Escape Plan

19 0 0
                                    

Aku menjatuhkan diri di antara tumpukan kertas yang kugeletakkan dengan sengaja di atas permukaan kasurku. File presentasi, report, dan entah puluhan kertas apa lagi yang kutindih kesal dengan punggungku. Bagaimana nanti aku menyelesaikan semua pekerjaaku itu, aku sedikit tidak perduli.

Seperti kebanyakan film dan drama yang selalu kutonton, -saat saat seperti ini- aku selalu meniru adegan yang sangat lazim dan mainstream dilakukan si tokoh utama saat sedang dalam keadaan lelah dan –mungkin­ kalut : Menatap langit-langit putih gading di atas kamarku.

Aku tersenyum sedikit mengingat betapa sangat umum-nya tindakanku ini. Sangat drama.

Aku memejamkan mataku. Mulai mengatur nafasku yang beberapa menit lalu masih memburu. Kuketukkan jemari tangan kananku di atas beberapa kertas. Kebiasaanku jika sedang merasa sangat lelah. Bunyi gesekan kertas karena gerakan pelan tubuhku juga menjadi favorit di sore ini. Entah kenapa, membuatku sedikit tenang.

Belum lama aku sampai di kosan ku. Melepas lelah karena lelah bekerja seharian. Jarak dari kantorku yang tidak dekat juga membuatku sengaja berleha-leha sebentar. Mengistirahatkan tubuhku sejenak.

Tidak lama.

Ya, aku tidak butuh waktu lama untuk memejamkan mata dan beristirahat. Aku biasanya tidak memerlukan banyak ruang untuk beristirahat. Isi kepalaku dan tubuhku terbiasa bergerak dan bekerja. Terkadang tidak kenal waktu.

Aku benci berdiam diri. Banyak terdiam atau bahkan melamun. Dua hal yang membuat otakku otomatis mengingat rasa sakit. Apapun itu.

Seperti rasa sakit yang setahun terakhir menggangguku.

Ah... aku mulai lagi.

Dengan satu gerakan aku bangun dari tempat tidurku. Lalu berdiri dan mulai berjalan menuju meja kerja cokelat kusam yang kutaruh sengaja di ujung ruangan tepat di bawah jendela. Sinar matahari bisa langsung menembus dan menyentuh permukaannya.

Sinar matahari sore yang sudah berubah menjadi jingga keemasan menembus lembut di antara jendela dan gorden putih –yang agak lusuh-, lalu menabrak pelan permukaan mejaku. Hal itu mengahasilkan perpaduan warna yang kusuka. Cokelat tua, jingga dan sedikit warna emas. Sampai sering sekali aku bertanya pada diriku sendiri, 'Adakah orang lain di dunia ini yang menyukai suasana sore karena warna-warna nya yang membuat tenang, selain Aku? Kerena aku sangat menyukainya!'. Tak ada yang menjawab bahkan aku juga tak menjawabnya. Kuanggap aku membuat kebahagiaan kecilku sendiri.

Aku selalu tersenyum simpul setiap melihat fenomena 'meja-matahari' ini. Membuatku bersyukur masih banyak hal kecil yang membuat aku tersenyum.

Setidaknya, ketika hatiku mulai menghianatiku dan otakku juga sudah mulai mengingat-ngingat rasa sakit itu, aku harus bergerak. Melakukan sesuatu. Atau sekedar menyusun benda-benda di kamar kosanku sesuai dengan suasana hati.

Kuraih jurnal dengan sampul hitam di antara tumpukan buku-buku yang belum selesai kubaca dan kutaruh sembarang di atas meja. Kutarik kursi cokelat di depan meja, dan langsung duduk di atasnya.

Setelah lelah bekerja seharian, kebiasanku yang lain adalah menulis apa yang sudah kulakukan hari ini. Segala pencapaianku, deadline-ku yang gagal selesai, menu baru di kantin kantor, diskon makanan korea di salah satu restoran dekat kantorku, hingga targetku, serta pekerjaan yang harus kuselesaikan besok. Atau sekedar pengingat untuk membeli sabun mandi karena persediaanku habis. Aku hampir menulis segala hal di dalam jurnalku. Mengingat aku mempunyai gangguan ingatan pendek yang cukup parah. Misalnya saja, jika aku tidak ingin ketinggalan kereta saat liburan, aku harus menulis jadwalnya secara detail di jurnalku. Rasa sakit hati karena ketinggalan kereta akan lebih terasa menyakitkan dibandingkan ditinggal pacar. Kujamin itu.

Last SummerWhere stories live. Discover now