7. Si Eksentrik.0

Start from the beginning
                                    

"Wow ...," komentarku yang gak tau harus ngomong apa. Monik ketawa.

"Sini bentar," katanya sambil menyeret tanganku ke teras depan.

Aku nggak ngerti maksudnya apa sampai melihat Ruby menaiki motor Harley Davidson dan menyalakan mesinnya. Asap putih mengepul keluar dari ujung knalpot dibarengi dengan suara mesin yang meraung-raung. Antik benar si Ruby.

"Nik! Tolong tutupin gerbang!" serunya sebelum berlalu dengan kecepatan tinggi.

Beberapa detik kemudian Monik tertawa melihat ekspresi wajahku. "Ruby emang sangar, tapi lu musti agak ati-ati. Dia naksir berat sama Ares, yaa walaupun Ares nggak doyan sama dia," kata Monik, yang cukup menyadarkanku bahwa gak mungkin cowok macam Ares punya cuma sedikit penggemar.

Aku mencoba untuk nggak kepikiran akal hal ini, tapi tetap saja Ares manusia biasa dan bisa aja khilaf, pasalnya Ruby adalah wanita yang sangat sexy. Pikiran ini membuatku tertawa dalam hati, bagaimana mungkin aku merasa nggak enak sementara Ares dan aku nggak punya hubungan apa-apa.

Kami pun masuk dan melanjutkan makan setelah Monik menutup pintu pagar.

"Tiap hari pesan makanan begini?" tanyaku.

"Senin sampai Jumat ada si Mbok yang bersih-bersih, laundry, dan masak. Sabtu Minggu kami gantian masak, walaupun seringnya Ares yang masak, atau pesen begini," katanya. Aku mengangguk mengerti.

Beberapa saat kemudian, Anna pamit untuk berangkat kerja. Setelah mengantarnya keluar, kami menghabiskan waktu di kamarku hanya tiduran dan ngobrol untuk saling mengenal satu sama lain sampai akhirnya Monik kembali ke kamarnya untuk mengerjakan tugas kuliah.

Saat sedang mengangkat jemuran kulihat mobil Ares masuk ke parkiran. Kuperhatikan saat dia jalan ke arah gerbang untuk menutupnya, lalu kembali ke arah mobil untuk membuka bagasi dan diam di situ selama beberapa detik. Terlihat belanjaan yang cukup banyak di bagasinya.

"Butuh bantuan?" tanyaku.

Dia menoleh ke arahku, "From you? Always(Gak akan nolak kalau dari kamu)," katanya sambil menahan senyum.

Aku turun dan keluar dari rumah tanpa pikir panjang, membantunya untuk membawa beberapa kantong kertas berisi buah, sayur, daging, dan bahan masakan lain sementara Ares membawa masuk sekarung beras dan beberapa tray telur.

"Ares selalu belanja beginian sendiri?" tanyaku.

"Mm-hmm, nasip jomblo ya begini ini," jawabnya geli.

"I don't mind going with you," kataku.

Dia menoleh ke arahku. "Really?"

Aku mengangguk. Kami meletakkan bahan makanan di atas meja pantry. Ares menuang isi karung ke dispenser beras dan aku menata bahan makanan di kulkas.

"Kalau orang kira kamu istriku, gimana?" tanyanya tanpa menoleh ke arahku.

Kurasakan pipiku memanas, dan nggak tau harus jawab apa. "Okay," gumamku. Ares tertawa.

"Jadi gimana aku bayar kosnya?" tanyaku kemudian.

"Should I give you my bank account number?" dia malah balas nanya.

"Kecuali kamu maunya cash," jawabku.

Aku sudah selesai menata bahan makanan yang tadi kubawa dan duduk di kursi pantry sambil melihatnya menata telur di kulkas.

"Kamu prefer yang mana?" tanyanya.

"Terserah Ares," jawabku.

"Nanti aku kasih nomor rekening aja," katanya setelah berpikir selama beberapa detik.

'Kenapa gak dari tadi?'

"Ares suka kue yang dibikin dari bahan apel?" tanyaku.

Dia menawarkan sekaleng rootbeer yang kuterima, mengambil satu lagi untuknya lalu duduk di sampingku, kemudian memutar kursinya untuk menghadap ke arahku.

"Tergantung sapa yang bikin," jawabnya sambil membuka kaleng lalu meminum isinya.

"Aku," jawabku.

"Then I'll love it," katanya.

"Maunya apa? Pie? Pastry? Apple cinnamon?"

"Apa aja," jawabnya.

"Kalau gak enak?" godaku.

"Tetep aku makan," jawabnya sambil menggaruk dagu. Aku tertawa.

Dia menatapku yang sedang tertawa dalam-dalam, membuatku salah tingkah. Kupilih untuk membuka kaleng dan minum untuk menyembunyikan wajahku.

"Boleh nanya?" kataku kemudian.Dia mengangguk.

"Mmm ... ada adek kelasku yang ngekos di tempat Minah— maksudku di rumah Om Ivan. Aku kasih kabar kalau aku diusir dan sudah dapat kos baru. Dia maunya ngekos bareng aku, boleh aku tawarin ngekos di sini?" Dia mengangguk lagi.

"Berapa sebulannya?" tanyaku.

"Pantesnya berapa?" tanyanya.

"Sejuta dua ratus?" tanyaku balik.

"Kemahalan, kamar di atas gak sebesar yang di lantai 2 dan nggak ada bathtub," katanya.

"Sejuta?" tanyaku dan dia ngangguk lagi.

"Lalu kenapa aku dikasih cuma enam ratus?" tanyaku.

"Karena harusnya kamu gak usah bayar," jawabnya.

"Maksudnya?" tanyaku bingung.

"Kalau kamu mau nikah sama aku," jawabnya sambil menatap mataku. Aku kehilangan kata-kata.

"Ares jangan bercanda, deh," gumamku.

Deru motor menggaung dari luar rumah dan berhenti beberapa saat kemudian, disusul dengan suara gerbang ditutup. Sesaat kemudian Ruby memasuki rumah, wajahnya yang semula tanpa ekspresi berubah ceria mendapati Ares yang duduk di dapur. Ares menghela napas panjang.

"Hi, handsome," sapa Ruby dengan centil. "Mumpung kita sama-sama di rumah, makan di luar yuk."

Mata Ares nggak meninggalkanku sama sekali, bikin aku salah tingkah. Teringat dengan cerita Monik tentang Ruby yang naksir Ares, aku yang nggak mau bikin masalah memilih untuk pergi dari situ.

"Kamu ajak Monik aja," jawab Ares dengan ketus, sementara aku ngibrit ke arah tangga.

"Lah, kan aku pengennya pergi sama kamu," kata Ruby sambil ketawa gugup.

"Aku ada date," balasnya. "Sama Mariska."

Aku balik badan dan melotot ke arahnya. Gila kali, si Ares. Bisa dibunuh aku sama Ruby.

Ruby tertawa. "Yailah, Res. alau gak mau tinggal tolak aja, gak usah cari-cari alasan segala."

"Emang kamu bisa terima jawaban nggak?" tanya Ares.

"Gak, sih," jawab Ruby sambil nyengir.

Ares menoleh ke arahku. "Pake jaket, kita berangkat sekarang," suruhnya.

.
𝕁𝕒𝕟𝕘𝕒𝕟 𝕝𝕦𝕡𝕒
🇰 🇱 🇮 🇰⭐ 🇻 🇴 🇹 🇪 
𝕕𝕒𝕟 𝕥𝕚𝕟𝕘𝕘𝕒𝕝𝕜𝕒𝕟 𝕜𝕠𝕞𝕖𝕟𝕥𝕒𝕣

Om KosWhere stories live. Discover now