1. Pasang Pertama di Bulan Ini

1.5K 246 93
                                    

.

.

.

[Tahu fungsi dari pemecah gelombang? Ia memecah belah amukan lautan menjadi jutaan buih yang berlarian di balik permukaan air, mendekap mesra riak ombak yang berteriak lantang: aku pulang.]

.

.

.

Raya tahu betul kalau mencium sesama laki-laki di lingkungan heteronormatif akan membuat banyak orang memiringkan kepala. Apalagi, laki-laki yang ia cium adalah gurunya sendiri yang sudah beristri. Rasanya, untaian kabel listrik di jalanan ibukota jauh lebih simpel daripada urusan seksualitas Raya.

Pak Dimas mendorong tubuhnya dengan keras. Pinggang Raya bertemu dengan ujung meja yang lancip. Rasa sakit seketika menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Kamu gila, Raya?!" Pak Dimas berteriak, warna merah merambat hingga daun telinganya. "SAYA GURU KAMU!"

Raya meringis, namun matanya lebih betah menatap sepasang sepatu hitam sang guru dibandingkan sepasang bola mata yang menuntut penjelasan lebih jauh darinya.

Ini bukan masalah besar. Yang barusan hanyalah suatu reaksi dari sebuah situasi di antara mereka. Urgensi yang sialnya tak mampu Raya kontrol.

Sungguh, Raya memejamkan matanya rapat-rapat, ini bukan masalah besar.

Deru napas Pak Dimas adalah satu-satunya suara yang terdengar di dalam ruang musik. Ironis, batin Raya diam-diam, enam huruf itu menyela seluruh kata-kata yang nyaris menenggelamkan kewarasan sang pemuda. Ruangan yang seharusnya memantulkan bebunyian kini tak kalah senyapnya dengan pemakaman.

"Lihat saya, Raya."

Sang pemuda geming.

"Saya bilang, lihat saya."

"Pak Dim—"

"Raya."

Mendengar namanya bergulir dari bibir sang guru langsung meluruhkan seluruh upaya Raya untuk menghindar. Raya langsung memaki dalam hati. Dua tahun mengenal dan memendam rasa pada guru itu membuat si pemuda tidak bisa mengelak di hadapannya. Karenanya, setelah beberapa detik yang bergulir layaknya satu milenia—hanya lewat satu panggilan nama saja— pemuda itu menyerah.

Raya menengadah.

Tentu, ia langsung menyesali keputusannya. Itu adalah suatu kesalahan besar.

Raya dipaksa menelan situasi yang terasa amat sureal di hadapannya. Rambut Pak Dimas yang biasanya ditata rapi dan klimis kini acak-acakan—sebagian berjatuhan di dahinya, efek tarikan paksa yang dilakukan Raya saat mereka berciuman. Sepasang iris cokelat yang biasanya setenang permukaan danau kini porak poranda dihempas taifun.

Di dasar danau itu, Raya temukan angkara murka.

"Penjelasan apa yang bakal kamu berikan ke saya soal tindakan kamu barusan?"

Ini bukan masalah besar.

Mantra itu jadi kata-kata asing di telinga Raya.

Keduanya geming, namun pandangan Raya tak pernah beralih dari wajah sang guru. Sebesar apapun usahanya untuk kabur, Raya tidak mampu membuang muka. Ia terjebak—terperosok terlalu dalam layaknya pasak yang ditanam di tanah berlumpur.

Jauh di dalam hatinya, Raya akui kalau  Adimas Wirasena memang mempesona; paling menawan di seantero sekolah. Menginjak usia tiga puluh tahun, guru musik itu masih terlihat seperti anak kuliahan. Barangkali karena Pak Dimas murah senyum. Barangkali karena ia rajin mencukur rambut wajahnya dan selalu berpakaian rapi. Barangkali karena ia tidak pernah membedakan perlakuannya terhadap siapapun, bahkan pada murid seperti Raya.

BreakwaterOù les histoires vivent. Découvrez maintenant