Bab 1

56 10 2
                                    

Wangi melati yang menguar dari secangkir teh poci dalam genggamanku membangkitkan sekelumit kenangan dua tahun lalu. Sekelumit kenangan manis yang akhir-akhir ini membuat hatiku kian teriris. Sekelumit kenangan manis tentang dia yang menghilang setelah mengenalkanku tentang indah kotanya, tentang wangi tehnya, juga tentang hangat mendoan-nya.

Aku menghirup pelan-pelan aroma teh itu, menikmati hangat yang terbawa oleh asap tipisnya. Dulu, dia pernah memberitahuku bahwa tak ada teh yang seenak teh di kotanya. Dia juga memberitahuku bahwa akan lebih nikmat jika meminum teh itu bersama sepotong mendoan sembari menatap senja di pantai Larangan.

"Mbak'e tahu ndak kenapa teh poci ini enak?"

Suara ngapaknya mendadak kembali memenuhi isi kepalaku. Seperti adegan yang ditayangkan ulang, gambar-gambar tentangnya terlihat jelas di depan mataku. Rasanya, seperti dibawa kembali ke memori dua tahun lalu. Kala pertama kali dia membawaku di pantainya, kala pertama kali dia menggodaku dengan kata-kata gombalnya.

"Kenapa memangnya?" tanyaku waktu lalu saat tak ada tanda-tanda dia akan mengeluarkan suara setelah sepuluh menit berlalu.

"Karena minumnya sama Mbak'e lah."

Mendengar jawabannya sungguh membuat pipiku memanas, bibir bahkan mendadak keluh. Sebenarnya aku bukanlah tipe perempuan yang mudah blushing, tapi tak tahu mengapa jika dia yang berbicara segalanya menjadi begitu kacau. Jantung berdetak kencang dan mata pun segan untuk menatap. Bersamanya aku merasa seperti ABG labil yang dihinggapi virus merah jambu.

"Mbak'e manis kalau malu-malu seperti itu kayak senja."

Nyaris saja aku menumpahkan teh poci yang melingkar di tanganku saat sekali lagi laki-laki dengan tampilan tengil itu melayangkan rayuannya.

Alih-alih mengumpat atau menghentikan tingkah norak laki-laki itu, aku justru memilih mengikuti arah pandangnya pada langit jingga.

"Mbak'e lihat, 'kan, mataharinya malu-malu kayak Mbak'e. Cuma bedanya mataharinya warna jingga, pipi Mbak'e warna merah muda."

Refleks aku menyentuh pipiku dan benar saja udara di sekitar pipiku terasa begitu hangat. Mungkin memang benar kata dia kalau pipiku sudah benar-benar bersemu merah.

"Aku suka lihat wajah Mbak'e kalau kayak gitu. Cantik."

Aku mengusap sudut mata yang terasa basah. Segala hal tentangnya mengapa begitu menyiksa? Segala hal tentangnya mengapa membuatku begitu merindu?

24 bulan aku masih betah berlama-lama tinggal di kotanya. Berharap dia kembali muncul, meriakkan namaku di pantainya, lalu mendekapku sembari mengucapkan kata cinta.

***

"Masih ngarep pengamen itu muncul?"

Tepukan lembut di pundak membuatku sontak menoleh, menatap laki-laki jangkung yang sekarang merebut secangkir teh poci dari tanganku.

Dia, Randy, sahabat yang selalu mengomeliku, sahabat yang selalu mengingatkanku bahwa apa yang aku lakukan di kota ini hanyalah sebuah kesia-siaan. Beberapa saat aku sempat merasa bahwa apa yang dikatakan oleh Randy itu benar. Laki-laki yang aku rindukan tak akan pernah muncul. Laki-laki yang aku cintai tak akan pernah kembali. Namun, saat sekali lagi aku kembali ke pantai ini, maka saat itu pula keyakinanku kembali ada. Entah di senja yang keberapa, entah di sesapan teh yang keberapa, aku yakin laki-laki itu akan benar-benar tiba.

"Kenapa kamu nggak bisa relain dia, sih, Ra?" Randy meletakkan cangkir teh yang sudah kosong lantas menatapku lekat, "dia itu cuma seorang keparat yang kebetulan nolongin kamu saat kecopetan--"

"Ran!"

Pernyataan Randy benar-benar menyulut emosiku. Randy tak tahu bagaimana rasanya ditinggal tanpa pesan, 'kan? Randy tak tahu bagaimana rasanya memendam cinta tanpa ada kesempatan untuk mengungkapkan, 'kan? Randy tak tahu!

"Iya, 'kan, apa aku salah?" Tatapan Randy kian tajam, dia mungkin sama emosinya denganku sekarang. "Dia hanya keparat yang ngilang setelah bilang sayang!"

Randy meraup pasir di pantai lantas melemparnya asal. Seolah-olah apa yang dia lakukan dapat meredam emosi yang nyaris meledak. "Dia itu cuma seorang keparat!"

Satu tamparan aku layangkan tepat di pipi Randy. Aku benar-benar tak bisa merima segala makiannya. Randy tak mengerti apa-apa, dia sama sekali tak tahu.

"Ra, kamu udah benar-benar buta! Kamu udah benar-benar gila." Sahabatku itu tampak tertawa miris, seakan-akan sedang menertawakan ketololanku. "Bagaimana kamu bisa jatuh cinta sama cowok yang cuma kamu kenal namanya?"

"Kamu nggak tahu rumahnya. Kamu nggak tahu keluarganya. Lalu apa yang kamu harapkan dari cowok seperti itu? Apa!" tegas Randy kembali dan itu cukup membuat hatiku terasa begitu ngilu.

Ribuan sembilu seolah-olah menikam jantungku. Sakit, teramat sakit.

Apa yang dikatakan Randy memang benar, aku hanya mengenal nama laki-laki itu. Aku hanya tahu dia dari kota Tegal, aku hanya tahu dia penyuka teh dan senja, dan aku hanya tahu kalau dia mencintaiku.

"Mau cari dia di mana lagi, Ra?" Randy kembali mencecarku dengan pertanyaan yang sudah puluhan kali pernah dia lontarkan.

"Mau sampai kapan kamu tanya ke penjual teh poci dan mendoan tentang nama Gemintang?" Randy mendesah kasar lalu pelan-pelan dia mengarahkan tangannya di puncak kepalaku, "relakan dia, Ra. Please ...."

Satu per satu air mata mulai membasahi pipiku. Perih, sangat perih. Aku hanya ingin Gemintang tahu bahwa aku pun mencintainya. Bahwa aku pun menyanyanginya, sangat menyanyanginya.

Senja di langit sana perlahan berganti kelam, lampu-lampu di sekitar pantai mulai mengantikan sinarnya. Namun, aku tetap diam di pantai ini, menanti dia yang tak kunjung tiba.

"I love him, Ran. I love him ...."

"Aku tahu, tapi dia nggak pantas nerima cinta dari kamu, Ra."

Randy membawaku dalam pelukannya. Membiarkanku menangis di bawah langit yang kini mulai dipenuhi bintang.

"Lupakan dia, lupakan kota ini," bisik Randy kembali.

Andai melupakan begitu mudah, mungkin aku tak akan bertahan selama ini.

Andai melupakan begitu mudah, mungkin aku kusudahi segala hal tentangnya jauh-jauh hari.

Sayangnya, aku tak sanggup.

Sayangnya, aku tak mampu.

Nama Gemintang di hatiku masih seterang bintang-bintang di langit sana.

Aku masih menunggunnya.

"Mbak'e kalau aku hilang, jangan pernah kembali ke kota ini, ya ...."

Kalimat itu kembali terngiang di telinga dan itu cukup membuatku memaki ketololanku.

Mengapa waktu itu tak segera aku ungkapkan perasaanku.

"Kenapa kamu ngomong seperti itu? Memangnya kamu mau menghilang?"

Aku masih ingat bagaimana dulu Gemintang mengangkat bahunya, seolah-olah dia sendiri tak yakin akan menjawab apa.

Aku juga ingat bagaimana wajahnya menjadi sepucat bulan, saat dia selesai mengecup keningku.

Aku juga masih ingat bisikan terakhirnya sebelum akhirnya dia benar-benar pergi.

"Aku sayang kamu, Mbak'e."

Apa jatuh cinta selalu menyakitkan seperti ini?

Gemintang menemaniku dalam waktu yang sangat singkat. 190 hari, tapi dia mampu membuatku jatuh cinta hingga detik ini.

Gemintang menemaniku hanya saat senja, tapi dia mampu membuatku gila bahkan hingga pagi menjelang.

Gemintang mungkin bukan tipe laki-laki impianku. Dia tak terlalu tampan, wajahnya terlihat tirus dengan mata yang sedikit cekung, kulitnya kuning langsat, dan rambutnya cokelat. Dia tengil, suka tersenyum usil, dan suka sekali menyanyikan lagu-lagu romantis. Jauh dari gambaran pangeran yang dulu sering aku agung-agungkan. Tampan, berdada bidang, dan berkulit sawo matang. Namun, tetap saja perasaanku kepada Gemintang tak pernah lekang.

***

Gemintang (Segala Rindu yang Belum Sempat Terucap di Kotamu) EndWhere stories live. Discover now