Terlalu panjang untuk obi, terlalu pendek untuk tasuki (帯に短くたすきに長し)

66 7 0
                                    

Memasuki tahun keempat, hubungan kami memasuki babak baru. Dimana kami pertama kali memasuki dunia menuju dewasa. Kami yang masih mencari jati diri mulai berfikir kembali apakah kami adalah kata yang tepat untuk diriku dan dirinya.

Dimana kami mulai mengambil jalan cabang yang berbeda, berpikir realistis terhadap masa depan yang kami rencanakan masing-masing. Kebetulan diriku diterima di Universitas Konoha, universitas yang cukup prestisius di sini. Dari Sekolah kami, yang bisa diterima di Universitas tersebut kebetulan hanya diriku dan tentunya sahabat ku, Sakura.

Sakura tahu seluk beluk hubungan kami sejak awal, jadi tentu saja aku tidak ragu jika harus menceritakan keluh kesah diriku tentang dirinya. Namun tidak semuanya kuceritakan, tentu saja ada yang tidak. Terutama yang terlalu pahit untuk diceritakan.

Sedangkan Naruto diterima di Universitas Swasta Pribadi milik Hokage ke-3 sebelumnya, cukup prestisius namun jika orang lain membandingkan dirinya dengan diriku... tentunya siapapun pasti akan sedih kan?

Tapi syukurlah, Naruto sangat positif dan diriku lega karena setidaknya dia tidak minder dengan diriku. Tetapi dititik inilah pemikiran kami mulai berubah sedikit demi sedikit. Kami tidak lagi terlalu egois memikirkan aku harus dengan nya atau dia harus dengan ku. Kami berpikir bahwa itu adalah yang kekanakan, yang kami akui memang cukup kekanakan dan membuat banyak masalah dalam hubungan kami di tahun-tahun awal.

Namun, aku rasa ini bisa jadi awal dari kebiasaan yang mungkin saja akan kusesali nanti nya.

.
.
.

"Naruto-kun, besok aku ada jadwal kelas pagi. Jadi jadwal sore ku kosong, mau pergi?" tanya ku lewat pesan singkat.

Tidak lama kemudian dirinya membalas, "Oke, aku juga. Kita bertemu di Mall A ya Hinata! :)".

Diriku tersenyum melihat balasannya, meskipun tidak terlalu panjang seperti dahulu tapi diriku cukup senang karena dirinya memberikan kepastian dengan cepat, jujur diriku tidak suka bila seseorang tidak memberikan kepastian.

Lagipula wajar bukan bagi pasangan lama untuk tidak terlalu memikirkan jawaban pesan?

.
.
.

Banyak yang kami lalui di tahun ini, tetapi yang paling kuingat adalah ketika kami saling kukuh untuk membenarkan apa yang kami percayai masing-masing. Terutama mengenai cara pandang kami.

Jika diriku boleh berkata, ku rasa diriku ini tidak baik-baik saja. Pada saat itu banyak tekanan yang harus kulalui untuk sampai ditahap ini. Aku sampai memutuskan untuk mengambil Diploma 1 dengan durasi tahun pelajaran hanya 1 tahun, karena diriku tahu bahwa aku sedang tidak baik-baik saja dan tidak akan sanggup jika harus berada di dalam tekanan selama 3 tahun sarjana normal.

Diriku tidak terlalu memikirkan jenjang pendidikan ku yang tidak terlalu tinggi, diriku hanya memikirkan kebaikan ku saja. Toh diriku masih akan dapat pekerjaan pasti dengan sudah diterima di Universitas Konoha.

Dan, walaupun aku sudah mencegahnya, perasaan lelah tentunya tidak akan bisa dibohongi. Sampai datang di mana diriku ingin sekali memiliki teman berkeluh kesah, dan tentu saja orang pertama yang kuhubungi adalah dirinya. Karena diriku merasa kurang nyaman jika harus berkeluh-kesah kepada orang tua ku sementara mereka yang masih banting tulang untuk membiayai hidup ku.

"Naruto-kun, apa kau sedang senggang?" tanyaku malam itu melalui pesan singkat dengan perasaan yang kalut.

"Mungkin, ada apa Hinata?" balasnya.

"Apa kau bisa menemaniku? Kurasa aku sedang sedih saat ini,"

"Memangnya ada apa Hinata? Cerita saja,"

"Aku tidak tahu, aku hanya lelah dan merasa sedih. Rasanya air mataku saat ini tidak bisa dibendung lagi," ketikku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Istirahat saja kalau begitu, mungkin kau terlalu kecapekan sayang," balasnya manis, yang biasanya bisa membuat hatiku berdesir, tetapi tidak untuk momen ini.

"Kau tahu, rasanya aku ingin menyakiti diriku. Tanpa sadar tanganku sudah penuh luka Naruto-kun, kuharap aku tidak melakukan lebih dari ini..." balas ku dengan jeda setelah dilanda perasaan sedih dan kecewa tanpa sebab dari dalam diriku yang berkecamuk.

"?? Hinata, kau tahu? menurut ku orang-orang yang melakukan hal seperti itu merupakan orang yang tidak berpikir dengan baik dan hanya kurang iman. Jadi kurasa dirimu lebih baik istirahat saja daripada larut terus seperti itu..."

"Kau tahu, aku hanya ingin didengarkan saja saat ini Naruto-kun. Lagipula diriku yang seperti ini dan iman tidak ada sangkut pautnya, aku hanya lelah dengan semuanya." balasku saat itu juga dengan terbakar amarah. Tangisan ku semakin menjadi-jadi, dan akhirnya diriku menutup pesan singkat dengan nya dan mematikan telepon genggam ku.

Aku tahu, jika saat ini dipikir kembali saat itu aku masih terlalu tidak dewasa kan? Dan kalian juga pasti berpikir kami berdua sama-sama salah ataupun hanya aku yang salah sudah mempermasalahkan hal sepele seperti itu.

Tapi bagiku, saat itu adalah patah hati terbesar ku dari dirinya, karena aku tahu dia sama sekali tidak mendukung dan menguatkan ku jika sedang kambuh seperti itu. Aku sekarang sudah lebih baik jika kalian bertanya bagaimana diriku sekarang ini.

Dan saat itu diriku akhirnya tahu bahwa diriku dan dirinya memiliki pandangan yang berbeda dalam hal kesehatan mental. Dirinya yang tetap bersikukuh pada pikiran rasional dan diriku yang bersikukuh pada perasaan dan pemikiran seseorang yang bisa rapuh pada saatnya.

Dan di titik inilah aku kembali berpikir apakah diriku dan dirinya sudah benar untuk memilih bersama? Karena kupikir kami sangat berbeda pada permasalahan yang fundamental.

.

.

.

"Mungkin kita tidak cocok?"

.

つづく

Bersambung


P.s : Maafkan jika tidak konsisten, kau tau diriku terlalu sama dengan Hinata itu :')

あなたを手放す- Anata o tebanasu [Melepaskanmu] [Naruto Fanfiction]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon