PROLOG

10.5K 1.7K 179
                                    

Aku sadar kalau lagi diikuti.

Oleh siapa dan kenapa, itu yang aku nggak tahu.

Biar kuingat-ingat, hari ini aku nggak terlibat cek-cok dengan siapa pun. Kantor sepi, nggak ada klien yang datang. Ci Pan berada di lokasi proyek, jadi Olly –putranya yang berusia satu tahun, seharian bersamaku. Selain karena kangen ibunya, Olly nggak banyak nangis. Bisa dibilang, hari ini kerjaku cuma menemani Olly bermain di kantor. Oh, selain menulis surat resign, tentu saja.

Terus ... siapa yang mengikutiku dari kantor sampai toilet umum di SPBU?

Kalau bukan penguntit mesum, pasti tukang copet.

Beruntung aku selalu membawa semprotan merica ke mana-mana. Jadi aku berencana untuk memberinya pelajaran sebelum masuk toilet. Dari langkah kakinya, aku tahu dia bukan laki-laki kerempeng.

Tanganku terulur untuk meraih semprotan merica dari dalam tas. Sambil memperhitungkan segalanya, aku mulai bersiap. Lalu ...

"Rasain, nih!" pekikku geram seraya menyemprotkan merica kuat-kuat ke arahnya.

Si Penguntit menjerit kesakitan. Suaranya menggelegar bak petir di tengah malam.

Dan aku terlambat menyesali tindakanku. Dia memang penguntit, tapi bukan orang yang kukira bakal berniat buruk padaku.

"Ko Barra ..." Tergesa aku menghampirinya.

Orang-orang yang melihat keributan kecil barusan langsung berkerumun di sekitar kami. "Eh, kenapa, Mbak?" Beberapa bahkan terlihat ingin menghajar orang mencurigakan yang habis kusemprot merica. Sama sepertiku, mereka juga mengira kalau orang itu adalah penguntit yang berniat jahat. Walau perawakan si Penguntit mirip pegulat, mereka yakin bisa menjatuhkannya jika kami bergotong-royong.

"Nggak pa-pa. Saya kenal, kok. Ini ... te- temen saya," ucapku agak terbata.

Tentu saja sosok di sebelahku langsung melotot dengan satu mata merah, sedangkan yang paling kena dampak merica ditutupi tangan.

Mendengar jawabanku, kerumunan auto bubar. Sepertinya mereka bersyukur tidak harus mengeroyok seorang pegulat malam ini.

Lelaki di sebelahku menegakkan tubuhnya setelah membungkuk cukup lama. Aku nggak berani memandang ke arahnya karena tahu bagaimana ekspresinya saat ini. Bisa dibayangkan, kok. Tampang sehari-harinya sudah seram, apalagi kalau sedang marah. Dulu aku pernah mengira dia reinkarnasi Genghis Khan.

Iya, yang kumaksud memang Genghis Khan yang itu. Sang penakluk dari Mongol yang paling ditakuti di zamannya. Setahuku badan orang Mongolia memang besar-besar, mirip pegulat. Adibarra Nigel juga seperti itu. Ditambah kepala botak plontos, mata segaris, alis tebal, dan brewokan. Aku lagi nggak membicarakan brewok kayak Reza Rahardian atau Zayn Malik, ya. Ko Barra alias Nigel punya brewok seperti pejuang Viking. Kalau lagi rajin, terkadang brewoknya dikepang dua.

"Saya teman?"

Tuh, 'kan. Walau nadanya kalem, tetap bikin merinding sekujur badan. Di hari-hari biasa, suaranya memang berat campur serak. Kalau lagi ketawa, menggelegar. Lagi negur orang, menggelegar. Lagi ngomong biasa, menggelegar. Jadi kekalemannya kali ini membuatku waspada.

Ketika Ko Barra menurunkan tangan, satu matanya yang terpejam mengeluarkan air mata. Kasihan. Jadi aku meringis saja supaya dia tahu aku nggak sengaja. Bukannya maklum, matanya malah berkedut-kedut.

"Cuma gara-gara saya nggak ngabarin kamu kalau saya pulang meeting telat dan lupa jemput, status saya turun jadi teman?" lanjut Ko Barra setengah menggeram.

Oh, iya. Apa aku sudah bilang kalau Ko Barra ini adalah atasanku dan Ci Pan di kantor, sekaligus pacarku selama ... entahlah, aku nggak ingat kapan persisnya dia menyatakan cinta pertama kali. Tahu-tahu aku sudah dianggap miliknya.

***





Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Where stories live. Discover now