Chapter dua.

26 4 2
                                    

Bella berangkat sekolah seorang diri, rasanya begitu aneh saat tidak ada lagi orang tua yang mengantar atau menjemput.

Bella menatap teman-teman nya yang di antar oleh Ibu atau ayahnya. Melihat bagaimana mereka tersenyum dan berlari masuk sekolah, Bella menatap semua itu dengan rasa iri.

"Kalo sudah pulang, jangan langsung kemana-mana tunggu mama jemput."

"Belajar yang rajin."

"Ini makan buat nanti siang, di habisin ya."

"Nanti biar papa yang jemput."

Perhatian dari Ibunya dulu terlintas di benaknya, dadanya kian sesak. dia sadar, bahwa tidak akan ada lagi perhatian seperti itu.

Tangannya mengepal kuat, tudung hodie di naikan menutupi sebagian kepalanya, menyembunyikan air mata yang siap meluncur.

"Bella?" ucap seseorang, tangannya menarik Bella agar menghadapnya.

Bella menatap anak cowok seumurannya, tersenyum ke arah nya. Bella mengernyit saat anak itu bersama ibunya menatap Bella sedemikian rupa.

Apa dia terlihat menyedihkan? Bella bertanya-tanya dengan dirinya. Tatapannya bergerak liar melihat sekitar. Benar! Hanya dia yang berjalan sendiri tanpa Ibu atau ayah. Bella tersenyum miris.

"Kamu memanggilku?" tanya Bella. Anak itu mendekat dan meraih tangan Bella.

"Ayo." ajaknya, Bella bergeming, membuat anak itu menatap heran.

"Siapa kamu?" tanya Bella hati-hati. Anak itu memiringkan kepalanya melihat jepit rambut yang tidak terpasang sempurna. Tangannya mencoba membenarkan letaknya.

Bella yang di perlakukan seperti itu, oleh orang asing segera menyingkir.

"Aku Arjuna mahesa," ucap anak itu, "sekarang aku temanmu." Ucapnya lagi dan mencoba mendekati Bella.

Tatapannya teduh, menyorot lembut ke arah Bella, namun yang Bella rasa si mata itu ada sesuatu yang di sembunyikan. Bella tersenyum miris mungkin tatapan mata itu lebih kearah kasihan.

"Aku tidak ingin punya teman." ujar Bella dan berlalu pergi.

****

Setiap hari Bella selalu merasakan kerinduan yang membuncah, seakan haus akan kasih sayang. Bella lebih suka pergi ke panti asuhan, sekedar untuk bermain atau mencari perhatian.  Raven tidak bisa memberi perhatian sebagaimana mestinya, pria itu terlalu dingin. Bella sendiri tidak mengharapkan itu.

"Bella apa kamu tidur di sini?" tanya Ibu panti. Bella menggeleng "tapi ini sudah malam." Ujarnya lagi, Ibu panti berjongkok mensejajarkan tinggi Bella.

Tatapan mata yang teduh, perlakuan yang lemah lembut, juga perhatian itu tidak bisa memenuhi rasa dalam benak Bella. Semuanya seakan hambar dan Bella semakin merasa sendiri.

"Tidak Bu, aku akan pergi. Terimakasih." ucap Bella dan berlalu pergi. Berjalan di kegelapan menatap kosong.

Masih terlalu kecil untuk gadis itu mengerti, menjalani hari-hari yang berat, berada di keramaian yang selalu memandangnya kasian.

Tujuh hari berlalu, semakin hari semakin merasakan kosong, hilang arah. Gadis itu memilih tetap berada di rumahnya yang telah di renovasi. Hanya ada dia seorang di rumah bekas pembunuhan dan kebakaran.

Setiap pagi membuat sarapan untuk dirinya, setiap malam selalu terjaga dan takut berada di kegelapan.

Ini kenangannya, dia harus mempertahankan apa yang dia punya. Gadis itu menatap Poto orang tuanya. Tidak ada ekspresi apapun yang di tunjukan seakan hatinya telah beku.

Di sudut ruangan, Raven memperhatikan Bella, tatapannya meredup menahan sesuatu yang bergejolak. Bohong jika dia tidak merasa sakit kehilangan kakak dan melihat keponakannya murung.

"Apa kamu butuh sesuatu?" tanya Raven tiba-tiba, Bella hanya menatap sekilas dan kembali menatap Poto.

"Mereka sungguh jahat, aku harus mengalami hari yang berat." ujar Bella mengadu pada pamannya.

Raven melangkah semakin dekat, dan berdiri di samping Bella.

"Kita pergi, dan tinggalkan semua ini." ucap Raven. Hening Bella tidak menjawab atau balik menatap Raven, gadis itu sibuk dengan pikirannya sendiri.

Matanya melihat setiap sudut rumah, bekas kebakaran masih banyak yang belum di renovasi. Membangkitkan kenangan yang paling menyakitkan.

Sekelebat bayangan anak kecil yang berlari sambil tertawa, di tangannya membawa boneka, membuat Bella menghela nafas. Bahagianya sedihnya semua kenangan ada di rumah ini.

"Kita akan kembali jika waktu itu tiba." ucap Raven lagi.

Bella menatap Raven dengan mata berkaca-kaca, semua kesedihan yang terpendam seakan tumpah ruah. Bella memeluk tubuh Raven, membuat Pria itu membeku sesaat.

"Om, Ayah dan Ibu seakan membayangi pikiran Bella." adu Bella, air matanya tak bisa lagi di bendung.

"Kita pergi dari sini, mempersiapkan diri. Dan kita kembali jika waktu itu tiba."

****

Mobil melaju membelah jalan dengan kecepatan sedang, tidak ada yang berbicara keadaan cukup hening. Bella sedari tadi menatap keluar dengan tak minat, sedangkan pria di sampingnya fokus menyetir mobil.

"Kita akan ke Amerika, semua kebutuhan kamu sudah di kirim." ucap Raven di sela menyetir.

Bella menatap Raven kaget, "kenapa Paman gak bilang dari awal?" tanya Bella. Bella mengira dia hanya akan pindah kota bukan pindah negara.

Kini gadis itu menunduk lesu, ingatannya jelas mengingat anak cowok yang selalu menemani harinya, di saat anak yang lain menjauh dan menatapnya kasian. Berbeda dengan Juna yang selalu ada dan membagi setiap bekal siangnya.

"Apa kamu keberatan? Atau ada sesuatu yang tertinggal?" tanya Raven, menyadari wajah Bella yang murung.

"Tidak, hanya saja aku harus pamit pada seseorang." lirih Bella. Raven mengernyit, pria itu menyodorkan ponselnya. Barangkali Bella ingin menelpon.

"Tidak biarkan saja, bukan siapa-siapa juga." ucap Bella. Dan melihat keluar. Pemandangan luar cukup membuatnya tenang.

Mulai hari ini, Bella akan membalas semuanya, memulai harinya dari awal, menata hidupnya kembali dan belajar untuk di masa depan.

Bella bertekad untuk membalas rasa sakitnya, lebih dari yang dia rasakan.

Tanpa sadar kedua tangannya mengepal kuat. Dia tidak sendirian ada Raven di belakangnya. Dia harus kuat untuk membalas semuanya. Membalas rasa sakit orangtuanya dan rasa sakit dia.

"Aku bersumpah, akan membuat hidup orang yang membunuh orangtuaku menderita, lebih dari yang aku rasakan. Bahkan akan ku buat dia berpikir bahwa kematian lebih baik. Menyesal telah di lahirkan ke dunia." ucap Bella memberikan sumpahnya, Raven yang mendengar tekad Bella tersenyum tipis. Ini yang dia inginkan membalas dendam atas kematian sang Kakak.

"Lakukan apapun yang kamu inginkan! Paman akan berada di belakangmu. Menjadi pemain di belakang layar." ucap Raven memberi semangat pada Bella.

Bella menatap Raven dan tersenyum, keduanya saling tatap dengan senyuman iblis, seakan ingin menghancurkan satu keluarga. Jika hari itu tiba tidak akan ada lagi ampunan. Cukup sampai disini dia merasa kosong dan tanpa arah.

Bella akan membalas berkali-kali lipat dari semua yang dia alami.

"Ayah, Ibu. Bersabarlah aku harus menyiapkan diri untuk bertarung."

"Ayah, Ibu. Aku merindukan kalian." Setetes air mata jatuh tak terbendung. Lautan yang luas itu menjadi saksi atas sumpah yang di ucapkan Bella.

Bella memandang laut dari mobil, "lakukan apapun seluas lautan, bahkan lebih."

Tears of BellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang