Bab 5

1.6K 29 1
                                    

Saat terbangun, aku sudah terbaring di atas sofa yang berada di depan ruang guru.

“Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Adiba,” ucap Icha yang duduk di sampingku.

Aku pun beringsut bangun untuk duduk.

“Tadi kamu jatuh pingsan di dekat parkiran.  Amar yang mengendongmu ke sini,” terang Icha.

Aku menganggukkan kepala pelan, berterima kasih pada Amar—guru olahraga baru di sekolah. Dia baru dua bulan mengajar. Mengantikkan Pak Soleh yang telah pensiun.

“Kamu kenapa? Kenapa bisa pingsan?” tanya Icha.

Aku menggelengkan kepala.
“Entahlah ... mungkin, karena aku kelelahan saja,” jawabku.

Akhir-akhir ini aku memang kurang tidur. Perut bagian bawah juga sering terasa sakit. Mungkin hal itu terjadi karena aku akan datang bulan.

“Ini minum dulu, Bu Adiba.” Bu Sarah membawakanku segelas air mineral.

“Terima kasih, Bu.” Aku meraih air mineral yang sudah tertancap sedotan dan meminumnya sedikit.

Sedangkan, Bu Retno membalurkan minyak kayu putih di telapak tangan dan kakiku. Aku sangat bersyukur memiliki teman-teman seperti mereka. Setelah dirasa mendingan.  Aku memutuskan untuk pulang.

“Terima kasih untuk semuanya.” Aku menatap mereka satu persatu. “Oh iya, sudah siang, aku mau pulang,” pamitku.

“Biar saya antar,” tawar Amar.

“Tidak, terima kasih. Biar aku pulang sendiri saja. Aku sudah merasa baikkan, kok,” tolakku.

Aku tidak biasa dan tidak pernah naik motor berboncengan dengan seorang pria.

“Beneran sudah baikkan? Bu Adiba masih tampak pucat sekali loh! Saya khawatir nanti terjadi apa-apa di jalan,” ucap Bu Retno.

“Iya Adiba. Aku juga takut sesuatu terjadi padamu di jalan nanti,” timpal Icha.

“Jangan khawatir, saya baik-baik saja kok.” Aku tersenyum meyakinkan mereka.

Icha juga menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang ke rumah. Namun, aku juga menolaknya dengan alasan bisa membawa motor sendiri.

***

Aku melajukan motor secara perlahan. Selain badan masih terlalu lemas, jalanan juga berupa gang-gang sempit. Banyak anak-anak yang berlarian atau sekedar bermain sepeda mengelilingi jalan gang. Jadi, harus ekstra berhati-hati saat melewatinya.

“Adiba, awas!”

Benar saja. Aku hampir menabrak bocah laki-laki berusia sekitar tiga tahun yang tiba-tiba berlari menyeberang jalan. Kalau, terlambat   mengerem sepeda motor, sedetik saja. Entah apa yang akan terjadinya pada anak tersebut.

Melihat kejadian tadi. Aku bergidik ngeri. Anak umur di bawah lima tahun, memang masih sangat rawan jika dibiarkan bermain sendiri di luar rumah. Banyak bahaya yang mengintai. Bisa saja, anak balita jatuh ke sungai dan tenggelam atau seperti anak balita tadi.

Aku pun menoleh ke kaca spion untuk melihat siapa yang telah memperingatkanku.

“Amar.”

Gegas pria itu menghampiri dan berhenti tepat di hadapanku. Amar pun turun dari motornya dan berjalan mendekat.

“Kamu tidak apa-apa, kan, Bu Adiba?” tanyanya memandangku dari ujung ke ujung.

Aku menggelengkan kepala. “Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Akan tetapi, aku tidak tahu bagaimana keadaan anak itu.”

“Sebentar, saya coba ke sana untuk memastikannya.” Amar menunjuk ke arah anak tadi yang sudah bersama seorang wanita di teras sebuah rumah.

Amar menghampiri mereka. Dia tampak berbincang banyak dengan wanita yang bersama anak tersebut. Merasa tidak enak, memutuskan untuk turun dari motor. Namun, Amar melarangnya.

Wanita tadi memandangku seraya tersenyum. Melihatnya rasanya lega. Aku pun menangkupkan kedua tangan di depan dada, meminta maaf pada mereka. Wanita itu membalasnya dengan senyuman dan anggukan kepala.

Setelah lama berbincang. Amar kembali menghampiriku.

“Alhamdulillah, anak itu baik-baik saja. Dia sudah bersama dengan ibunya. Aku juga sudah menjelaskan semua.”

“Terima kasih.”

Aku kembali melajukan motor. Kali ini aku akan lebih berhati-hati agar kejadian tadi tidak kembali terulang.
  Amar ternyata masih mengikutiku di belakang dengan sepeda motor hitamnya.

Melihat hal itu, sejenak aku kembali menghentikan laju motor. Amar melakukan hal yang sama.

“Ada apa? Kenapa masih mengikutiku?” tanyaku.

“Tidak ada apa-apa, Bu Icha tadi yang memintaku untuk mengawalmu hingga sampai rumah,” jelasnya.

“Oh.”

Kami kembali melajukan motor. Amar mengikutiku hingga tiba di rumah. Setelah memastikan aku baik-baik saja, dia pulang.

***

“Adiba, kamu kenapa?” Ibu menghampiriku yang masih  tidur dengan selimut menutup seluruh bagian tubuhku.

Badanku beberapa hari ini rasanya tidak bertenaga, lemah, dan lelah.

“Bu kayaknya aku masuk angin,” ucapku lirih.  Kepalaku juga terasa berputar. Mau bangun pun rasanya tidak sanggup.

“Ibu kerokin, ya,” tawar Ibu.
Aku menganggukkan kepala. Ibu bergegas mengambil minyak kayu putih dan uang koin untuk mengerokiku. Minyak kayu putih yang akan digunakan untuk kerokan di campur Ibu dengan bawah merah yang diparut kasar.

Sejak kecil, Ibu sering membaluri badanku dengan minyak dengan parutan bawang merah ke seluruh tubuh. Parutan bawang merah yang dibalurkan ke badan bisa meredakan demam batu dan pilek. Karena dalam bawang mengandung minyak atsiri, sikloaliin, metilaliin, kaemferol, kuersetin, dan floroglusin. Kandungan flavonoid yang terdapat pada bawang merah juga berfungsi sebagai anti radang, anti bakteri serta menurunkan panas.

Setelah dikeroki ibu, badanku sedikit membaik. Hari itu karena tidak enak badan, akhirnya kuputuskan untuk izin tidak mengajar.

***

Sudah hampir satu bulan aku  masuk angin. Kerokan pun hampir tiap hari. Namun, rasa pusing, lemas, dan mual tak kunjung reda. Semakin hari, aku justru merasakan kondisiku semakin memburuk.

Pagi itu aku duduk di depan TV dengan selimut yang menutupi seluruh badan. Ditemani secangkir wedang jahe hangat dan beberapa potong singkong rebus.

“Nduk, ibu antar ke puskesmas, ya.” Ibu yang baru saja keluar dari dapur berjalan menghampiriku. Karena khawatir, akhirnya dia meminta untuk periksa ke dokter.

Padahal aku merasa baik-baik saja. Hanya pada waktu pagi hari saja aku merasakan lemas dan seiring dengan cuaca hangat datang pada siang hari, lemas itu pun hilang.

“Bu aku baik-baik saja. Mungkin aku hanya lelah dan tertekan dengan apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini. Setelah minum obat masuk angin nanti juga pasti akan baikkan sendiri,” terangku.

“Tapi, Nduk. Sudah hampir satu bulan loh, Kamu masuk angin.” Ibu membelai lembut rambutku. Tiba-tiba Ibu menatapku serius. “Nduk, jangan-jangan.”

“Apa, Bu?”

***

Pagi itu juga kami ke dokter untuk memeriksakan apa yang sebenarnya terjadi padaku.

Pagi itu antrean juga sangat panjang. Aku mendapat nomor 26. Padahal kami sudah tiba di sana jam delapan pagi.
Setelah lama menunggu, akhirnya, nomor antreanku dipanggil.

“Kapan terakhir kali Bu Adiba menstruasi?” tanya Dokter.

Deg!

Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar pertanyaan dokter. Ibu pun memandangku penuh tanya.

Aku memang belum pernah menstruasi sejak menikah dengan Azam. Hal itu aku anggap wajar, karena ketika pikiran stres, biasanya terlambat menstruasi. Bahkan, terkadang sampai telat dua bulan, seperti saat ini.

Setelah ingat kapan terakhir menstruasi aku pun memberitahukan pada dokter.

Dokter lantas memberiku sebuah alat kecil. Dia memintaku untuk menggunakannya.

Aku berjalan pelan, masuk ke dalam kamar mandi. Aku hanya satu kali melakukannya dengan Azam. Mana mungkin bisa hamil. Rasanya tidak mungkin jika hamil. Pasti aku hanya masuk angin saja.

Setelah menampung urine ke dalam sebuah wadah yang  diberikan oleh dokter. Aku mencelupkan alat tersebut. Cepat, alat itu menunjukkan garis merah. Rasanya aku tak percaya melihat hasilnya.

Gontai aku berjalan keluar dan memberikan hasilnya pada seorang perawat yang membatu tugas dokter.
Dokter tersenyum melihat hasil tes kehamilan yang sudah beralih ke tangannya. Dia lantas meminta perawat untuk mengambilkan sebuah buku berwarna merah muda.

“Ini, Dok.” Perawat menyerahkan buku tersebut pada Dokter.

Dokter pun lantas mengisi buku itu. Tentunya dengan menanyakan beberapa pertanyaan padaku. Dia juga meminta perawat untuk memeriksa tinggi badan, berat badan, dan lingkar lenganku.

Setelah menjelaskan semuanya kepadaku, dokter memberiku resep.

“Terima kasih, Bu,” ucap Ibu sebelum pergi meninggalkan ruangan dokter.

Aku masih termangu melihat tanggal perkiraan lahir. Kurang dari tujuh bulan ke depan aku akan memiliki anak.

Entahlah, aku harus bahagia atau bersedih. Berbahagia karena sebentar lagi akan menjadi seorang ibu.

Bukannya, hamil merupakan impian setiap wanita setelah menikah? Atau aku harus bersedih, karena hamil tanpa seorang suami yang mendampingi.

Aku juga tidak pernah menyangka akan hamil. Kami hanya melakukan itu sekali. Di luar sana, banyak pasangan yang berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun baru bisa hamil. Kenapa aku bisa secepat ini? Rasanya aku tidak percaya.

“Adiba.” Panggilan Ibu seketika membuyarkan lamunanku.
Ibu meminta resep yang diberikan dokter dan membawanya ke loket apotek.

“Ayo.” Setelah meletakan resep, Ibu mengajakku duduk seraya menunggu obat.

Saat duduk Ibu meraih tanganku, menggenggamnya erat. Seakan dia tahu  dengan kegundahan hatiku.

“Jangan khawatir, Nduk. Ada ibu yang akan selalu menjaga dan melindungimu.”

Tanpa terasa butiran-butiran kristal jatuh membasahi pipiku. Melihatnya, lembut Ibu menghapus air mata di pipiku.

Saat menunggu antrean obat. Tampak Azam sedang berjalan menuju ke arah kami. Entah apa yang sedang dilakukannya di sini.

Azam pun menghentikan langkah saat melihat keberadaan kami. Dia memandangku dan Ibu bergantian. Dia juga memandang buku berwarna merah muda yang aku bawa.

Bersambung
Yang mau next kilat bisa ke KBM App. Cerita ini juga tersedia dalam versi cetak. Yang minat bisa chat saya.

 Yang minat bisa chat saya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Malam Pertama Tanpa Selaput DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang