Lelaki Pemabuk

131 3 0
                                    

Gadis dengan rambut dicepol itu membuka pintu kamar berwarna putih yang terletak di lantai dua. Bau rokok mulai tercium bahkan saat dia baru saja memegang gagang pintu, lalu hanya ada ruangan gelap yang dia lihat. Ruangan itu terlalu gelap padahal sekarang sudah pukul sebelas siang yang artinya matahari sedang semangat menyinari bumi.

Kakinya melangkah dengan perlahan, sesekali dia tidak sengaja menginjak benda atau baju yang selalu berserakan. Dia membuka tirai besar itu, barulah ruangan yang pengap itu disinari dengan matahari.

"Ngapain lo?" Seseorang yang sejak tadi tertidur kini terbangun karena sinaran matahari itu. Dia merenggangkan tubuhnya, matanya masih menyipit. Lelaki bertelanjang dada itu menyahut satu baju yang tergeletak di atas lantai dan memakainya.

Gadis itu memandang lawan bicaranya, tergambar ekspresi Lelah dari wajahnya. Lagi dan lagi. Bungkus rokok berserakan, botol minuman keras yang tergeletak di mana-mana, baju berantakan, lantai basah karena tumpahan alcohol.

Dia mengambil satu per satu baju-baju itu. "Tidur jam berapa?" Tanyanya. "Tiga jam lagi Tante pulang dan kamu malah ngusir pembantu."

Kebiasaan lelaki itu, akan mabuk dan berpesta kala orang tuanya tidak di rumah. Dia akan membeli banyak minuman, mengonsumsi banyak rokok, memporak porandakan kamar sepuas hati tanpa rasa bersalah atau rasa takut. Dia terbangun hingga pagi, sehingga Ketika pembantunya datang, dia mengusir Wanita itu karena dia merasa terganggu.

"Bacot, pergi," suara lelaki itu masih terdengar serak, sesekali dia berdehem karena tenggorokannya yang terasa sakit.

"Kalau aku pergi, siapa yang bersihin ini?" Aldenta, nama gadis itu. Dia mendekat ke lelaki yang masih menatapnya dengan tidak suka. "Kamu bau banget, pergi mandi sana."

Lelaki itu akhirnya bangun dan menarik tangan Aldenta. Dia mendorong tubuh kecil gadis itu ke luar kamar, lalu mengunci pintu kamar miliknya. Dari luar, Aldenta hanya diam menatap pintu putih dari kayu jati itu. Tak Ada yang bisa dia lakukan, dari dulu tetangganya yang satu ini tidak pernah mau mendengarnya.

"Aku udah masak. Ada the jahe juga, cepet diminum." Dia mengetuk Kembali pintu itu. "Verro, aku pulang."

***

Aldenta membung tubuhnya di atas Kasur, matanya terasa berat setelah semalaman tidak tidur karena mengerjakan laporan praktikum yang tidak pernah tidak mengganggu malamnya. Seharusnya dia tidur tadi pagi, tetapi kelas paginya yang dimulai pukul tujuh membuatnya mengurungkan diri untuk tidur, dan memilih untuk berangkat ke kampus.

Lalu, sepulang dari kampus, pikirannya langsung terarah menuju lelaki yang tinggal di rumah samping. Lelaki yang dia kenal sejak dia masih tinggal di London. Keluarga lelaki itulah yang mengurusnya sejak kecil, sejak orang tuanya mulai memprioritaskan uang dibanding anak yang dititipkan oleh Tuhan itu.

Hampir saja dia tertidur tetapi bel pintu kembali memberikan kesadaran untuknya. Dengan lesu dia melangkah ke bawah, melangkah terus hingga gerbang. Tukang pos dengan pakaian berwarna kuning itu tersenyum untuk menyambut.

"Terimakasih, Pak," katanya setelah tanda tangan. Sebuah surat yang sudah dia ketahui dari siapa. Tentu dari orang tuanya yang tidak pernah pulang itu.

Suara motor yang sangat berisik itu merenggut perhatiannya. Verro, dengan jaket kulit hitam nya dan motor kesayangannya itu pergi meninggalkan rumah. Entah kemana lagi lelaki itu pergi, Aldenta sedang tidak memiliki banyak kekuatan untuk berteriak dan bertanya akan kemana lelaki itu meninggalkan rumah.

Tetapi, Ketika dia sampai di kamar dan melihat ponsel, beberapa pesan masuk dari Verro sudah menjawab pertanyaan.

Gue mau ke rumah brian

Bilang ke mama

Panggil Mbak Iyem

Thx

Dia membalas pesan-pesan itu.

Jangan aneh-aneh lagi verro

Pulang jam tiga

Bacot

Kata itu lagi yang dia dengar. Entah berapa kali dalam seminggu dia mendengar kata itu keluar dari mulut Verro bahkan Ketika dalam keadaan tidak sadar.

***

Matanya masih segar walau jam menunjukkan pukul dua pagi. Dia sudah minum tiga gelas kopi, sudah menyediakan beberapa makanan karena sepertinya dia memang akan terbangun hingga pagi lagi. Tetapi untung saja kelasnya dimulai pukul sepuluh, sehingga masih ada waktu untuknya tidur.

Gelas berwarna putih yang berisi kopi itu sudah tidak lagi mengeluarkan asap, baunya juga tidak lagi mengisi seluruh ruang kamar tidurnya. Sedangkan laporan praktikumnya masih kurang banyak. Tidak tau sampai kapan dia akan menghabiskan waktu untuk mengerjakan laporan praktikum.

Dia tidak menyesal mengambil jurusan Fisika Murni ini, karena sejak dia sekolah dasar dia sudah suka mata pelajaran perihal alam itu. Dan saat dia sudah mulai memasuki SMA dan menemui fisika, dia jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Pintu rumahnya diketuk berkali-kali. Pukul dua dini hari dan pintu rumahnya diketuk berkali-kali, maka dia sudah tau siapa tamunya. Tiga laki-laki berdiri di balik pintu rumahnya, dua orang sedang membopong lelaki di tengah yang terlihat tidak sadar.

"Mabuk lagi," kata Brian sambil menyelonong masuk ke rumah Aldenta.

"Minta minum dulu ya, Ta. Si Verro berat banget," sahut Kai sambil merenggangkan tubuh.

"Ambil aja sana," jawab Aldenta. Dia menoleh pada Verro yang sedang tertidur di atas sofa, lalu menendang tubuh lelaki itu hingga terbangun. "Aku udah bilang pulang jam tiga. Kemarin mabuk, sekarang mabuk. Udah nggak kuliah, pengangguran, ngabisin uang lagi."

"Bacot," bentak Verro.

Brian dan Kai terdiam di dapur, kedua lelaki itu hanya melihat. Pemandangan yang sudah biasa, Aldenta yang marah-marah dan Verro yang membentak. Bahkan terkadang jika Verro benar-benar tidak sadar, Aldenta akan menjadi makanan bagi lelaki yang sudah seperti hewan kelaparan itu. Tetapi Aldenta selalu bersyukur Brian dan Kai selalu berhenti untuk minum mungkin selama setengah jam, kedua lelaki itulah yang menolong Aldenta.

--------------

Helowww. Terimakasih udah baca, jangan lupa vote dan komentarnya. Oh iya, ini cerita bukan untuk ditiru oke? 

Just FriendWhere stories live. Discover now