Halaman Lima : Alasan Kenapa Saya Benci Halaman ini

52 10 15
                                    

"Rhe, kalo gue keterima di universitas impian, lo bakal jadi orang pertama yang tau."

"Kok gitu?"

"Ya pokoknya nanti gue nggak bakal bilang apa-apa dulu ke bapak sama ibu. Pokoknya gue mau langsung nyamperin lo ke rumah."

"Bener ya?"

"Iya bener. Eh tapi ini kalo keterima, kalo nggak keterima mau ngurung diri di kamar dulu."

"Hahaha jangan gitu lah, pokoknya apapun hasilnya nanti gue harus jadi orang pertama yang lo kasih tau."



Percakapan itu kembali terputar di ingatan saya. Lagi-lagi helaan nafas memenuhi ruangan ini. Entah sudah berapa lama kami saling menghindar, berlagak seolah tidak pernah saling kenal.

"Lang, baca." Upal yang kebetulan hari ini numpang tidur di rumah, tiba-tiba nyodorin ponselnya.

"5 alasan mengapa kamu nggak perlu menyesali hal yang sudah terjadi. Hashtag good life hidup cuma sekali tak perlu disesali—ceilaahh, tah dengerin hidup cuma sekali, cewek masih banyak, tuh si Riri kan udah naksir maneh dari kelas sepuluh. Urang ada id line nya, mau nggak?"

"... siapa yang nyesel?"

"Aditya Gilang, temen urang yang—aduh, beneran paling sedih se Bandung Raya ini mah."

Saya cuma ketawa-ketawa aja. Padahal kalau bicara soal siapa yang lagi sedih, Upal juga lagi sedih gara-gara mutusin pacarnya.

Aneh memang, dia yang mutusin dia juga yang nangis.

"Nggak nyesel. Nggak ada yang nyesel, Pal."

"Lang? Enam taun??? Terus rusak gitu aja gara-gara surat?"

Saya nggak menghiraukan pertanyaan Upal. Saya nggak terbiasa hidup dengan menyesali sesuatu yang sudah terjadi. Dari awal saya sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setelahnya, walau jujur apa yang terjadi saat itu tidak pernah saya duga sebelumnya.

“Pal, nggak usah bahas Rhea dulu, nggak penting.”

[•]

Kalimat time flies so fast ternyata memang benar adanya. Yang saya ingat kemarin saya masih bawa-bawa buku tebel yang isinya ribuan latihan soal kemanapun saya pergi. Bahkan waktu harus nemenin ibu di rumah sakit, saya duduk di sebelah beliau sambil ngerjain soal-soal fisika.

Sekarang pandangan saya masih tertuju lurus ke arah laptop disusul dengan senyum yang enggan meluntur. Buru-buru saya ambil jaket dan kunci motor, sejenak lupa kalau hubungan saya dan Rhea saat ini nggak bisa dibilang baik-baik saja.

“Gimana, Pal?”

“Urang mau gap year dulu kayaknya.”

“Pal—“

“Santai, Lang, urang nggak lolos SBMPTN juga Alhamdulillah masih sehat.”

“Ah urang jadi nggak enak, Pal.”

“Udah sana samperin si Rhea, ntar kalo Mas Rama nanya urang yang jawab.”

“Kalo butuh apa-apa nanti jangan sungkan ya minta tolong ke urang.”

“Heeh gampang.”

Sedikit cerita, saya udah bareng-bareng sama Upal dari SD. Kemana-mana selalu berdua, makanya nggak jarang kita dikira belok. Cita-cita kami selain jadi orang kaya, saya sama Upal juga pingin bisa lulus bareng. 

Tapi semakin dewasa, kami berdua sadar. Nggak semua keinginan bisa berbanding lurus dengan kenyataan. 

[•]

“Bi, punten, Rhea lagi pergi?”

“Neng Rhea kan mau pindah ke Semarang, A. Tuh barusan dianter supir ke stasiun.”

“...”

“Sebentar, Aa namanya Jagra?”

Saya menggelengkan kepala dua kali. “Saya Gilang, bi.”

“Oh, kenal sama yang namanya Jagra? Neng Rhea nitipin surat ke Bibi, katanya buat Jagra.”

Kenapa ya, hidup sepertinya suka sekali bercanda. Baru saja saya merasakan bahagia, sekarang justru kalimat menyesakkan dada yang saya dapat.

”Bi, Rhea ada nitipin surat buat siapa lagi selain Jagra?”

“Nggak ada, A. Cuma surat buat Jagra aja yang dititipin ke Bibi.”

[•]

Stasiun adalah tempat yang pertama kali saya tuju. Berlari tanpa memperdulikan keadaan sekitar, tanpa peduli omelan orang-orang yang baru saja saya tabrak karena terburu-buru. Saya baru berhenti sewaktu lihat salah satu penjaga stasiun yang biasa saya tanya soal Rhea.

“Pak, temen saya... liat nggak?”

Bapak itu berjalan mendekat, memegang kedua bahu saya. “Neng Rhea?”

Saya mengangguk.

Ibu jari beliau mengarah ke kerumunan calon penumpang yang hendak memasuki gerbong kereta. Disana ada Rhea, berdiri di samping Jagra, menggenggam tangan satu sama lain. Saya masih ingat jelas bagaimana ibu jari Jagra mengusap air mata Rhea. 

Bisa saja saat ini saya berlari ke arah mereka, namun kaki ini rasanya kaku untuk digerakkan. Dan ketika Jagra membawa perempuan kesayangan saya itu ke dalam pelukannya, saya sadar, kalau sebenarnya saya menyesal.

Seandainya saat itu saya nggak jujur soal perasaan saya, mungkin keadaannya akan jauh lebih baik dari sekarang.

Penyesalan itu merengkuh saya semakin erat ketika kereta yang Rhea tumpangi perlahan melaju meninggalkan kota ini. Meninggalkan saya, laki-laki yang pernah menjadi nomor satu sebelum posisi itu digantikan orang lain.

Saya menyesal, sangat.

Perihal jujur soal perasaan, saya memang bisa. Namun perihal jujur pada diri sendiri, saya sangat payah.

“GILANG.”

Itu Mas Rama, kakak saya itu berlari diikuti Upal di belakangnya.

“Kok kesini?”

“Ke rumah sakit ya sekarang, pamit sama Ibu.”

Ada yang aneh dari kalimat kakak saya. “Yang jelas, Mas, kalo ngomong!”

“Ikut dulu ayo—“

“IBU KENAPA?!”

“... ibu udah nggak ada, Lang.”

Saya benci hari itu, dan saya benci halaman ini.

libra, haechan.✓Where stories live. Discover now