"Di mataku, kita itu satu. Layaknya sebuah planetoid yang bergenggaman. Namun, akhirnya kusadari, angular resolution-ku yang kelewat besar dari batas maksimum diameter sudut antara kita. Karena pada kenyataannya, kita hanyalah binary asteroid, tak l...
Ih, mana mungkin Iris membiarkan kehadirannya kosong, 'kan? Apalagi di tengah berkecamuknya problematika Iris dengan Juno. Iris bisa saja ditertawakan Juno habis-habisan, karena dianggap sampai tak sanggup sekolah hanya karena 'ditinggalkan' anak itu. Huh! Menyebalkan, tidak bisa dibiarkan!
Sudut mata Iris mencari koordinat jarum jam dinding di kamarnya. Pukul enam lebih seperempat. Ada lima belas menit untuk bersiap sebelum perjalanan yang mungkin akan memakan lima belas menit juga naik angkot, sebelum pukul tujuh tepat. Masih ada waktu.
Dengan semangat membara, Iris bangkit dari kasur. Akan tetapi, sangat disayangkan, kondisi fisik Iris tidaklah sesempurna tekadnya. Baru meraih handuk dan berniat ke kamar mandi di lantai bawah, Iris sudah oleng menabrak dinding.
Masih di posisinya, Ana yang sedari tadi hanya berniat memantau dalam diam, kini turun tangan untuk menuntun putrinya menuruni tangga.
"Yakin mau maksain?"
"Enggak apa, Bunda! Barusan itu eror biasa, kok. Mode baru bangun tidur."
Tak lama, Iris sudah keluar kamar mandi. Dengan rempong, Iris dibantu Ana untuk memakaikan kaus kaki ketika Iris duduk di kasur sambil mengancingkan seragam atasnya.
Ana mengambilkan sepatu dan tas Iris ke halaman depan. "Ris, Bunda masih menunggui kue di oven. Bunda baru bisa keluar setengah jam lagi buat antar pesanan. Enggak apa telat dikit?"
Sontak, Iris menggeleng-gelengkan kepala. "Sekarang ada upacara, Bunda. Sebenarnya, jam tujuh aja udah telat. Iris naik angkot aja, ya."
Setelah membiarkan Iris mencium punggung tangannya, Ana pun mengangguk. "Hati-hati, ya, tapi. Kalau di sekolah enggak kuat, panggil Juno atau lapor ke guru aja."
Juno? Idih, enggak banget. Demi mendengar namanya saja, kekesalan Iris sudah kembali memuncak. Tangannya terkepal penuh amarah, yang dilihat Ana sebagai bentuk semangat pantang mundur.
Sambil mengamati punggung mungil Iris yang mengecil, menjauh dari rumah, Ana pun mengusap dada, terharu. Entah sudah berbuat baik apa dia di masa lalu, sampai mendapatkan Iris yang rajin sekolah begini. Ana tidak tahu saja, ada dendam kesumat yang turut melatarbelakangi keputusan Iris tersebut.
Di luar dugaan, perjalanan dari gang rumah Iris menuju tempat pemberhentian angkot itu tidaklah dekat. Alhasil, langkah demi langkah Iris tambah loyo. Untunglah Iris tetap sampai di gapura, dan ia tidak perlu menunggu lama sampai menepinya sebuah angkot berwarna kuning.
Mobil angkutan kota tersebut tidak sepenuh waktu pulang kemarin. Hanya terisi oleh ibu-ibu yang sepertinya bertujuan pergi ke pasar dengan membawa keranjang besar. Perjalanan Iris dipenuhi kantuk. Rasanya, Iris ingin bersandar di jendela dan direngkuh alam mimpi, tetapi urung karena takut sekolahnya terlewat tanpa disadari.
Setelah turun dan menyerahkan ongkos, Iris berlari kecil memasuki kawasan sekolah. Upacara belum dimulai. Syukurlah. Hanya saja, para pelajar sudah berdiri di barisan kelasnya masing-masing. Pukul tujuh, dan para anggota OSIS sudah sibuk menjaring siswa yang baru tiba, termasuk Iris.
Baiklah. Iris sudah dianggap datang terlambat. Itu berarti, Iris membiarkan namanya tercoreng oleh poin negatif, meski baru sekali ini. Ya sudahlah. Kalau hanya terlambat, biasanya hanya akan ditanya dan dicatat, lalu diperbolehkan untuk mengikuti upacara seperti biasa.
Baru saja Iris berniat bergabung dengan barisan kelasnya, suara Juno sukses menghentikan setiap pergerakan Iris. "Dasinya mana?"
Setelah membeku di tempatnya untuk sesaat, tangan Iris langsung mengecek kerah seragamnya. Tunggu ... apa? Tidak! Jelas-jelas Iris sudah memakainya dari rumah. Apakah jatuh di perjalanan?
Tidak membiarkan Iris panik sendiri dan menghambat pelaksanaan upacara bendera, Juno pun berdeham. "Silakan bergabung dengan barisan pelanggar di bagian barat."
Gila. Mengikuti upacara di barisan VVIP yang isinya siswa tanpa atribut lengkap? Iris tidak pernah membayangkan akan berada di posisi itu, bahkan dalam mimpinya sekalipun!
• 🦁 🐧 🐻 •
Ye! Jadi gais, Iris tuh emang tipikal anak yang gasuka disebut sakit:( Selain emang anaknya yang rajin, Iris gengsi sama Juno! Iya, kan ... dia takutnya Juno bakal mikir, 'Ya elah, si bocil. Baru sekali aku tinggalin aja udah langsung sakit, mogok sekolah.' Gituloh!😣 Daaah!
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.