Bertemu lagi

19 6 2
                                    


Andiesa mendengus pelan, ujian nasional hari terakhir berakhir sedikit mengenaskan.
Ya, cukup mengenaskan baginya.

Bagaimana tidak, mata pelajaran matematika yang semua rumusnya sudah berhari hari dia hafalkan, dibantu sedikit contekan dari kertas yang dilipat-lipat entah berapa lipatan karena menjadi sangat kecil seukuran kuaci matahari kesukaannya, tetap tidak dapat menolongnya dari kegagalan mengerjakan soal-soal yang kerumitannya tidak akan dia bayangkan lagi.

Bahkan segala macam kode yang teman-temannya berikan saat memberi contekan jawabanpun sepertinya hanya sedikit membantu.

Ya, sedikit, karena sudah terlanjur dilanda kebingungan yang teramat sangat.

Mungkin sudah tingkat kecamatan, atau provinsi.

Maklum saja, matematika adalah satu dari sekian mata pelajaran yang paling dibencinya.

Mungkin bukan hanya dia, kan? Iya, sepertinya bukan hanya dia.

Keluar ruangan ujian dengan wajah menunduk, lemas, tidak semangat. Hanya merapal doa berkali-kali agar hasil nilai yang keluar tetap mampu membuatnya untuk lulus.

Semoga

Semoga

Semoga

Jeni, teman sebangkunya, yang juga tetangga, juga teman main sedari kecilnya, keluar dari ruangan sebelah dengan wajah tenang, seolah tidak ada yang salah telah terjadi.

Sudah bisa dipastikan Jeni lolos dari bencana yang telah lewat.

Menatap wajah Andiesa yang pias, dan sudah bisa menebak, ada apa dengan Cinta, bukan, ada apa dengan Andiesa.

Sedikit bencana mungkin, atau banyak.

"Dies? " panggilnya saat sudah mendekat.

Yang dipanggil mendongak.

"Jen, nasib aku gimana? " jawabnya dengan mata sudah berkaca.

Jeni sebenarnya geli, ingin tertawa, tapi didepannya itu sahabatnya, dirinya jadi, tidak tega.
Ah, benar, Jeni yang kelembutan hatinya bahkan tidak bisa disamakan dengan kain sutra premium manapun, tidak akan tega menertawai sahabatnya, terlalu baik.

"Udah, gak apa-apa, pasti masih lolos nilainya, berdoa aja." Sambil tersenyum.

Pasti, sahabatnya menjawab seperti yang sudah-sudah, tenang, juga dengan senyuman.

Menenangkan.

Andiesa sedikit lega, menggandeng lengan Jeni, mengajaknya ke kantin.

Membeli segelas es teh dingin mungkin bisa ikut mendinginkan otaknya yang sudah overload.

Dikantin, Andiesa dan Jeni mendudukan diri ditempat teman-teman satu kelasnya sudah berkumpul, mengisi perut, juga menyegarkan pikiran dengan minuman dingin, setelah berkutat dengan lembaran-lembaran soal ujian yang membuat hati mereka menangis berhari-hari.

Setelah selesai dengan urusan perut, bertepatan dengan bel pulang berbunyi.

Andiesa mengajak Jeni untuk pulang bersama, beringingan maksudnya, karena mereka membawa motor masing-masing.

Saat berhenti di lampu merah, Jeni pamit untuk mampir ke toko buku, benar-benar Jeni sekali, dan Andiesa mengangguk, sedang tidak ingin menemani, dia hanya butuh rebahan, dikasur kamarnya.

Setelah saling melambaikan tangan, mereka berpisah dipersimpangan.

*****

Memasuki gerbang kompleks perumahan, Andiesa melirik rumah kedua sebelah kanan, rumah tingkat 1, warna putih, dengan pintu pagar besi tinggi berukir bunga.

MorenoOù les histoires vivent. Découvrez maintenant