13. Jiwa Arkeolog

24 8 3
                                    

"Carissa?!"

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

"Carissa?!"

Itu suara Barava! batin Carissa yang masih berada di dalam cekungan tanah. Meski dengan kaki yang terluka, ia berusaha bangkit dan keluar dari cekungan itu untuk mencari tempat bersembunyi.

"Aarggh!" rintih Carissa karena lukanya terasa lebih nyeri saat ia berusaha memanjat dari cekungan tanah meski tidak terlalu tinggi. Setelah berhasil keluar, ia pun berjalan sedikit pincang. Entah ke mana tujuannya, yang penting menjauh dari suara teriakan Barava.

Di tengah kepanikannya selagi berjalan, tiba-tiba ia dikejutkan sesosok anak kecil. Ia ingat, dia anak kecil yang bergigi ompong yang muncul di tempat prasasti kemarin dengan Barava.

"Carissa! Kamu di mana?!"

Teriakkan Barava terdengar lagi dan membuat Carissa kalang kabut. Tepat saat itu juga, sosok anak kecil itu berlari. Entah dia ilusi atau nyata tapi Carissa memutuskan untuk mengikutinya sambil berlari. Benar. Sambil berlari dengan kaki yang terluka, dan ini semakin perih.

Selama berlari, Carissa sering mendesah. Ia menatap ke bawah selagi berlari dan terkejut melihat darahnya mengalir ke sepatu. Saat Carissa memandang ke depan lagi, ternyata ia sudah kehilangan sosok anak kecil itu.

Di mana dia? batin Carissa sambil menoleh kanan-kiri.

Ternyata dia ada di sebelah kiri, sedang berdiri diam memandang Carissa. Tampaknya anak kecil itu sedang menunggunya. Carissa pun berlari ke arahnya, namun sayangnya dia kembali berlari kencang.

"Hei, tunggu!" sahut Carissa namun dengan volume paling minim, meski rasanya terdengar gila, memangnya anak kecil itu dapat mendengarnya?

Lagi-lagi Carissa kehilangan arah, namun kembali lagi ia menemukan anak kecil itu berdiri diam. Kali ini anak kecil itu menggerakkan mulutnya tanpa suara: Ayo!

Kaget, takut, namun juga penasaran. Carissa pun kembali berlari pelan. Kembali ia kehilangan anak kecil itu, namun di sisi lain ia juga menemukan sebuah batu besar setinggi empat meter yang sebagian permukaan bagian depannya tertutup oleh tumbuhan yang merambat.

Ssskk!

Mata Carissa menatap tajam pada tumbuhan merambat yang bergerak sedikit.

Tunggu, apa batu itu adalah gua yang tertutup tumbuhan merambat? Apa anak kecil itu masuk ke situ? pikirnya sekaligus curiga.

Carissa berjalan pelan, dan benar saja dugaannya. Carissa menyingkirkan tumbuhan itu layaknya gorden, namun ia tidak menemukan sosok anak kecil itu dari ambang mulut gua. Ia pun melangkah masuk ke gua itu.

"Wow!" Suara Carissa terpantul saat sudah di dalam gua. Hal yang pertama kali ia rasakan adalah hawa yang lembab, suhu yang sedikit lebih dingin, dan entah mengapa bulu kuduk Carissa menegang. Entah seberapa dalam itu gua, yang jelas ujung gua itu benar-benar gelap total. Cahaya matahari yang masuk hanya sampai di titik Carissa berdiri sekarang.

Ia kemudian melangkahkan kakinya lalu menyadari bahwa sepatunya terasa basah. Indra penciumannya mulai merasakan bau busuk, yang tak lain adalah kotoran kelelawar. Ia tak peduli dengan aroma busuk ini, yang penting ia bisa bersembunyi dari suaminya.

Ia tidak ingin berbincang lagi dengan Barava. Ia tak butuh alasan dari suaminya karena semua sangat jelas. Pesan dari Fiona itu sangat membuktikan bahwa suaminya telah selingkuh.

Fiona Arkantara: Kumohon, Rava. Aku membutuhkanmu.

Tidak ada di keluarga Arkantara yang memanggil suaminya dengan panggilan Rava. Mungkin saja itu panggilan kesayangan. Apakah Barava membenci Adam, suami Fiona, untuk menutupi dirinya yang sebenarnya selingkuh dengan Fiona?

Semua ini begitu membingungkan, sampai pada akhirnya pikiran negatif itu teralihkan karena terdengar suara tetesan air dari ujung gua. Suara itu terdengar menetes dengan teratur layaknya ketukan metronome. Ia pun mengeluarkan senter untuk memastikan kedalaman gua.

Saat ia mengarahkan senternya, ternyata nihil. Ia tidak menemukan ujung dari gua ini, padahal jarak sorot senternya lumayan jauh, dua ratus meter. Sedalam apa gua ini?

Biasanya rasa penasaran Carissa begitu tinggi untuk mencari tahu, namun entah mengapa ada sebesit firasat dalam dirinya yang melarangnya untuk berjalan ke sana.

Tidak, tidak. Aku tidak takut, kok. Hanya saja niatku ke sini untuk bersembunyi, bukan untuk menjelajah, batin Carissa yang sebenarnya sedang menyembunyikan perasaan takutnya. Entah mengapa ia sempat membayangkan sosok anak kecil itu berdiri di ujung gua.

Oke, sudah cukup berpikir yang aneh-aneh! Aku tidak takut, tegur Carissa dalam hati. Ia pun mengarahkan senternya ke arah lain.

Kemudian Carissa menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya dan seketika rasa takut itu berganti menjadi rasa penasaran. Jiwa arkeolognya kini menggebu-gebu. Ia melihat adanya sebuah guratan rapi di dinding gua yang agak berlumut.

Ia pun berjalan mendekati dinding. Benar sekali yang ia lihat adalah gambar yang dipahat. Kini jemarinya mulai meraba dinding gua sambil tangan kirinya mengarahkan senter. Dulu, saat masih bekerja, Carissa masuk dalam divisi epigrafi yang bertugas meneliti prasasti tulisan maupun gambar. Maka, membaca gambar dalam gua ini tidak sulit, bahkan ini mudah dibandingkan prasasti yang pernah ditelitinya. Gambar ini masih sangat amat jelas.

Gambar pertama, terdapat beberapa rumah yang mengelilingi api unggun di tengahnya. Carissa pun langsung teringat dengan lukisan yang ada di rumah waktu itu. Berarti lukisan itu adalah benar, dulu terdapat penduduk yang pernah tinggal di sini.

Saat hendak membaca gambar selanjutnya, tiba-tiba tumbuhan merambat bagai gorden terbuka lebar dan membuat cahaya masuk dari mulut gua. Gua yang tadinya gelap gulita kini menjadi terang hingga membuat mata Carissa disipitkan, saking silaunya.

"Carissa?!"

Carissa menoleh. Meski tidak terlihat wajah orang itu karena cahaya yang menyilaukan, ia sudah tahu bahwa itu adalah suaminya. Kali ini Carissa tidak bisa kabur lagi. Barava telah menemukannya dan perasaan benci Carissa terhadap suaminya kembali muncul. Padahal pikiran itu sudah teralihkan karena sosok anak kecil, misteri kedalaman gua ini, juga guratan dinding gua.

Barava berlari mendekati Carissa, memeluk. Dalam posisinya Carissa membeku sekarang. Tentu saja ia masih marah dengan Barava yang sudah berselingkuh. Ia merasa tak perlu mendengarkan penjelasan apapun dari Barava.

Meski tak dipeluk balik, Barava masih tetap memeluk, dan kemudian dia berkata, "Syukurlah aku menemukanmu. Syukurlah sosok tadi menunjukkan padauk bawah kamu ada di sini."

Seketika mata Carissa membelalak penuh dan langsung mendorong dada Barava, menjauh. Ia menatap Barava heran. "Sosok? Kamu melihat juga?!"

 "Sosok? Kamu melihat juga?!"

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.
HAPPY ANNIVERS-EERIEWo Geschichten leben. Entdecke jetzt