SATU

3K 314 22
                                    

Kematian itu aneh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kematian itu aneh.

Gue harap ada kisi-kisi jawaban untuk setiap pertanyaan yang sebenarnya nggak mau gue jawab. Jangankan mau memuaskan tanda tanya orang-orang—itu pun nggak yakin apakah mereka benar-benar peduli atau cuma ingin tahu—mulut gue belum sempat mengatakan apa-apa sejak dapat kabar pagi ini.

Mengapa bisa begini? Mungkin butuh seribu tahun untuk membalas dengan kata karena dan diikuti kata yang tepat. Apakah sebelumnya Tobias pernah cerita sesuatu yang terasa janggal? Terlalu banyak, Tobias suka bercerita. Benarkah Tobias meninggal dengan sengaja menenggak obat tidur berlebihan? Otak gue masih mencernanya.

Bagaimana perasaan gue mengenai sahabat gue yang mengakhiri hidupnya beberapa hari setelah ulang tahunnya sendiri?

Jangan tolol. Belum ada satu pun isakan yang lolos dari mulut, belum ada satu pun air mata yang jatuh, belum ada satu panggilan namanya yang bersuara senyaring panggilan untuknya di kepala gue.

Beban di dada gue semakin berat tiap detiknya. Sejak gue datang ke rumah sakit dengan tertatih-tatih seturunnya gue dari mobil sebelum matahari terbit, dan pakaian tidur yang kusut, dan tangan sakit akibat mengepal kencang-kencang.

Pandangan gue kian buram melihat Tuhan mengambil semua energi dan kehangatan yang selalu Tobias punya. Elok ikal rambutnya layu, mata jenakanya menutup, bibir penuhnya pucat pasi, jemari lentiknya merapat.

Tubuhnya yang terbaring dalam peti mati menciptakan bayangan yang panjang di kepala gue. Ingatan yang terpatri selamanya.

Gue menolak menjauh dari peti kayu itu, mengabaikan orang-orang yang lalu-lalang di rumah duka. Namun, gue juga menolak apa yang tertangkap pandangan. Ini nggak mungkin Tobias. Mustahil. Sebentar lagi dia pasti bakal muncul dari sudut tak terduga dan mengagetkan gue seperti biasa. Senyum tengilnya pasti melebar seiring intensnya gue memelototinya. Tawanya pasti menggema sesaat lagi.

Satu. Dua. Tiga. Gue menghitung.

Rasanya melayang, Mama terpaksa menarik gue menepi dan membuat gue duduk tepat sebelum limbung. "Sapta, coba minum dulu. Kamu belum makan apa-apa sejak pagi."

Mulut gue enggan membuka. Kerongkongan rasanya kering sekali. Sodoran air putih dari Mama cuma jadi fokus pandangan selama beberapa detik, sebelum netra gue beralih ke peti kayu itu lagi.

Tobias Rayal Athallah. Seseorang menyebut nama lengkapnya, disusul kalimat-kalimat duka. Keterkejutan gue masih diinjak-injak fakta penjelas di mana-mana. Yang disuarakan semenjak tubuh Tobias kembali ke rumah besar keluarganya karena tak tertolong lagi, pada karangan-karangan bunga yang berdiri hampir di sepanjang jalan, pada kalimat-kalimat monoton "Sayang ya, masih begitu muda".

Telinga gue menyangkal banyak hal hari ini. Larangan menyentuh tubuh kaku Tobias, untuk merasakan dingin tangannya. Imbauan menyandarkan punggung, sebab berkali-kali nyaris kehilangan kesadaran. Permintaan menyampaikan kata terakhir untuk Tobias.

Gue belum siap. Nggak akan ada yang membuat gue siap.

Peti mati itu ditutup, siap dikebumikan.

Gue menghitung lagi. Satu. Dua. Tiga.

Cara berjalannya waktu kadang terasa seakan menyalahi konsep-konsep Fisika yang selalu gue lahap di sekolah. Kadang berlalu terlalu cepat, kadang merayap lambat. Tubuh gue mematung di samping pusaranya, masih basah dan ramai oleh kepingan-kepingan bunga yang ditabur entah siapa. Tangan gue nggak punya tenaga bahkan untuk sekadar merapikan rambut di hari berangin ini.

Gue terus mendengar suara Mama yang mengajak gue pulang, tetapi gue nggak mau. Gue masih berusaha mengeja nama di nisan ini, gue masih berharap semuanya masih mimpi.

"Tobias?" Adalah kata pertama yang terucapkan hari ini. "Tobias?" Gue memanggilnya lagi.

Yang menjawab gue adalah derap kaki yang meninggalkan kami. Anggota keluarganya yang pertama pergi, disusul pelayat-pelayat undur diri. Terakhir, terang dari langit.

"Sapta, sebentar lagi akan hujan. Ayo pulang."

Ternyata Mama masih sabar menunggu di dekat gue yang kehilangan fokus entah berapa lama di area pemakaman ini.

Kali ini gue membiarkan Mama membawa gue ke dekat mobil. Sebelum membuka pintu, gue tersungkur dan memuntahkan isi perut yang tiba-tiba memaksa ingin keluar.

"Nggak apa-apa," kata gue pada pertanyaan Mama yang belum terucap.

Hujan turun begitu deras di perjalanan, menderu-deru. Gue duduk dengan tidak nyaman di kursi belakang, terus bergerak seperti tulang-tulang diremukkan dari dalam.

Sakit. Sesak.

Pintu kamar menutup, menghadapkan gue pada kamar yang sunyi. Tidak ada yang menahan gue lagi. Untuk berdiri tegap, berteriak sekencang yang diinginkan, dirasuki rasa kosong kehilangan.

Gue terduduk dan air mata pertama jatuh begitu saja. Disusul yang kedua, kemudian yang ketiga, dan seterusnya.

Isakan pertama, panggilan kesekian, denyut nyeri kepala kesejuta.

Tobias ....

Kalimat dokter pagi ini terulang-ulang, seperti sambaran petir di luar, sementara gue memeluk lutut bersama tangis yang kian keras.

Dia telah meninggalkan kita semua.

***

Bagaimana perasaanmu usai membaca chapter pertama cerita ini?

Best regards, Bayu Permana.

To Be TobiasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang