Kampung Surga

1 0 0
                                    

Oleh: Bintang Eben Rusyd

Siapa pun tahu. Jika dia adalah orang yang selama ini mengubah kampung tersebut. Sebuah kampung yang dulunya begitu makmur seperti surga di dunia, hingga para tetangga kampung iri melihat kejayaan yang mereka miliki. Mengapa tidak, kampung itu memiliki segalanya. Bebuahan lebat. Persawahan subur. Air sungai yang mengalir jernih, seperti air PDAM di perkotaan besar. Para warga selalu menyirami dan mengairi persawahan mereka lewat sungai itu. Begitu makmur nan subur. Mereka pun menamainya dengan sebutan Kampung Surga, hingga datanglah seorang warga. Yang katanya, ia adalah seorang perantauan dari pulau seberang. Ya, begitulah kisah kedatangannya. Yang menyebabkan kampung itu menjadi berubah.

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Begini ceritanya, saban hari Pak Sukma_Kepala desa disana. Seorang tua berwajah putih bersahaja, yang hendak kemanapun selendang putih selalu melilit di lehernya, senantiasa mengelilingi rumah warga satu per-satu. Memberikan wejangan untuk jangan pernah melalaikan sholat.

Sudah dua periode lamanya ia memegang jabatan, kampung itu makmur. Tak sedikit juga mereka para pejabat, mulai dari lurah hingga dewan DPR mendatanginya. Hanya untuk sekadar menanyakan, apa yang selama ini Pak Sukma gunakan? Lalu, pria tua bersahaja itu hanya menjawabnya dengan kikikan tawa.

"Kalian datang dari jauh hanya menanyakan hal itu kepadaku?" Pria tua itu tertawa kecil.

"Sebenarnya, saya tidaklah memakai apa pun. Hanya saja, saya selalu menyerukan kepada para warga untuk senantiasa jangan pernah meninggalkan sholat." Ucap kepala desa.

Ketika jawaban itu yang terlontar. Setiap dari mereka yang datang mengernyitkan dahi. Menganggap Pak Sukma hanya sedang bergurau. Padahal tidak. Saat mereka menyadari raut wajh kepala desa yang tulus bahwa itu bukan sekedar gurauan. Mereka malah menertawakannya. Lalu menarik diri kembali dengan hasil sia-sia. Mereka menganggap Pak tua itu sudah gila. Gila dengan agamanya. Sok suci-lah. Sok menceramahi-lah. Sok agamis-lah. Dan sok-sok yang lain. Entahlah, sudah berapa banyak sudah orang yang berkunjung dan mendengar jawaban yang sama seperti itu. Lalu malah meremehkan agama yang ia pegang. Bahkan menginjaknya kalaupun perlu.

Namun semua itu benar apa adanya, pria tua itu selalu mendatangi rumah warga satu per-satu. Apakah kalian sudah menunaikan sholat? Mengapa ada diantara kalian yang belum sholat? Sholat apakah yang terasa begitu sulit untuk kalian kerjakan? Jika ia mendapati salah seorang warga yang tak melakukannya, Pak tua itu langsung menegur dan mengingatkan terhadap adzab kubur layaknya orang tua kepada anaknya. Mengingatkan bahwa hidup itu sebentar. Hidup itu hanya ibarat sebuah permainan.

Maka, hanya berbekal sepeda motor Astrea butut pemberian mendiang Abahnya, tiap pagi hingga menjelang Dhuhur. Ia berkeliling menghampiri rumah warga. Seperti sudah menjadi kebiasaan. Sebab, ia teringat dulu pesan mendiang Abahnya sebelum meninggal, jangan pernah lalai mengerjakan sholat!

Dan tang terakhir. Pria tua bersahaja itu mendatangi rumah si orang rantau. Hanya ia seorang yang tinggalnya paling jauh dari warga sekitar. Di dekat hulu sungai. Sebab tak ada lagi rumah kontrakan yang tersisa. Punya mbok Mariam_juragan di kampung itu. Habis ditempati oleh para orang rantauan pula. Ya jadilah rumah kontrakan itu satu-satunya yang tersisa.

Pada awal mula, semua nampak baik-baik saja. Tak ada kerusuhan ataupun masalah. Orang rantauan itu pun nampak baik di mata masyarakat. Jika ditanya Pak Sukma pun ia menjawab, "Sudah melakukan sholat. Sudah mengerjakan sholat."

Namun, suatu ketika, bertepatan dengan hari Jumat. Hanya orang rantauan pelosok itu yang tidak datang. Bisa dibilang masjid itu kecil bila dibanding dengan masjid lainnya di kampung sebelah. Jadi untuk mencari seseorang sangatlah mudah. Apalagi Pak Sukma sudah terbiasa seakan mengabsen warganya per satu.

Cerita NinaWhere stories live. Discover now