Elegi Semusim

1 0 0
                                    

Oleh : Afinisme Author

Aku masih mematung di sini. Dengan selembar kartu pos dan sebuah foto usang. Ingatan melesat, merobek waktuku sekarang untuk mengenang musim itu. Semusim bersama pria yang kukenal menggadaikan kehidupannya untuk samudera dan pukat yang menggantung di bahu. Pria yang kedua telapak tangannya telah kasar; selalu terbasahkan air laut. Tubuh hitam kekarnya yang terbakar mentari. Dan seulas senyum tipis saat ia mengantar kepergianku.

Ini musim yang keenam kalinya. Di mana aku lebih memilih memendam rindu sebelum pulang menemuinya dan membuat pria itu tersenyum. Aku terlalu sibuk dengan resto yang mulai berkembang ini. Enam musim berlewat tanpa terasa. Dan aku, hanya berkutat dengan kertas-kertas tagihan, nota belanja, gaji-gaji karyawan tanpa tahu bagaimana perasaan pria itu menunggu. Hanya amplop putih yang sesekali datang membawa kabar pria itu dan kampungku yang tersudut dari keramaian modernisasi. Pernah kukirimkan sebuah telpon genggam untuk memudahkan komunikasi antara kami berdua. Hanya berjarak tiga minggu, paket tersebut kembali padaku dengan sepucuk surat. Mengabarkan kalau ia tak bisa menggunakan benda asing tersebut sama sekali. Ah, Abah. Betapa aku merindukanmu...

Setiap malam, aku hanya bisa memendam rindu dalam diam. Menaut doa agar pria itu selalu bahagia. Berharap Ilahi membalas selaksa kebaikan yang telah ia berikan untukku. Dulu, semasa kecil, sembari menyulam pukat yang robek karena karang, ia bercerita untukku. Dengan binar matanya yang menyala-nyala, ia bercerita tentang kehidupan Rasulallah yang sangat memukau. Masa kecilnya, keluarganya, sampai beliau menjadi Rasul. Dan aku akan selalu setia mendengarkan Abah bercerita hingga larut malam. Kekagumanku terpupuk semenjak itu. Meski orang biasa, setidaknya beliau lebih mengetahui sirah Sang Nabi. Abah, sebagai pecinta bisu yang tak bisa mengungkapkan cintanya.

***

Siang hari, semusim yang membekas di ingatanku. Kemarau yang memuncak. Berkah para nelayan untuk mengarungi samudera dengan pukat-pukat dan perahu. Dan semusim inilah, perpisahan kami tercipta. Merenggangkan ikatan antara seorang anak dan ayah dalam jeda waktu. Dermaga dan lautan adalah bukti di mana aku mengucap pamit. Berpisah sementara ke rantau orang demi mengadu nasib. Meninggalkan kampung halaman untuk meraih mimpi-mimpiku. Berharap akulah satu-satunya anak yang bisa membuat tawa Abah bertaut dengan derai air mata bahagia.

Dengan bermodalkan ijazah dan beberapa potong pakaian, aku menyusuri pantai. Mencari-cari Abah yang selalu sibuk dengan pukatnya. Meski tak kudapati buliran air mata, paling tidak masih tersisa senyum, doa dan ketulusan wajahnya yang sudah ditumbuhi kerutan tua.

Jangan lupa shalat, shalawat dan doa." Hanya ucapan itu yang keluar. Sedangkan tangisku pecah tak tertahan. Berjalan pelan meninggalkan pria itu seorang diri dengan pukat di bahu dan perahu tua kesayangannya.

Abah telah mengajarkanku berenang, melempar pukat, memilah ikan dan membaca rasi bintang. Tapi ia tak pernah mengajarkanku bagaimana cara menegarkan hati ketika perpisahan tiba. Ia juga tak pernah mengajarkanku untuk meneteskan air mata ketika saat haru menumpuk di ujung dada. Kenapa? Karena lelaki tua itu tahu, perpisahan bukan suatu hal yang harus ditangisi.

***

Sepucuk surat kuterima. Jariku tanggap mengeluarkan isinya.

Untuk Ahmad, lelaki kebangganku

Anakku ...

Cukuplah surat ini sebagai perantara antara kita berdua. Kabar Kau telah sukses di rantau orang sudah terdengar ke tetangga dan warung-warung kopi. Anak nelayan miskin itu kini sudah menjadi orang yang berkecukupan. Pulanglah kalau Kau sudah tak tahan memendam rindu. Abah tak memerlukan apapun. Mendengar kau sudah sukses, itu lebih dari apapun bagi Abah.

Aku melipat surat singkat itu perlahan. Kerongkonganku sakit seperti dijejal batu karang. Rindu ini, memaksaku pulang sekarang.

Aku memang memendam rindu, Abah. Tapi aku telah berjanji, tak akan pulang sebelum biaya yang kutabung cukup untuk mengantarkanmu ke kubah hijau. Agar kau bisa menangis cinta di sana. Bersedu sedan untuk rindu yang selama ini kaupendam..

Aku memang rindu Abah... tapi, bukankah Abah telah mengajarkanku cara memendamnya? seperti lautan rindu yang menggejolakkan hatimu pada kubah Sang Nabi? Memilih diam meski linangan air mata tak cukup meredam semua.

Untuk doamu yang terangkai setiap malam, agar kau kelak dibangkitkan dan diakui sebagai umatnya, tunggulah semusim lagi, Abah. Aku kan pulang agar kau tersenyum bahagia.

***

Kutatap buku rekening dengan nominal lebih dari cukup untuk menemani Abah menyusuri negeri yang amat ia idamkan. Tentang mimpinya yang ia anggap hanya sebuah ilusi. Tempat di mana cintanya bertaut. Sebuah negeri yang pasirnya berwarna kecoklatan, dengan pucuk-pucuk dahan kurma yang senantiasa diterpa mentari dan merpati-merpati yang beterbangan anggun.

Masih kuingat, saat Abah menyebut-nyebut Madinah adalah kota yang paling ingin ia kunjungi. Tempat yang sering ia sebut-sebut dalam balutan doa. Potongan gambar Qubbatul Hadraa dari kalender lusuh pun masih ia simpan di laci bobroknya. Seringkali ia menangis sesenggukan ketika membaca Kasidah Burdah dengan suara lirih.

Tangisannya telah mengajarkanku, bahwa yang namanya rindu kadang membuat luasnya hamparan bumi menjadi sempit. Merubah birunya lautan menjadi hitam dan semilir angin menjadi amukan topan. Alam tak lagi indah sebelum bertemu dengan sosok yang ia kagumi.

***

Senja yang lembut, burung-burung camar, dan aroma lautan. Aku kembali menjejakkan kaki di pantai ini. Tempat di mana aku dan Abah memilah-milah hasil tangkapan ikannya. Tak banyak yang berubah. Kapal-kapal nelayan masih setia merapat di bibir pantai dan dermaga. Beberapa orang nelayan sibuk menurunkan jangkar. Dan di ujung sana, sebuah rumah yang menjadi bingkai kenangan masih berdiri kokoh. Memoar masa kecilku, sosok Abah dan semua sirah Rasulallah yang ia kisahkan ketika malam tiba.

"Assalamualaikum!" aku mencari-cari Abah di halaman belakang. Koper besar kubiarkan tergeletak begitu saja di emperan beranda. Kulihat pukat, caping dan peralatan yang sering ia gunakan tergantung di pojok dinding, berdebu, seperti didiamkan begitu saja. Mataku tetap menjamahi ruangan sempit ini. Mencari-cari Abah.

"Kak Ahmad mencari Abah, Ya?" Mimin, anak tetangga sebelah, mendonggak muncul dari jendela yang terbuka.

"Iya!"

"Ayo, ikut Mimin."

Mimin membawaku ke sebuah surau. Tempat Abah biasa shalat berjamaah dengan teman-temannya sesama nelayan. Kulihat dari kejauhan, penampilan Abah telah jauh berubah. Rambutnya yang memutih beruban, kerutan tua dan flek hitam hampir memenuhi mukanya. Ia terlihat duduk mematung, tatapannya kosong. Kuhampiri Abah dengan buncahan yang tak terperi. Kupeluk tubuh pria yang dulunya memelukku. Tangisku pecah, lidahku kelu tak bisa berkata. Pria itu tersenyum, ia sangat tahu dengan gestur, aroma tubuhku dan emosi yang kutumpah-ruahkan dalam pertemuan ini. Kami larut dalam haru. Beberapa orang tetangga yang kukenal terlihat menyeka air mata. Ikut terharu.

Aku teringat buku rekening itu, dengan cepat aku memamerkan pada Abah. Tatapannya tetap kosong, namun senyum itu selalu menggantung.

"Nak Ahmad..."

Pundakku ditepuk. Kupalingkan tubuhku, di belakangku, Pak Rudi, teman seperjuangan Abah ketika menaklukkan samudera dengan pukat-pukat lebar. Tatapannya ragu. Seperti ada yang ingin ia ungkapkan padaku.

"Nak Ahmad harus sabar, Ya... Abahmu divonis stroke semenjak lima bulan yang lalu. Syaraf mata dan lidahnya tak berfungsi sama sekali. Kami mengusahakan untuk pengobatan Abahmu, namun hasilnya tetap nihil." Pak Rudi menghela nafas, tangannya memegang sebuah kursi roda.

Ada sakit yang tiba-tiba merobek ulu hati. Lebih perih dari kulit yang dihujam seribu belati. Tenggorokanku menelan rasa pahit kenyataan. Ternyata waktu tak berpihak padaku. Sebaliknya, lebih memihak pada sebuah elegi suram, wujud kekecewaan, rasa sedih dan tepatnya penyesalan yang bertumpuk. Apalah arti nominal di buku rekening ini? Apalah arti usahaku selama ini? Kalau hanya akan berujung pada ironi yang sama sekali tak kuharapkan.

Senja telah berubah malam. Semilir angin laut menampar pipiku yang basah oleh air mata. Terlalu sakit untuk menyesali keadaan ini. Tak tega rasanya membiarkan pria yang telah melabuhkan usianya di arung gelombang dan pukat-pukat usang. Tak tega membiarkannya memendam rasa cinta dan rindu untuk pemilik kubah hijau. Sedangkan waktu telah enggan untuk memberiku kesempatan.

Raci, 07 februari 2016

(*) Pernah dimuat di majalah Cahaya Nabawiy. Pecandu telapak kaki ibu, hujan dan diksi ini aktif di Tim kepenulisan Pena Dalwa, Majalah Albashiroh, dan Dalwa berita.

Cerita NinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang