Decision

7.1K 368 1
                                    


Kayla terbangun setelah tidak sadarkan diri—entah berapa lama—
dan hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit putih dan bau rumah sakit yang menyengat. Ia mengerjap-ngerjap beberapa kali untuk dapat melihat lebih jelas, dan benar saja. Langit-langit yang dilihatnya adalah langit-langit rumah sakit; putih dan membosankan.

Sekujur tubuhnya terasa ringan sekali, seolah-olah ia tidak makan selama berhari-hari. Saat ia menoleh ke kiri, sebuah selang IV tersambung dari kantung berisi cairan yang tergantung di sisi kasurnya, terus sampai ke bagian tengah lengannya.

IV...?

Kayla mengeryitkan dahi melihatnya. Memangnya apa yang terjadi padanya sampai ia perlu diinfus segala? Ia tidak dapat mengingatnya. Yang diingatnya terakhir kali adalah ia mendengar berita tentang kecelakaan yang menimpa ayahnya, lalu tiba-tiba saja-

Ayah...

Reaksi awalnya saat teringat ayahnya adalah untuk terlonjak bangun seperti habis tersengat listrik. Dan saat ia melakukannya, ia menemukan kalau Zai tertidur pada sisi kanan kasurnya, tangan pria itu menggenggam tangannya.

"Zai..." Kayla berusaha membangunkan pria itu, tapi tampaknya pria itu tertidur pulas sekali. Ia memanggil sekali lagi sambil mengguncang tangan pria itu.

Zai tampak linglung selama beberapa saat dan mengerjap-ngerjap pelan. Ia melihat sekelilingnya dengan bingung, berusaha mencari apa yang mengganggu tidurnya. Sampai ia melihat kalau istrinya sudah sadar. Wajahnya langsung berubah cerah.

"Kayla, kau sudah sadar?"

"Ayahku? Ayahku bagaimana?" Kayla langsung bertanya tanpa basa-basi.

Seketika, wajah Zai langsung berubah muram dan terdiam. Padahal ia sudah sangat senang wanita itu bangun, dan ia tidak ingin langsung memberitahukan berita tidak mengenakkan seperti itu. Tapi, yah, memangnya ia bisa menjawab apa?

Setelah beberapa saat, akhirnya ia berkata, "Ayahmu sudah dimakamkan. Tenang saja."

Kayla tampak tidak percaya. "Tenang saja? Kenapa aku nggak hadir di pemakamannya? Memangnya kapan pemakaman itu dilangsungkan? Sudah berapa lama aku di sini?" Kayla terlalu syok dan langsung merentetkan pertanyaan yang sudah mengganggunya sejak ia sadar.

Zai tampak makin muram dan menjawab, "Pemakamannya minggu lalu. Kau sudah di sini selama seminggu, sama sekali tidak sadarkan diri. Makanya kau perlu diinfus."

"Apa...?"

"Aku juga nggak ngerti. Kyle bilang kondisimu itu nyaris seperti koma. Penyebabnya mungkin stres yang bertumpuk atau semacamnya. Tapi kandunganmu tidak apa-apa, kok-sejauh ini."

Baru saat itu Kayla menyadari lingkaran hitam di sekitar mata suaminya yang tampak cekung dan kelelahan. Sudah berapa lama pria itu ada di sisinya? Apa ia makan dan istirahat yang cukup? Dan lagi, bagaimana dengan pekerjaannya?

Zai tersenyum kecil dan berkata, "Aku sudah menelepon tempat kerjamu. Tidak usah khawatir. Aku juga ambil cuti beberapa hari." Seolah-olah ia dapat membaca pikiran wanita itu.

Hening selama beberapa saat. Kayla menggenggam tangan Zai lebih erat, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk mengingat ayahnya. Ia masih tidak percaya kalau ayahnya—ayah yang selalu dikaguminya—sekarang sudah tidak ada. Ia bahkan tidak sempat menghadiri pemakamannya dan melewatkan banyak hal selama seminggu ia tidak sadarkan diri.

Kalau saja itu semua hanyalah mimpinya selama ia tidak sadarkan diri.

"Malam itu, waktu kau pulang telat..." Kayla memulai setelah beberapa saat. "Ayah meneleponku..." ia dapat merasakan matanya mulai basah. "Dia menyinggung soal teman-temannya yang sekarang sudah banyak yang punya cucu, dan aku malah mengalihkan pembicaraan..."

Sunyi lagi. Air mata Kayla mulai menetes, tapi ia mengatupkan mulutnya agar tidak terisak. Tapi pada akhirnya gagal saat ia berkata, "Kalau saja aku tahu itu adalah terakhir kali aku dapat berbicara dengannya..." dengan suara lirih.

Zai beranjak dari kursinya, duduk pada sisi kasur, dan memeluk Kayla. Wanita berambut merah itu terisak dalam pelukan suaminya, dan lama kelamaan menjadi tangisan. Tangannya mencengkram kemeja suaminya seperti bergantung pada nyawanya sendiri. Zai mengelus punggung wanita itu dengan lembut.

"Setidaknya kau dapat kesempatan terakhir bicara dengannya." Zai berusaha menghibur.

"Tapi aku ingin memberitahunya..." suara Kayla agak terbenam pelukan Zai, tapi ia tetap melanjutkan, "Aku ingin bilang kalau aku juga ingin memberinya cucu."

"Aku yakin ayahmu lebih bangga punya putri yang sangat sukses sepertimu."

Kayla menggeleng dalam pelukan suaminya dan membalas, "Tidak cukup. Aku ini anak yang gagal. Aku ini istri yang gagal..."

"Aku nggak pernah bilang kau gagal. Siapapun harusnya bangga memiliki istri yang hebat dan mandiri sepertimu."

"Kau cuma mengatakan itu untuk menghiburku."

"Kau tahu aku benci basa-basi selain dalam urusan bisnis."

Keduanya tidak melanjutkan perdebatan itu karena tangisan Kayla semakin menjadi. Kyle mengintip ke dalam ruangan karena penasaran dan tampak terkejut, tapi Zai memberi isyarat pada pria berambut merah itu untuk meninggalkan mereka berdua saja sebentar lagi. Walaupun tampak enggan, Kyle menjauh dari ruangan itu tanpa berkata apa-apa.

Kayla tampaknya tidak menyadari hal lain karena sibuk melampiaskan kesedihannya dengan luapan air mata yang membasahi sebagian besar bagian dada kemeja suaminya. Zai tidak keberatan, malah sebisa mungkin ia ingin membuat wanita dalam pelukannya merasa nyaman. Rasanya menyakitkan melihat wanita yang biasanya selalu keras kepala itu tampak rapuh dalam pelukannya.

Setelah beberapa saat, akhirnya Kayla capek menangis dan hanya bersandar dalam pelukan Zai, mulai merasa mengantuk karena tangan Zai yang besar mengelus rambutnya dengan lembut.

"Aku sudah memutuskan..." tiba-tiba saja Kayla berkata.

"Hm?"

"Aku ingin mengandung dan melahirkan anak ini..." Kayla menyelesaikan kalimatnya.

"Dan aku akan mendukungmu, apapun yang kau putuskan."

"Aku ingin anak ini laki-laki."

Zai tertawa pelan dan berkata, "Masih lama sampai kita dapat memastikan jenis kelamin bayinya, kan?"

"Soalnya aku ingin menamainya Zachary."

"Nama yang bagus."

***

My Baby, My AngelWhere stories live. Discover now