1. Kelopak Sudah Mulai Terjatuh

9K 430 10
                                    

Menikah. Bukankah itu adalah capaian hidup manusia yang paling membahagiakan? Dengan menikah hidupmu akan terasa sempurna. Setidaknya itu yang sering ku dengar dari beberapa orang.

Dan aku pernah sejenak menyetujui gagasan tersebut, hingga pada suatu malam semuanya berubah. Penilaian indahku akan sebuah pernikahan berubah dengan sekejap.

Tak ada lagi rangkaian impian masa depan. Tak ada lagi kebahagiaan yang ku nantikan ketika janji suci di ikrar kan. Sebab yang ku rasakan hanyalah sebuah rasa sakit yang teramat dalam akibat sebuah penghianatan.

Ironi. Tapi apa yang harus dikata. Karena begitulah kenyataannya. Terkadang apa yang disebut dengan cinta tidak bisa menjamin seseorang untuk setia. Hingga terpaksa mengesampingan komitmen yang seharusnya dipegang.

Aku lelah. Aku sangat lelah untuk berpura-pura tak mengetahui perilakunya yang mengotori pernikahan kami. Aku sudah begitu bosan berpura-pura menutup mata dan bersikap baik-baik saja.

Terkadang aku berpikir, sampai mana batas kesabaranku untuk memainkan peran ini. Sampai mana aku harus berpura-pura agar bisa mempertahankan tumah tangga yang aku tak tau mengapa harus melakukannya.

Aku-- sungguh tak mengerti dengan diriku sendiri.

Suara dari derap langkah yang terdengar semakin jelas membuatku tau bahwa dia sudah pulang dari acara bersenang-senangnya.

"Baru pulang?" Ucapku datar sesaat ketika dia memasuki ruang tengah.

Gerakan tanganku berhenti berkelana di permukaan keyboard laptop yang berada di pangkuanku. Ya, keseharianku menjadi seorang dosen di universitas membuatku harus pintar memanfaatkan waktu luang yang ada. Sebab banyak tugas yang harus ku lakukan. Terlebih membaca berpuluh-puluh email yang berisi tentang tugas akhir mahasiswa.

Aku menatapnya sekilas yang berdiri ditempat seperti seekor tikus yang ketahuan mencuri makanan. Setelahnya raut terkejutnya berubah. Sungguh aku sangat kagum dengan pengendalian dirinya yang begitu hebat.

Ruangan yang sebelumnya gelap gulita kini telah diterangi oleh cahaya lampu yang dinyalakan oleh lelaki yang masih berpakaian sama seperti pagi tadi. Hanya saja tidak serapih sebelumnya. Karena sepertinya ia sedang terburu ketika mengenakannya.

Bibirku tersenyum miris ketika membayangkan apa yang telah dia lakukan hingga pakaiannya terpasang seperti itu.

"Kenapa kau masih terjaga, Zee?" Pungkas lelaki itu lalu berjalan mendekat. Meletakkan tas jinjing miliknya disamping sofa lalu memeluk sang istri yang tengah duduk dari belakang.

Mataku melirik ke arah jam dinding yang jarumnya menunjukkan waktu lewat tengah malam.

Dan disaat itu aku baru menyadari bahwa sudah samgat lama aku menunggunya. Berapa lama? Satu jam? Dua jam?

Tidak. Aku menunggunya seperti orang bodoh disofa ini selama hampir lima jam.

"Untuk menunggu suamiku pulang bekerja." Balasku singkat.

Dia mengelus kepalaku pelan yang sesungguhnya ingin ku tepis keras. Merasa jijik karena aku harus menyentuh bekas wanita lain.

"Seharusnya kau tidak perlu melakukannya. Aku tau kau juga lelah dengan urusan kampusmu." Ucapnya lembut. Tapi sayangnya aku tau jika apa yang dia lakukan hanyalah sebuah tipuan.

Sungguh aku tak tau mengapa aku masih begitu kuat mempertahankan pernikahan ini. Karena sejujurnya, hatiku sudah begitu sakit mengetahui bagaimana pengkhianatan yang dia lakukan kepadaku.

"Kau pulang malam lagi." Pungkasku dengan menekan kata lagi diakhir. Menunjukkan bahwa tingkahnya sudah mulai berlebihan akhir-akhir ini.

Gerakan tangan yang semula mengelus kepalaku, kini berhenti. Dia berganti mengecup kepalaku singkat.

Aku tak tau ada apa dengannya. Tapi yang pasti, dia tengah memikirkan kebohongan lagi yang akan diberikannya sebagai sebuah jawaban untuk menutupi perilaku busuknya.

"Maaf." Ucapnya yang aku tau tidak tulus. "Banyak peninjauan yang harus ku lakukan di lapangan, Zee. Dan aku harus turun langsung melihat sendiri."

Bohong.

Pembohong.

Dia adalah pembohong yang sangat hebat.

Sudah pasti dia menghabiskan waktu dengan wanita selingkuhannya.

Tanganku mengepal kuat. Menahan diri agar tidak menggila didepan wajahnya. Mengontrol emosi sehingga tidak mempermalukan diri.

Lelaki yang masih memeluk istrinya dari belakang itu, menatap layar laptop sang istri yang menampilkan sebuah dokumen yang berisi kumpulan tulisan.

"Kau sedang mengkoreksi tugas akhir salah satu mahasiswamu?"

Aku tak membuka mulut. Namun berdehem sebagai penanda balasan.

"Hmm."

Aku merasakan terpaan dari helaan napasnya di puncak kepalaku.

"Jangan bekerja terlalu lelah, Zee. Aku tidak ingin istriku sakit."

Sungguh aku serasa ingin muntah ketika mendengar kalimat itu. Dia sungguh pandai berkata-kata hingga jika aku tidak mengetahui kebusukannya, aku mungkin menganggap dia benar-benar tulus mengkhawatirkanku.

"Aku tau batasku."

Lelaki itu mendesah pasrah. Menyerah untuk tidak melanjutkan pembicaraan itu untuk menjadi sebuah argumen.

"Baiklah, aku hanya mengkhawatirkan kesehatanmu."

Dia mengecup sekali lagi surai hitam sang istri.

"Aku akan membersihkan diri. Kau segeralah beristirahat." Ujarnya lalu melepas pelukannya dan berjalan pergi.

Ada perasaan mengganjal terhadap sikap sang istri yang akhir-akhir ini berubah menjadi semakin dingin. Tapi ia tidak tau apa yang membuat Zeline seperti itu.

"Arthur, "

Suara panggilan itu membuat lelaki bernapa Arthur itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke sumber suara.

"Kenapa, Zee? Kau membutuhkan sesuatu?"

Istrinya menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Lalu apa yang ingin kau--" Lelaki itu berhenti berucap karena sang istri menyela.

"Jangan pernah memasuki rumah dengan aroma parfum itu lagi. Karena sungguh, aku sangat membencinya Arthur."

Kalimat yang dilontarkan Zeline membuat Arthur berdiri memaku. Dia seperti tengah dilempar bara api yang suatu saat siap melahapnya hidup-hidup.

"Zee..." Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Arthur. Karena dia tau, kebusukannya telah diketahui oleh sang istri.

Ku tutup laptopku dengan sedikit kasar lalu berjalan melewatinya. Tak peduli dengan keterkejutannya dan tatapan bersalahnya yang membuatku sangat muak.

Sudah selesai. Aku sudah cukup dengan kepura-puraan yang ada. Maka mari saling bermain dan saling menyakiti. Karena aku-- sudah tidak peduli dengan semuanya.

Tbc

*Zeline Graisy

*Zeline Graisy

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
IMMODERATE (COMPLETED)Where stories live. Discover now