Past and Now | pt. 2

18 6 0
                                    

Ketika kita ingin menjaga sesuatu, terkadang penting untuk menyingkirkan hal-hal yang berpotensi membuat kita kehilangan. Namun ambisi bisa membuat kita lalai. Terlalu fokus menyingkirkan penghalang membuat pandangan kita teralihkan dari objek yang kita jaga. Tak menutup kemungkinan bahwa hal seperti ini telah membuka peluang bagi musuh lain untuk mendekat.

"Apa yang kau inginkan?"

Setelah hampir dua hari penuh berada di ruangan untuk mengurus Jisung, Ely berpikir jika dirinya butuh udara segar. Gadis itu tadinya hanya berjalan melintasi pagar kastil Chenle dan berbaur dengan orang-orang di jalanan yang ramai dengan orang beraktivitas di siang hari. Lingkungan sekitar kastil hanya terlihat seperti jalanan normal di kota-kota manusia, banyak orang berlalu lalang, dan sekilas tak akan ada yang menyadari keberadaan penghisap darah di antara mereka. Ely yakin bahwa dirinya sudah menyamar dengan baik, dan tidak cukup mencolok untuk mengundang makhluk aneh-aneh di sana. Tapi nyatanya, ada satu yang mengikutinya.

"Lama tak bertemu, nona." ucap seorang pria yang ikut menghentikan langkah di belakang Ely.

Si gadis berbalik, menghadapi seseorang yang ia sadari telah mengikuti langkahnya sejak beberapa menit lalu. Sekilas si penguntit yang ternyata seorang pria, tampak begitu normal— kulitnya tidak terlalu pucat, matanya gelap tidak merah atau keemasan, tidak bertaring ataupun dibayangi sayap hitam. Ely tak mencium atau merasakan satupun keanehan, tapi entah kenapa dirinya bisa meraba satu sinyal bahaya.

"Kita tidak pernah bertemu, setidaknya dengan wujudmu yang seperti itu." balas Ely pada orang asing itu.

"Ah, aku sudah menduga kalau kau kehilangan ingatan. Tapi bukan berarti kau boleh lepas dari kekacauan yang telah kau lakukan."

Ely berpikir sejenak. Kalau-kalau memang harus bertarung, tempat mereka berada sekarang rasanya kurang aman. Meskipun si gadis sudah melangkah ke tepian danau yang cukup sepi, tetap saja kawasan itu masih termasuk ke dalam taman yang letaknya di tengah kota. Tentu bukan hal baik jika harus memancing keributan di sana.

"Aku tak perlu membuat keributan, ini bisa berakhir dengan tenang jika kau mau." Laki-laki itu mulai berjalan mendekat. Ely bisa melihat raut penuh kebencian itu bermaksud mengakhiri napasnya. Tapi jangankan memikirkan penyebabnya, bahkan untuk menebak identitas pria itu saja masih tak ada apapun di benak si elf. Gadis itu hanya mundur perlahan sampai punggungnya menempel pada batang pohon jacaranda yang sedang berbunga. Seketika ia mengumpat dalam hati, bahkan tempatnya terlalu indah untuk merenggang nyawa.

"Kali ini aku tak akan terlambat."

Ely sudah merasakan lehernya tercekik kuat. Tapi bahkan si pria asing belum menyentuhkan jarinya sama sekali. Pria itu masih diam di jarak setengah meter, namun Ely merasakan panas menggerogoti lehernya dari arah belakang. Gadis itu meraba-raba lehernya sendiri dengan napas tercekat, ia tak mengerti apa yang terjadi sebab punggungnya jelas-jelas telah menempel lekat di batang pohon, dan tak ada seorang pun yang menyentuhnya. Apa pria itu menyihirnya?

"Ada apa denganmu? Kau terlihat kesakitan?" tanya pria itu.

"Kita tidak seakrab itu untuk saling bertukar kabar." Ely menjawab lirih sambil memasang seringainya meski tenggorokannya serasa terbakar. Ah, hal sialan macam apa yang telah mencekiknya? Tiba-tiba saja terlintas nama Jeno di pikirannya.

"Aku tidak menyakiti musuh saat sedang tidak berdaya."

"Astaga..hh.. aku bahkan masih tak mengerti kenapa kita menjadi musuh hahh...uhukk..." Ely merasa cekikannya menguat namun kemudian terlepas begitu saja sampai badannya terhempas ke depan menubruk si pria.

"Oh astaga! Leherku seperti mau patah." Ely sedikit bernapas lega sambil merenggangkan otot lehernya. Tangan kanannya dengan santai menumpu pada si pria asing, sementara tangan kirinya mengelus bagian leher yang memar dan perih.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 11, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Highway To Heaven | NCTWhere stories live. Discover now