Bab 1. Kehilangan

217 54 3
                                    

Hari yang melelahkan. Sangat. Sangat. Melelahkan.

Franzine Luke—43 tahun, sebelumnya selalu merasa bangga dengan staminanya yang prima, otaknya yang cerdas, dan nalurinya yang tajam, sampai palu milik hakim Sylvia Winfrey menundukkan keangkuhannya. Palu sialan itu merenggut semua kebanggaannya. Semua miliknya. 

Franzine merenungi lagi saat-saat ia keluar dari ruangan sidang, berbicara dengan pengacaranya kemudian dipersilahkan untuk masuk ke ruangan mediasi. Ia hanya diijinkan untuk berbicara dengan kedua putri kembarnya—Shane dan Shuli Luke, di ruang mediasi milik pengadilan dan di bawah pengawasan petugas pengadilan. Ia bahkan tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun di hadapan kedua putrinya itu, yang menatapnya dengan mata bulat cemerlang dan senyum polos seperti malaikat.

“Papa, kenapa mata Papa merah?” tanya Shane dengan kepala sedikit dimiringkan. Ia mengulurkan lengannya yang montok dan menyentuh pipi Franzine. “Papa mengantuk?”

Franzine menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum lebar yang dipaksakan, sampai membuat sudut-sudut bibirnya sakit. Ia mencium telapak tangan Shane dan meraih Shuli ke dalam pelukannya, membuat Shane juga melingkarkan kedua tangannya memeluk leher Franzine.

“Shuli lapar. Ayo pulang, Papa,” ujar Shuli sambil menjauhkan diri dari pelukan Franzine.

“Nanti dulu, Shu, Papa harus tidur sebelum makan. Kalau tidak, Papa mungkin akan tertidur di atas piringnya,” pungkas Shane sambil menggoyang-goyangkan jarinya di depan wajah Shuli. “Kau tidak boleh membuat Papa melakukannya lagi.”

Usia Shane dan Shuli terpaut delapan menit. Shane lahir lebih dulu dan hal itu membuatnya merasa bertanggung jawab atas Shuli. Kedua gadis kecil itu berusia enam tahun, tetapi Shane kadang-kadang menganggap dirinya berusia delapan tahun, supaya Shuli menurut kepadanya.

Petugas pengadilan yang duduk di sudut ruang mediasi sambil membaca novel romansa, berdehem, memberi isyarat agar Franzine segera bersiap untuk mengakhiri pertemuan setengah jam jatahnya, sebelum dia membawa Shane dan Shuli kembali.

Franzine memeluk Shane dan Shuli erat-erat dan seperti mengetahui bahwa ayahnya sedang bersusah hati, Shuli menepuk-nepuk punggung Franzine. Shane meraba-raba rambut di atas tengkuk Franzine, seperti kebiasaannya saat sedang merasa gelisah.

“Kembar, sekarang kalian harus pulang bersama Mama,” ujar Franzine seteleah beberapa saat, setelah ia yakin suaranya tidak akan bergetar dan airmatanya tidak akan runtuh saat menatap kedua putrinya. “Papa masih harus bekerja. Banyak orang-orang jahat yang masih berkeliaran di luar sana dan Papa harus menangkap mereka.”

Shane dan Shuli bertepuk tangan. Jelas, terlihat dari mata mereka yang menatapnya dengan pandangan memuja, kedua gadis kecilnya itu sangat mencintainya dan hal itu membuat Franzine merasa tenggorokannya mulai terasa panas. Tuhan, aku memerlukan seember air es untuk mengguyur kepalaku sekarang, batin Franzine.

“Kembar, ayo kita menemui Mama kalian sekarang,” sapa petugas pengadilan yang tiba-tiba saja sudah berada di samping Franzine.

Ia tersenyum lebar, tetapi senyum itu sama sekali tidak mencapai matanya. Ia hanya sedang melaksanakan tugas. Franzine membaca papan nama kecil pada seragamnya yang kaku dan suram berwarna abu-abu. Marry Angel. Franzine tertawa sinis, merasa betapa ironisnya nama itu untuk wanita kaku di sebelahnya.

“Pergilah, Sayang. Papa akan segera pulang dan menemui kalian di rumah,” ujar Franzine sambil mencium pipi Shane dan Shuli bergantian, memeluk mereka, dan memeluk mereka lagi lebih lama. “Jangan nakal dan cobalah untuk selalu menurut pada Mama.”

Shane dan Shuli melambaikan tangan dalam gandengan Marry Angel yang menyempatkan diri melirik dengan sudut matanya yang tajam kepada Franzine. Pintu tertutup di belakang mereka dan Franzine menggelosoh ke lantai marmer yang dingin dan keras. Kakinya terasa lemas, tidak kuasa menopang bobot tubuhnya sendiri.

Snakeroot KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang