Gadis pecinta Newton

98 4 1
                                    

Gadis itu ingat saat pertama kali bertemu dengan Verro, umur mereka masih sembilan tahun kala itu. Verro yang sedang duduk di tepi taman, dan dirinya yang baru saja keluar dari kelas. Mata lelaki itu terlihat merah, karena Aldenta merasa bahwa dirinya harus menolong seseorang yang sedang sedih, dia memeluk Verro untuk pertama kalinya.

Verro tidak sedih saat itu, dia hanya sedang merasakan matanya yang panas karena sang Ibu yang tidak sengaja menyentuh matanya setelah memotong cabe. Tetapi, Verro benar-benar tidak peduli dengan pelukan itu, walau mereka harus jadi pusat perhatian.

Setelah hari itu, hampir setiap hari dia menemui Verro. Menolong lelaki itu. Verro yang dulu dan yang sekarang tetap sama, sama-sama suka cari masalah. Saat masih di London, dia sudah delapan kali memecahkan kaca sekolah yang harganya luar biasa mahal.

Aldenta tidak bertemu dengan Verro lagi selama hampir empat tahun karena dia yang harus pindah ke Paris. Tetapi, seperti sebuah takdir, dia bertemu lelaki itu saat menjalankan MOS saat SMA di Indonesia. Dia bahagia kala itu, tetapi Verro semakin menjadi-jadi. Sejak pertama sekolah, lelaki itu sudah bertengkar dengan kakak kelas, dilanjut sebulan kemudian dia bertengkar dengan guru.

Aldenta menatap wajah lelaki yang sedang tertidur pulas itu. Wajahnya masih sama seperti dulu, mata elangnya yang indah, hidung yang sempurna, bibir yang selalu datang tiba-tiba, dan kulit putih pucat.

Verro terbangun dari tidurnya, dia memegang kepala belakangnya yang terasa berat.

"Akhirnya bangun juga," ucap Aldenta.

"Nyokap?"

Aldenta menggeleng. "Nggak usah khawatir. Aku bilang kamu lagi bosen sama rumah. Tapi tolong, bosen rumahnya jangan lama-lama."

Aldenta hendak pergi, tetapi Verro memegang tangannya. Lelaki itu membalikkan badan, artinya dia butuh pijatan. "Sakit banget."

Gadis itu menghela nafas. Bukan pijatan yang dia berikan, melainkan pukulan. "Udah siang, aku mau ke kampus."

Verro jelas tidak peduli. Lelaki itu akan mendapatkan apapun yang dia inginkan, apapun. Dia menarik Aldenta untuk duduk di sampingnya, lalu membalik lagi. Walau mendapat pukulan dan tolakan, dia tidak menyerah, dia tetap memaksa gadis itu.

"Aku harus ke kampus, Verro. Kuliahku dimulai jadi sepuluh."

"Bodo."

"Please. Nanti malem, oke?"

Verro menatap gadis itu dengan tajam. Dia tidak suka hal ini. Nanti malam katanya? Tidak, Aldenta tidak akan mengurusnya, nanti malam jelas gadis itu akan fokus pada tugas-tugas yang terlihat tidak ada hentinya. Verro sudah paham, sudah sering gadis itu mengabaikannya.

"Jam sebelas," kata lelaki itu lalu menyahut jaket hitam nya dan meninggalkan rumah itu.

***

Dia melangkahkan kaki dengan cepat melewati lorong-lorong penuh mahasiswa itu. Matanya berkali-kali melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan, mulutnya tidak berhenti memaki-maki Verro sebagai satu-satunya orang yang menjadi alasan mengapa gadis itu harus kehilangan mata kuliah fisika kuantum kesukaannya.

Dengan pelan dia membuka pintu. Pria berwajah garang itu menatap kehadirannya.

"Maaf, Pak, terlambat. Apa saya masih boleh masuk?"

Pria itu menatap jam yang menggantung di dinding. "Telat lima belas menit. Oke, nggak apa-apa."

"Terimakasih," katanya lalu berjalan duduk di kursi kosong yang paling belakang.

"Alverro lagi?" Tasya berbisik.

Aldenta mengangguk. Bahkan sahabatnya sudah hafal alasan kenapa dia bisa telat. Yah, tidak ada yang mengganggu kehidupannya selain lelaki itu. Sejak dulu, yang menjadi satu-satunya sumber masalah adalah Verro, dan bodohnya Aldenta tetap selalu ada di samping lelaki itu.

Kelas berakhir pukul dua belas tepat. Hanya dua sks, dan tak ada lagi mata kuliah. Dia dan Tasya memilih untuk pergi ke kantin fakultas, mereka ingin mengerjakan tugas. Sebenarnya Tasya tidak ingin, hanya saja Aldenta merasa dia perlu mengerjakan tugas sekarang, karena jelas nanti malam Verro akan menganggunya.

"Gue pengen undur diri sebagai mahasiswa aja deh. Tiap malem gue nggak bisa tidur cuman karena tugas tuh, haduh," Tasya meremas tas yang dia bawa.

"Salah sendiri ambil fisika, udah tau goblok fisika."

"Diem ya lo. Kenapa juga dulu lolos jalur undangan, padahal rapot gue bagus karena nyontek anak rangking satu, eh anak rangking satunya malah nggak lolos."

Aldenta menyalakan laptopnya, lalu mulai membuka file tugas makalah yang sudah dia kerjakan setengah kemarin malam. "Rejeki lo berarti. Disyukuri aja lah, Tas. Lagian ya, fisika tuh nggak seburuk itu tau."

"Diem ya lo, jijik gue dengernya." Tasya mengambil es yang tadi sudah dia pesan. "Verro kayaknya sebentar lagi di drop out deh."

"Nah, mau lo kayak dia?"

Tasya menggeleng. "Dia juga ngapain sih ngambil hukum? Dari dulu selalu buat masalah, melanggar peraturan, kok bisa-bisanya ngambil hukum."

"Justru karena itu dia sekarang nggak ngelanjutin kan."

***

Dia tidak menepati janjinya. Sudah dua jam Aldenta menunggu tetapi pintu rumahnya masih belum berbunyi. Sudah hampir pukul satu malam, bahkan pesannya tidak dibalas oleh lelaki sialan itu.

Aldenta sudah masuk ke dalam kamarnya, menarik selimut, dan mencoba menenangkan diri. Tetapi dia terbangun saat terdengar suara ketukan pintu. Ingin sekali dia tidak membuka pintu, tetapi lelaki itu mengetuknya dengan sangat keras.

"Katanya jam sebelas," ucapnya saat membuka pintu.

Verro tidak peduli, dia langsung masuk dan duduk di sofa. matanya menatap tajam Aldenta yang masih berdiri di ambang pintu. Karena tidak sabar, dia menarik gadis itu.

"Mabuk lagi?"

"Bacot. Cepet."

"Mabuk lagi?" Aldenta mengulangi pertanyaannya.

"Cuman tiga."

Aldenta mengangguk. Dia memijat pundak lelaki itu, dan yang dia temukan adalah bekas ciuman yang masih terlihat sangat merah di sana. Entah sudah berapa gadis yang ditiduri lelaki itu lalu ditinggalkan begitu saja. Aldenta terlalu sering menemukan gadis yang menangis memohon di depan Verro.

"Tutupin nanti," kata Verro. Maksud lelaki itu adalah menyuruh Aldenta untuk memberikan sedikit bedak atau apapun itu untuk menutupi bekas ciuman yang ada di lehernya.

"Cewek kamu nggak punya make up ya sampai-sampai harus aku yang nutupin?"

"Nggak usah cemburu."

Aldenta melepaskan tangannya dari pundak Verro. "Siapa coba yang cemburu. Udah pulang sana. Udah telat, nambah pekerjaan orang lagi."

Verro memutar tubuhnya, lelaki itu mendongakkan wajah, menatap Aldenta. Tangannya menarik pinggang gadis itu agar mendekat. Dia sangat mengenal aroma ini, aroma tubuh Aldenta yang tidak pernah berubah.

"Ngapain?"

"I remember when you always talk about Isaac Newton," ucapnya sebari membelai kepala Aldenta.

"To the point, Verro."

"You always said, aku pengen lahir jadi anaknya Isaac Newton."

Aldenta memutarkan bola matanya. "Kamu mau apa?"

"Gue tidur sini," katanya lalu melepaskan Aldenta.

Gadis itu mengikuti langkah Verro yang menaiki tangga. Dia memasuki kamar Aldenta dan langsung menjatuhkan tubuhnya pada kasur gadis itu. Sedangkan sang pemilik kamar hanya bisa menghela nafasnya dari ambang pintu.

"Tidur?" Tanya Verro sambil menepuk ranjang di sampingnya.

"Sehari berapa perempuan yang kamu ajak tidur?"

"Dua, tiga kalau lo mau."

Aldenta membanting pintu itu. Dia seharusnya terbiasa dengan ini, bahkan saat masih sekolah dia sering melihat Verro yang mojok untuk bercumbu dengan adik kelas atau teman sebaya. Lalu setiap malam minggu dia akan melihat lelaki itu yang membawa perempuan yang sudah dibayar ke rumahnya. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 09, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Just FriendWhere stories live. Discover now