Let Him Go

20 13 14
                                    

Evalyn merapikan pasmina biru yang ia kenakan. Tak lupa, gadis bertubuh mungil itu juga menambahkan sapuan halus lipstik nude ke bibirnya.

"Cantik nggak?" tanya Evalyn. Untung saja di dalam kamar kos itu ia hanya tinggal sendiri hingga tak ada yang menganggap aneh ketika dirinya berbicara pada boneka kelinci dan kucing bernama Soul dan Ruhi. Dua boneka yang terpajang manis di samping cermin.

Sebenarnya, kondisi mental Evalyn baik-baik saja. Ia juga tak merasa kesepian. Meski di perantauan, dirinya dikelilingi banyak teman. Hanya saja gadis itu sudah sangat terbiasa mengajak bicara Soul dan Ruhi, seolah dua boneka itu hidup dan menjadi sahabatnya. Justru Evalyn merasa aneh ketika ia tidak menyapa mereka berdua.

Evalyn sadar apa penyebab ia begitu sayang pada Soul dan Ruhi. Berkali-kali mencoba pun, Evalyn tak pernah sanggup membuang atau memberikan boneka itu pada orang lain, bahkan pada Tasya yang sudah menjadi sahabatnya dan begitu tergila-gila pada dua boneka menggemaskan itu. Karena Soul dan Ruhi adalah kenang-kenangan terakhir yang diberikan oleh Aksa, sahabatnya yang terpaksa harus ia jauhi.

"Evalyn!" suara cempreng milik gadis bertubuh subur terdengar. Evalyn menoleh, lalu menatap datar Tasya yang terpincang mengejarnya. Gadis yang tinggal di sebelah kosan Evalyn itu menenteng sebelah sepatu di tangan kirinya. "Tungguin, Lyn. Kakiku sakit nih," gerutu Tasya sambil memasang sepatu yang ia tenteng tadi.

"Salah sendiri bangun kesiangan terus," ucap Evalyn. Sahabatnya itu memang bebal bukan kepalang. Sudah tahu mereka harus berangkat pagi-pagi untuk bekerja di sebuah bakery, tetapi setiap malam Tasya masih saja marathon menonton K-drama. Evalyn juga sebenarnya sangat suka menonton K-drama. Namun, ia sadar risiko apa yang akan ditanggungnya jika tidur larut dan harus berangkat bekerja keesokan harinya. Sebagai pengidap tekanan darah rendah, Evalyn tahu hal itu akan membuat kondisi fisiknya memburuk.

"Yuk," ucap Tasya riang lalu menggandeng tangan Evalyn. Mereka berjalan bersama menuju pangkalan ojek. Lokasi bakery tempat Evalyn dan Tasya bekerja tak jauh dari stasiun kereta api. Meski kecil, Han's Bakery ramai pengunjung. Para pelanggannya entah berdatangan dari mana. Konon, bakery itu memang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu.

Saat tiba di bakery, Evalyn dan Tasya segera menuju pos kerja masing-masing. Evalyn ke dapur untuk membuat adonan roti, sedangkan Tasya berdiri di salah satu meja kasir.

Saat pertama kali tiba di kota ini, Evalyn bingung hendak mencari pekerjaan ke mana. Ia memang pergi tanpa rencana yang matang, hanya berbekal ingatan samar tentang sebuah kota yang pernah disinggahi almarhum ayahnya. Kota yang kerap diceritakan sang ayah, yang oleh orang-orang dijuluki sebagai Kota Nanas. Lalu, begitu turun dari stasiun kereta api, Evalyn kelaparan dan mencari toko yang menjual camilan. Di bakery tempat ia bekerja inilah Evalyn terdampar tiga tahun lalu. Kali pertama memasuki bakery, hidungnya dimanjakan dengan aroma roti yang begitu nikmat. Seketika, Evalyn jatuh cinta. Takdir memang telah menentukan gadis itu untuk menjadi bagian Hans Bakery, begitu mengantungi sekantung plastik roti aneka isi, Evalyn melihat pengumuman yang dipasang di belakang kasir bahwa bakery sedang membutuhkan tambahan karyawan.

Setelah bekerja tiga tahun di bakery bernuansa klasik itu, Evalyn sungguh bersyukur. Membayangkan aroma roti yang menari di hidungnya selalu membuat gadis itu bersemangat pergi bekerja setiap hari. Karena kesibukan itu juga lah ia akhirnya bisa merasa hidupnya membaik, meski kenangan akan Aksa tetap menghantui, setidaknya ia merasa tak terlalu terbebani lagi dengan hubungan Aksa dan Nike.

Nike juga sahabat Evalyn. Mereka dekat semenjak SMA. Hal itu otomatis membuat Nike juga bersahabat dengan Aksa, lalu diam-diam menjalin hubungan istimewa begitu selesai wisuda. Mungkin keduanya tak bermaksud menyakiti Evalyn, karena memang tak ada yang mengetahui perasaan gadis itu pada Aksa sebenarnya. Evalyn benar-benar menutupnya rapat-rapat. Ia memegang teguh janjinya pada sang ayah untuk tidak ikut pacaran seperti yang dilakukan teman-temannya. Namun, saat Aksa dan Nike memberitahunya bahwa mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih, Evalyn hancur.

Jam istirahat baru saja tiba saat Evalyn memelototi layar ponselnya. Nama Aksa tertera di sana sebagai penelepon. Sudah lama sekali sejak terakhir kali gadis itu mendengar suara Aksa.

Lyn, please angkat. Aku nggak bisa nemuin kos-kosan kamu.

Kali ini mata Evalyn melotot lebih lebar. Apa maksudnya ini?!

Tanpa berpikir panjang, Evalyn menelepon balik.

"Kamu di mana?" todong Evalyn begitu teleponnya diangkat.

"Di kota tempat kamu menghilang!" jawab Aksa, terdengar sebal. "Aku udah punya alamat kos kamu dari Ibu, tapi dari tadi muter nggak ketemu terus."

Evalyn tak tahu bagaimana caranya menggambarkan perasaan ia sekarang. Entah senang, takut, sedih, atau marah. Yang jelas gadis itu kehilangan kata-kata. Oh, tidak, Aksa benar-benar ada di sini!

***

"Aku nggak tahu harus gimana lagi membujuk Nike. Rasanya mau nyerah aja," ungkap Aksa putus asa. Evalyn menatap lelaki itu dengan pandangan iba. Setelah menemukan tempat kos Evalyn, lelaki itu menunggu hingga sahabatnya pulang dan langsung menceritakan hubungannya dengan Nike yang kandas. Nike membatalkan rencana pernikahan mereka karena ia tak bersedia melepaskan kariernya demi mengikuti Aksa yang kini bekerja di ibukota.

"Kasih Nike waktu. Jangan diteror terus. Kamu bilang tadi kan kalau Nike baru dapat posisi bagus, ya wajar dia berat ninggalin kariernya." Evalyn bersedekap, berusaha menutupi gugup yang timbul semenjak mendengar kabar bahwa Aksa berada di kota ini. Ia kira setelah bertemu gugupnya akan berkurang, toh Aksa bukan orang asing baginya. Namun, ternyata perasaannya masih jungkir balik begitu melihat lelaki itu. Evalyn merutuk, sungguh perasaan menyebalkan!

"Aku nggak bisa fokus kerja karena mikirin Nike terus." Aksa mengusap wajah. Evalyn tak tega. Ingin rasanya mengatakan pada lelaki itu tentang perasaannya, lalu meminta Aksa melupakan Nike. Namun, Evalyn tahu ia akan menyesali perbuatan itu.

"Menurutku kalian cuma perlu waktu buat sendiri dulu. Jangan buru-buru. Menikah bukan perkara main-main. Atau bisa juga LDR, kan? Banyak pasangan yang begitu dan tetap harmonis. Kamu ya jangan egois, Sa. Kalau kalian memang saling cinta, cari solusi sama-sama," tutup Evalyn akhirnya. Tak disangka, hatinya terasa begitu ringan. Tak ada jejak penyesalan sama sekali setelah mengatakan hal itu.

Setelah Aksa berpamitan, Evalyn membawa Soul dan Ruhi ke kamar Tasya. "Jaga baik-baik," ucapnya yakin. Mata Tasya berbinar. Gadis itu memeluk Evalyn. Terlalu erat, Evalyn megap-megap sambil berusaha melepaskan pelukan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 28, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Let Him Go (September RAWS 2021)Where stories live. Discover now