Aku sudah pusing menghadapi sikapnya.
“Kalau kamu mau pulang denganku. Aku tidak akan marah seperti ini.”

“Oke. Aku akan ikut pulang bersamamu.”
Tidak ingin melihat keributan lagi. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang bersama Azam.

“Adiba,” panggil Amar.

Pria itu tampak tidak suka saat aku memutuskan pulang bersama Azam.
Aku memberikan tanda, jika aku baik-baik saja. Dengan menganggukkan kepala.

“Ayo!” Diraihnya tanganku oleh Azam. Segera, aku menepisnya.

Bergegas aku berjalan menuju ke mobil Azam. Pria itu mengejarku dan berjalan mendahului. Dia lantas membukakan pintu mobil untukku.

Terpaksa aku duduk di kursi yang berada di samping kemudi. Tanpa bicara Azam melajukan mobilnya. Memalui kaca spion, aku bisa melihat Amar masih berdiri terpaku menatap kami.

***

Dalam perjalanan pulang, Azam bertanya padaku. “Siapa pria tadi?”
Tanpa menoleh padanya, aku menjawab pertanyaan Azam. “Dia guru baru di sekolah.”
“Kelihatannya, dia suka padamu.” Sesaat Azam memandangku.

Aku sontak memandang Azam. Tak percaya mendengar ucapannya.  “Apa maksudmu?”
“Sepertinya pria itu menyukaimu,” tegasnya yang masih fokus mengemudikan mobil.
Aku membantah tuduhan Azam. “Itu  hanya bualanmu saja.”

Memang aku merasa sering diperhatikan oleh Amar. Namun, mana mungkin dia menyukai seorang wanita yang sedang hamil dan memiliki suami.

Entah merasa emosi. Ditepikannya mobil oleh Azam. Dia menatapku serius. “Apa kamu tidak melihat. Bagaimana caranya memandangmu tadi?” Dia berbicara dengan nada tinggi.
Aku memandang Azam dan berkata, “apa salahnya jika dia menyukaiku. Toh kamu juga tidak mencintaiku.”

Wajah Azam tampak merah padam saat mendengar jawabanku. “Oh begitu ya, Kamu itu memang wanita gampangan, yang mau sama sembarangan pria,” tuduhnya.
Kaget? Tidak. Cemoohan, Hinaan, Sudah menjadi santapanku setiap hari. Setelah dinikahi oleh Azam.

“Terserah bagaimana Kamu mau menilaiku. Aku tidak takut jika Kamu menganggapku begitu. Yang aku takutkan justru, jika Allah menganggapku buruk di matanya. Lebih baik aku buruk di mata orang lain, dari pada buruk di mana Allah SWT.”

Tak dijawabnya perkataanku oleh Azam. Dia kembali melajukan mobilnya.
Selama di perjalanan dia hanya diam. Namun, aku bisa melihat amarah di dalam dirinya. Apakah mungkin Azam cemburu pada Amar?

***

Setibanya di rumah, bergegas aku masuk ke dalam kamar. Membuang tas yang kubawa asal.

Rasanya aku sangat malu dengan apa yang diperbuat oleh Azam tadi.

Besok, kejadian tadi pasti akan menjadi perbincangan hangat. Apalagi, Bu Denok. Dia pasti akan menghujaniku dengan kata-kata pedasnya.

Azam tak ikut masuk ke dalam rumah. Entah mau ke mana dia. Tumben juga dia hari ini tidak masuk kerja.

“Ada apa, Nduk.” Ibu menghampiriku yang sedang duduk menangis di tepi ranjang.
Aku menjelaskan semua yang terjadi tadi pada Ibu.

Ibu juga sangat geram dengan apa yang dilakukan Azam.

Ibu dulu menyetujui aku menikah dengan Azam. Karena dia menilai pria itu. Setelah mengetahui bagaimana sikap aslinya. Ibu juga merasa geram.

“Sudah, Nduk. Jangan dipikirkan. Beristirahatlah. Kasihan janin dalam kandunganmu, bila kamu terus begini.”
Aku menuruti permintaan ibu dan bergegas membersihkan diri, lalu tidur.

***

“Aku akan tidur di sini.” Azam berbaring di sampingku.

Melihatnya, segera kuletakan buku yang sedang kubaca ke atas nakas.
Dia ke datang ke rumah selepas magrib. Tidak biasanya dia mau menginap. Biasanya Azam hanya datang sebentar lalu pulang.

“Aku enggak mau tidur satu kamar denganmu.” Aku mendorong badan Azam.
Azam beringsut bangun. Dia berjalan dari sisi kanan menuju ke sisi kiri ranjang untuk menghampiriku yang sedang duduk bersandar.

“Kalau aku tidak diizinkan tidur di sini. Lebih baik, Kamu pulang bersamaku.  Sekarang!” Azam meraih lenganku  dan menariknya paksa.

Aku meronta, mencoba melepaskan tangan Azam dari lenganku. Namun, tenaga Azam lebih muat dariku.

“Apaan sih, Kamu!” Aku memukul tangan Azam dengan cepat. Dia tetap saja tidak mau melepasnya.

Aku tidak mau pulang ke rumahnya. Enek rasanya melihatnya bermesraan dengan Luna. Lebih baik aku di sini, walau sendiri tanpa Azam.

“Kalau mau pulang, pulanglah sendiri. Bukankah ada Luna yang akan menamanimu. Untuk apa kamu memintaku pulang?”
Kalau dia kesepian kenapa tidak meminta Luna untuk menemaninya? Aneh. Padahal saat aku berada di sana. Hampir setiap hari wanita itu datang.

Azam lantas melepaskan cengkeraman tangannya. Dia membalikkan badan, memunggungiku. Pria itu tak menjawab pertanyaanku.

“Kalau kamu mencintai Luna kenapa kamu tidak menikah dengannya. Kenapa kamu justru menikahiku?”

Azam tak menjawab pertanyaanku. Dia justru kembali membaringkan badannya di sampingku dan tidur. Aku hanya bisa mengelus dada menghadapi sikap Azam.

Selesai.

Terima kasih untuk yang sudah mengikuti. Mohon maaf, cerbung hanya up sampai di sini. Aku tahu sebagian dari kalian pasti kecewa dengan keputusanku. Namun, sama seperti penulis lainnya, salah satu alasannya karena tidak ingin karya diplagiat.  Oh iya, yang belum puas bisa ke KBM App atau bisa juga memeluk novel dalam bentuk cetaknya. Novel cetak hanya tinggal beberapa eks lagi. Yang minat bisa japri. Siapa cepat dia dapat. Untuk di luar jawa tenang aja. Pembelian bisa via marketer. Jadi hemat ongkir.

 Jadi hemat ongkir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Malam Pertama Tanpa Selaput DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang