yang baru datang dari dapur menyahut.
Dia bergabung dalam lingkaran diskusi tersebut setelah meletakkan makanan dan minuman.
"Iya. Nanti kalau mau, kamu lanjut sekolah SMA di Jakarta, tinggal sama Bibi, Mbak Hanin, Mas Efan juga." Hanah menjelaskan. Sementara anak perempuannya meyakinkan dengan anggukan.
Dona yang sedari tadi menyimak dengan gusar, akhirnya menoleh. Menatap wajah keriput sang ibu guna meminta pendapat.
"Semua pilihan ada di tangan kamu. Keputusan apa saja yang kamu ambil, Emak percaya itu yang terbaik," ujarnya seraya mengusap bahu sang anak.
Gadis dengan badan berisi itu tampak berpikir, menimang-nimang tawaran yang mungkin benar-benar akan mengubah peruntungannya suatu saat.
Hanah yang bosan menunggu keputusan keponakannya langsung menyahut lagi. Bercakap bahwa jika Dona tinggal bersamanya, dia akan sering melihat bus dan diantar ke sekolah menggunakan mobil pribadi bersama sepupunya.
"Sekolahan di sana tingkat, muridnya juga banyak. Nanti kamu bakal punya peralatan sekolah yang lebih bagus dan banyak."
Wanita berkalung emas tersebut terus berupaya meyakinkan.
"Kalau kamu mau sekolah di sini saja juga silahkan. Tapi, kamu harus bantu Emak jualan kayak biasa," sahut ibunya.
Dona mengangkat kepala. Memandang satu per satu orang di ruangan ini.
"Dona mau sekolah di Jakarta aja, Mak. Dona pengen sukses di sana." Dengan menggebu, dia mengatakannya.
Tentu, Hanah tersenyum mendengarnya. "Kalau gitu, besok kamu siap-siap. Lusa kami jemput."
***
"Tawaran buat Dona, semata-mata untuk membantu hidup kalian, Mbak. Mengubah nasib. Soal biaya dan sebagainya nggak usah khawatir. Mbak cukup doakan yang terbaik untuk kami semua."
Tangan Ima terulur menggenggam jemari adiknya, dia mengucap terima kasih. Sangat kontras perbedaan di antara sepasang saudara itu. Jari-jari Ima yang polos berpadu dengan jemari adiknya yang dibalut lebih dari satu perhiasan.
"Sudahlah. Bukannya Bapak pernah berpesan, kalau jangan biarkan salah satu dari kita kesulitan?"
Setelah berucap demikian, kedua wanita itu lantas berpelukan.
Dona yang mengintip dari balik tirai, ikut terlarut dalam kehangatan yang tercipta. Walau tidak terlalu akrab, kini dia menyadari bahwa bibinya memiliki kepedulian yang tinggi.
***
Malam tiba, sehabis pulang mengaji, Dona terbiasa duduk merenung di depan teras selama beberapa saat. Namun, tidak dengan malam ini.
Ima menyuruhnya langsung masuk untuk membicarakan perihal kelanjutan sekolahnya.
"Kamu betul-betul mau sekolah di Jakarta, Nak?" tanya Ima yang kemudian diangguki.
"Tapi, Mak ...." Gadis itu menggantung ucapan dengan memalingkan wajah.
"Kalau Dona tinggal di sana, Emak di sini berdua sama Ela? Kalau Emak sakit, apa bisa Ela bantu urus Emak?" Bergetar dia menanyakannya.
Wajahnya jelas menampilkan gurat kerisauan.
"Soal itu, jangan dipikirkan. Ela sudah kelas lima SD, pasti paham apa yang harus dilakukannya nanti," jawabnya menenangkan.
Dona menghela napas.
Berat. Berat baginya meninggalkan Ima di usia yang tak lagi muda dengan riwayat penyakit yang diderita. Walaupun ada sang adik yang nantinya membantu menjaga, tetap saja sulit.
"Sudah, jangan banyak berpikir. Kamu harus punya niat mengubah nasib keluarga kita, Dona. Hidupmu ... harus jauh lebih baik dari Emak."
***
"Hei, Dona! Mau ke mana?"
Panggilan dari teman bermain Dona, menyita perhatian dua orang yang tengah menyiapkan barang-barang ke dalam mobil.
Gadis itu beranjak menghampiri dengan tersenyum getir. Kalau saja Ilham tidak kebetulan lewat, maka dirinya juga akan lupa memberi tahu jika mulai hari ini sampai tiga tahun ke depan, dia takkan memenuhi janjinya.
"Aku mau berangkat ke Jakarta, lanjut sekolah di sana." Bibirnya bergetar ketika menjawab demikian.
Merasa tak rela berpisah dengan kawan baiknya sedari kecil. Namun, bagaimanapun ini sudah menjadi keputusan mutlak meski harus ada kegelisahan karena jarak yang menghampiri.
"Aku tau, aku berdosa karena tak memenuhi janji kalau kita ... akan sekolah bersama lagi. Tapi, ini sudah menjadi keputusan akhir. Aku minta maaf," imbuhnya yang lantas terisak.
Ilham justru tertawa menanggapinya, walau di balik tawa itu, terbersit kekecewaan.
"Kamu lupa, kalau janji itu, kita buat main-main? Jadi, lupakan saja karena semua itu ... hanya main-main." Di akhir kalimat, pemuda tersebut memelankan suara.
Tak ada jawaban hingga Hanah memanggil menyuruhnya berpamitan dengan ibu juga adiknya. Tangis yang menyatu dengan sebuah harapan, menjadi saksi kepergian Dona untuk memulai hidup barunya.
Dona mengurai pelukan dengan sang ibu, lalu beranjak menuju mobil yang sedari tadi telah menunggunya. Sebelum itu, dia melambaikan tangan perpisahan pada sahabatnya yang hanya dibalas sekilas karena setelahnya, Ilham berlari pergi.
***
Selama di perjalanan, Dona meyakinkan diri ketika sekolah di kota nanti, dia akan mengubah diri menjadi seorang yang periang. Pikirannya hanya dikerahkan untuk belajar, tidak ikut memutar otak tentang biaya sekolahnya seperti dulu.
Cita-cita, motivasi, dan optimisme yang baru akan menjadi pacuan semangat hidupnya nanti.
~0o~
YOU ARE READING
METODE
Teen FictionHanya ada satu jalan untuk Dona terlepas dari jerat keterpurukan. Sebuah metode khusus yang dia coba, benar-benar menghantarkannya kepada kebangkitan. Namun, tak dapat dipungkiri justru metode yang dipraktikannya juga membawa petaka. Sebuah petaka...
