Seperti wanita pada umumnya. Richelle mendadak kaku karena perlakuan itu. Bahkan, Alaric berulah lagi, memainkan jempolnya dengan sensual di sekitaran bibirnya yang berminyak.

"Kau tidak makan?" Richelle menolehkan kepalanya sembari menyedot air mineral dalam cup plastik. Gerakan dari jempol Alaric mengambang di udara.

"Aku menunggu mu menawari makanan sebanyak ini. Mungkin ada satu potong pizza yang kau sisihkan untuk ku?"

Richelle tersenyum kecut. "Kenapa tidak membeli sendiri? Ini sudah menjadi milikku," meski begitu, Richelle tetap mendorong sekotak pizza yang masih ada tiga potongan di sana. "Makan lah. Aku tidak mau kau sakit."

Alaric, satu alisnya terangkat. Seakan sadar dengan ucapannya barusan, Richelle segera mencari alasan lain sebagai penjelas. "Maksudku, aku tidak mau bertukar peran jika kau sakit sekarang. Kau yang terbaring di sana," menunjuk ranjang pesakitan dengan gerakan dagu. "Dan aku memesan makanan untuk mu. Tidak mau."

"Kenapa tidak? Dulu kau selalu menangis jika aku terbaring sakit."

"Itu dulu. Tapi sekarang aku tidak peduli selagi tidak merepotkan ku."

Alaric hanya tersenyum datar lantas mengambil potongan pizza dan menghabiskannya. Omong-omong ia juga lapar. Kalau saja bisa memakan Richelle, itu lebih dari cukup.

"Kau tidak menelpon asisten ku?" Richelle bertanya. Dia sudah selesai makan karena perutnya terisi penuh.

"Tidak." Jawab Alaric berbohong tanpa menoleh.

"Ah, kau mana mungkin tahu siapa asisten ku. Jadi, wajar saja tidak mengabari Lucy jika aku ada di sini."

"Alih-alih menelpon asisten mu, kenapa tidak menelpon orang tuamu?"

"Aku tidak mau membuat mereka khawatir, mereka belum pulang dari Chicago. Ck, mereka pasti sekalian honeymoon..." Richelle menyumpal mulutnya dengan kentang goreng.

Kemudian, hening kembali membentang. Richelle curi-curi pandang pada Alaric yang sedang menghabiskan sisa makanan miliknya. Merasa bersalah karena memberinya makanan sisa. Tidak sopan bukan?

"Sudah. Jangan dimakan! Itu makanan sisa, kau bisa membelinya yang baru." Saat ia hendak menarik chicken swing dalam tempatnya, Alaric sudah lebih dulu mendekatkan wadah itu ke atas dan kembali memakannya sembari menatap geli pada Richelle yang sedang cemberut.

"Aku lapar. Kenapa kau melarang-larang aku?"

"Aku tidak melarang mu makan. Tapi jangan makan makanan ini! Kau tidak jijik? Itu bekas ku." Richelle melipat kedua tangannya di depan lalu duduk menyerong ke arahnya.

"Tentu saja tidak. Bahkan akan semakin lezat jika diterima dari suapan mu," senyum Alaric diakhiri kerlingan satu mata.

"In your dream!"

"Sudahlah, terserah kau saja. Aku ingin pulang, tidak nyaman tidur di ranjang pesakitan terlebih ada kau yang sedari tadi masih saja diam di sini." Katanya seraya berdiri hati-hati melewati sekat meja dan menarik tiang infus.

Sejenak Alaric berhenti mengunyah lalu menoleh padanya. Tentu ada perasaan asing yang tidak mengenakkan mendengar ucapan Richelle. "Kau belum boleh pulang."

Richelle yang berada di sisi ranjang memunggungi Alaric pun memiringkan kepalanya. "Kenapa begitu? Mereka pikir aku sakit parah? Ini hanya sakit perut biasa karena lapar, bukan apa-apa dan tidak harus sampai rawat inap segala."

"Tetap saja, judulnya kau se-dang sa-kit." Alaric sengaja menekan dua kalimat akhir. Mengambil beberapa helai tisu untuk membersihkan tangannya yang lengket.

𝙾𝚞𝚛 𝙳𝚎𝚜𝚝𝚒𝚗𝚢 (#𝟸 𝙴𝙳𝙼𝙾𝙽𝙳 𝚂𝙴𝚁𝙸𝙴𝚂)✓Where stories live. Discover now