Bab 12

2.1K 33 0
                                    

Oleh Ayra N Farzana

“Jika kamu memperlakukannya dengan buruk aku akan membuatmu menyesal seumur hidup.” Amar menatap Azam serius.

Dada Azam tampak naik turun dengan cepat. Terlihat jelas, jika dia sedang emosi.

“Dia istriku.” Azam menunjukku. “Bagaimana aku memperlakukan dia, bukan urusanmu!” Di dorongnya tubuh Amar oleh Azam.

Badan Amar limbung ke belakang. Bergegas dia, kembali membenarkan letak berdirinya.

“Kamu itu tidak pantas disebut sebagai seorang suami. Mana ada suami yang tega menyakiti istrinya,” ucap Amar.

Kembali Azam mendekati Amar. “Bukan urusanmu! Kamu itu orang lain. Buka hakmu untuk ikut campur urusan kami.”

“Tapi, aku tidak bisa melihat, kamu menyakiti, Adiba.” Amar menunjuk dada Azam.

Didorongnya pelan badan Azam oleh Amar.
Azam tak terima diperlakukan seperti oleh Amar. Pria itu lantas mengepalkan tinjunya, bersiap menghunjamkannya pada Amar.

“Azam, hentikan! Jangan kamu membuat onar di sini.” Aku menarik tangan Azam. Mencoba menghentikannya agar tidak lagi berbuat kasar. Namun, dia tetap tak mau mengindahkanku.

Didekatinya Amar. “Oh jadi begitu, ya.”
Aku melihat Azam kembali mengepalkan tangan. Khawatir akan terjadi adu jotos di antara mereka. Bergegas aku berdiri di tengah-tengah Azam dan Amar.  Menghalau mereka agar tidak terjadi perkelahian.

“Sudah, hentikan!” Kuhalangi mereka agar tidak bertengkar dengan merentangkan kedua lengan.

“Minggir kamu! Ini urusan kami para pria.”  Tubuhku didorong oleh Azam.

“Argh!” pekikku.

“Adiba.” Sigap, Amar memegang badanku yang hampir tersungkur.

“Lepaskan istriku!” Azam menarik tanganku paksa.

Azam memang egois. Dia tidak pernah memikirkan perasaanku. Apa yang dia inginkan harus dilaksanakan.

Mendengar keributan. Bu Retno, Bu Sarah, Icha, dan Pak Wahyu berjalan menghampiri kami.

“Ada apa ini?” tanya Pak Wahyu.

Melihat kehadiran mereka, seketika Azam melepaskan tanganku dan mundur.

Icha mendekatiku. “Adiba kamu tidak apa-apa kan?” Dipandangnya tubuhku dari ujung kaki, hingga ke ujung kepala oleh Icha.

Kuanggukkan kepala untuk menjawab pertanyaan Icha. “Aku baik-baik saja.”

Pak Wahyu memandang kami bergantian. Dia lantas bertanya, “sebenarnya ada apa? Kenapa kalian  ribut begini?”

Untung sekolah sudah sepi. Sehingga pertengkaran mereka tidak dilihat oleh anak-anak.

Bergegas aku menjawab pertanyaan Pak Wahyu mewakili Amar dan Azam. “Tidak ada apa-apa  Pak. Hanya salah paham saja.”
“Ya sudah kalau begitu. Saya harap, lain kali tidak akan ada pertikaian diantara kalian.” Pak Wahyu menepuk pelan pundak Azam.
Azam Diam. Dia tak menjawab perkataan Pak Wahyu.

Pak Wahyu, Bu Retno, dan Bu Sarah lantas berjalan meninggalkan kami. Sedangkan Icha, tetap tinggal.

Dipandangnya kami secara bergantian oleh Icha. “Ada apa sebenarnya?”

“Kalau dia tidak ikut campur urusan kami. Tidak akan keributan ini terjadi.” Azam menunjuk Amar.
Azam masih saja terbakar emosi.

“Sudah, jangan buat keributan lagi. Aku malu dengan sikapmu ini.”

Malam Pertama Tanpa Selaput DaraWhere stories live. Discover now