Bandung, 19 Desember 2020
Res, jika bukan karena kenangan kita dulu yang terus menerus mengganggu pikiranku, aku mungkin tidak akan pernah berani menginjakkan kaki di kota ini lagi. Kalau bukan karena segenap perasaan yang kupunya belum sepenuhnya lepas darimu, aku mungkin akan selalu menolak untuk kembali ke kota ini. Bandung terlalu ramah untuk aku yang tidak lagi dipeluk kehangatannya. Aku terlalu lemah untuk sekadar berani melangkah ke tempat yang paling enggan kudatangi setelah kejadian empat tahun lalu.
Res ... jika bukan karena keyakinanku bahwa kita akan bertemu untuk terakhir kalinya, sudah pasti aku tidak akan ada di sini. Aku mungkin akan sibuk mempersiapkan hari besarku di negara sana. Namun setelah melalui perdebatan panjang antara pikiran dan nuraniku, aku memilih untuk menyelesaikan semua yang pernah terjadi di sini. Jikalaupun kita tidak bertemu, akan kupastikan bahwa segenap kepingan luka yang kubawa hingga langkahku sudah menjauh pun akan kutinggalkan di sini.
Dari aku yang mencari untuk kemudian melepaskanmu,
Rengganis Miranda.
࿐ ࿔*:・゚
Bandung dengan segala kesibukan dan kenangannya. Kota yang selalu sukses membuat seorang Rengganis rindu untuk pulang. Kota yang sekarang mengalami begitu banyak perubahan. Proyek pembangunan mall, hotel, dan apartemen elit, seolah tidak mau absen selama mobil yang berada di bawah kendali perempuan berambut panjang ini terus menerus membuatnya berdecak kagum. Kagum karena kota ini terlihat maju, penataannya semakin rapi, dan hal-hal lain yang ia lewati selama memulai hidup baru di Belgia.
Ketika Rengganis sampai di tujuan, ia berhenti menginjak pedal gas. Mobil terparkir rapi bersanding dengan jajaran mobil lainnya. Kaki jenjang berbalut celana kulot hitam membawanya ke suatu bangunan yang berhasil membuat ingatannya terbawa ke masa lalu. Tempat yang sengaja Rengganis datangi demi melepas sesuatu dan meninggalkannya di sini.
Rengganis memasuki sebuah auditorium besar, berdiri tepat di tribun yang dulu ia tempati saat seorang laki-laki dengan lantang mengatakan bahwa dia akan mencari, menemukan, menghampiri, dan kemudian meminta Rengganis untuk menjadi miliknya.
Sial. Wisata masa lalu kenapa harus terasa menyesakkan seperti ini? Kenapa bulir air mata tidak pernah bisa tertahan untuk sekali saja tidak menetes saat aku mengingatnya? - Rengganis mengumpat dalam hati.
Di mana laki-laki itu sekarang? Ke mana arus pergerakan dunia membawanya? Apakah dia masih hobi berkutat dengan gitar akustik kesayangannya? Apakah suara indah itu masih sering dia suarakan di hadapan orang banyak yang pasti memberinya tepuk tangan meriah? Atau mungkin ... dia sudah menemukan kebahagiaan lain yang bisa lebih menemani kesepiannya?
"Res, apa kamu baik-baik saja?"
"Apakah kamu sudah menemukan kebahagiaan lain yang mampu mengisi kosongmu?"
"Ada di mana kamu sekarang?"
Suara derit pintu yang terletak di serong belakang terdengar nyaring, namun itu tidak mampu membuat Rengganis menoleh dan melihat siapakah gerangan yang ikut memasuki ruang gelap ini? Ruangan besar yang hanya bagian panggungnya saja yang diterangi cahaya lampu kemuning, seolah tengah menyorot satu penampil, padahal di depan sana tidak ada siapa-siapa.
"Kayaknya ... tempat ini memang bagus untuk dijadikan wisata sejarah masa lalu ya?" tanya seseorang yang Rengganis duga adalah orang yang tadi baru memasuki ruangan ini, orang yang menyebabkan suara derit pintu itu menggema ke seisi auditorium.
Rengganis enggan menoleh. Pandangannya masih lurus ke depan dan memandangi lamat-lamat panggung berpermukaan kayu di sana. Seolah-olah, seseorang yang kini tengah ia ingat kembali sedang berdiri di sana persis seperti malam itu, tepatnya tanggal empat belas Januari delapan tahun silam.
YOU ARE READING
Location Unknown
FanfictionKisah sederhana ini akan menceritakan tentang betapa pentingnya kata maaf bagi seseorang yang ingin melangkah pergi dari masa lalu, melepaskan rasa sakit dan segenap perasaan yang dimiliki, serta melanjutkan hidup setelah kata maaf terucap secara la...
