1. Pasang Pertama di Bulan Ini

Mulai dari awal
                                    

Barangkali, karena itulah ia—

"... suka sama Bapak,"

Kedua bola mata sang guru tidak bisa lebih bulat dari saat ini.

Raya tidak punya waktu untuk menarik kata-katanya karena segala hal yang menyusul setelahnya terjadi secepat kedipan mata.

Bunyi pintu yang dibanting begitu keras seketika mengunci napas sang pemuda. Getarannya merambat sampai kaca-kaca jendela.

Pak Dimas pergi, notes A5 berisi aransemen pribadinya yang selalu ia bawa tertinggal di atas meja. Sefrustasi itu hingga ia melupakan harta paling berharganya.

Raya berusaha mengontrol ekspresinya, namun ia tidak bisa mencegah rasa panas di sudut-sudut matanya.

Ini bukan masalah.

Ini bukan masalah.

Sama sekali bukan masalah.

Raya tahu itu. Dan, ia juga tahu dirinya adalah pembohong paling buruk di muka bumi saat air matanya berjatuhan ke lantai.

.

.

.

Breakwater (c) Aresiaccino

.

.

.

[Di dalam benak masing-masing manusia, ada badai yang menanti untuk ditaklukkan. Pertanyaannya: apakah engkau seteguh pemecah gelombang—atau justru siap karam layaknya perahu nelayan?]

.

.

.

"Ya elu tolol, Ga. Tahu udah mantanan masih aja lu baik-baikin. Kan ngarepin lu lagi, tuh—"

"Ya, jadi orang baik, kan, udah kewajiban semua umat manusia, Bi,"

"Pinter banget ngomongnya, udah cocok jadi DPR lu. Jago pencitraan. Ngomong-ngomong lo nggak telat ikut rapat OSIS, apa?"

"Masih lima menit lagi. Ini gue lagi jalan ke sana,"

"Kirain mau telat biar mantan lu ilfeel,"

"Lo kapan masuk lagi, Bi? Lama banget usus buntu doang,"

"Brengsek! Setan sama iblis kawin jadinya elu kali, ya, Ga?! Bukannya doain gue cepet sembuh..."

Wirga terkekeh mendengar omelan Abi.

Masih berbincang-bincang dengan temannya, Wirga berjalan cepat di sepanjang koridor antar laboratorium dan ruang ekstrakulikuler. Jabatan Wirga di OSIS memang bukan komponen inti—menjadi ketua ekskul jurnalistik entah sejak kapan membuatnya harus jadi anggota (tidak resmi) dari lembaga yang kadang membuat dahinya berkerut itu—, tapi bukan berarti ia punya hak lebih untuk tidak hadir. Lagipula, semenarik apapun ide untuk membuat mantannya (alias ketua OSIS mereka) ilfeel, Wirga masih lebih mengutamakan reputasinya sebagai murid teladan di sekolah.

Dengan tenang, pemuda berambut gelombang itu mengecek jam tangan hitam yang memeluk pergelangan tangan kanannya. Empat menit lagi rapat dimulai. Ia lekas mempercepat lajunya. Jangan sampai ini jadi kali pertama ia terlambat menghadiri sesuatu.

Rencana kecil Wirga itu sedang dieksekusi dengan sempurna sebelum bunyi gebrakan dari ruang musik memecah konsentrasinya. 

Langkah pemuda itu terhenti tepat di persimpangan koridor.

BreakwaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang