Ditulisnya namanya, Ares Dwipangga, lalu diletakkannya pensil di samping selembar kertas dan menoleh ke sudut lain ruangan.

Bocah tujuh tahun itu mengangkat kertas yang kini bertuliskan namanya tersebut dan menunjukkannya pada sang ibu yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

"Ma, Mama, bener kan tulisannya gini?" tanyanya bersemangat. Sang ibu tertawa kecil dan mengangguk.

"Tadi pas sekolah, Abang diajarin bikin singkatan sama Bu Darsih. Kalau nama Abang disingkat, jadi Ade dong ya? A sama D?" celotehnya.

"Iya betul. Abang pinter, anak mama memang hebat!" puji ibunya.

"Mulai sekarang, abang maunya dipanggil Ade," katanya bangga.

Ibunya tertawa lagi. "Biar apa, Bang?" tanyanya geli.

"Ya biar keren, Maaaa!" sahutnya.

Sang ibu hanya tertawa melihat kelakuan putra sulungnya tersebut.

Tak lama kemudian, pintu kamar tersebut diketuk. Seorang perawat mendorong sebuah box bayi akrilik beroda ke dalam ruangan.

Bocah laki-laki tadi terdiam dan menghampiri box yang kini terletak di samping ranjang ibunya.

"Ini adek?" tanya bocah tersebut.

"Iya, ini adeknya Abang. Namanya Armilla, Armilla Dwipangga," jawab ibunya sambil tersenyum.

"Adek cantiiik sekali, mirip Mama," kata bocah bermata hijau itu.

Ibunya tertawa. "Iya lah, anak mama gitu lho. Abang juga ganteng," pujinya.

Ares terbangun dengan keringat dingin.

Lagi-lagi mimpi tentang masa kecilnya menghantui.

Ares terbangun dengan perasaan gelisah. Setelah keluarganya dimakamkan, malam-malamnya selalu dihantui mimpi akan masa lalunya, tak hanya tentang memori akan keluarga dan masa kecilnya, tapi juga Chika dan orang-orang lain yang dikenalnya di masa kecil.

Setidaknya penggalan memori yang seakan diputar kembali dengan jelas itu  sedikit mengobati kerinduannya akan kehadiran mereka. Membuatnya tetap mengingat mereka dalam detail.

Namun, apa dayanya jika mimpi-mimpi tersebut juga membawa kegalauan, membuatnya tak cukup tidur setiap malam karena dia tak akan bisa kembali tertidur setelah terjaga darinya.

Ditolehnya jam waker di atas nakas yang menunjukkan waktu pukul 2 dini hari.

Ini bahkan lebih awal dari biasanya, batinnya. Dia memasuki kamar mandi kamarnya untuk membasuh wajahnya, dengan harapan kantuk akan hinggap kembali setelah sensasi sejuk menerpa kulit wajah dan lehernya.

Sambil mengeringkan wajah dengan handuk, Ares berjalan ke arah dapur dan mengisi air ke dalam gelas, lalu meneguk isinya hingga habis. Sudut matanya menangkap cahaya yang menyorot ruang tengah lantai dua yang gelap, berasal dari salah satu pintu kamar yang terbuka.

'Ada yang masih bangun jam segini,' batinnya.

"Udah selesai semua, bobok yok Pippo ...."

'Mariska, dia masih bangun,' pikirnya.

Beberapa detik kemudian pintu kamar Mariska tertutup, dan ruang tengah kini gelap gulita.

Dia pun masuk kembali ke kamarnya, dan mendapati sebuah pesan masuk ke ponselnya yang tergeletak di atas nakas.

_____
Mariska Bukan Chika
| Ares
02.09 am

Dibalasnya pesan tersebut...

_____
Ares Dwipangga
| Iya sayang 😘
| kenapa blm tdr?
02.10 am
_____
Mariska bukan Chika
| 🙄
| Aku baru selesai kerjain tugas.
| Udah aku transfer duit kos bulan ini, tlg cek masuk apa ga.
02.11 am
_____
Ares Dwipangga
| Dpt no.rekku dari mana?
02.12 am

Digantinya nama kontak Mariska.

_____
Calon Istri
| Monik.
| Kenapa ngga tidur?
02.12 am
_____
Ares Dwipangga
| Tidur tadi, selalu kebangun jam segini, gbs tdr lg.
02.13 am
_____
Calon Istri
| Mau dibikinin minuman anget? Biar bs tdr lg
02.15 am
_____
Ares Dwipangga
| G usah, temenin aku aja kalau g kbratan
02.16 am
_____
Calon Istri
| Sleep call?
02.17 am

Om KosWhere stories live. Discover now