“Maafkan aku, Adiba. Aku dan Fahrul yang memintanya untuk menjemputmu,” terang Icha.

Icha juga menjelaskan, jika dirinya melakukan hal itu, karena dia berharap Azam bisa menerimaku seiring berjalannya waktu. Apalagi saat ini aku sedang mengandung anaknya. 

“Tapi ternyata caranya membawamu pulang pun salah. Sekali lagi maafkan aku. Adiba.” Icha menangkupkan kedua tangannya. Dia tampak sangat menyesal.

“Semua bukan salahmu, Cha. Semua yang terjadi memang sudah takdirku,” ucapku lesu.
Hidupku hancur, bukan karena salah siapa-siapa. Sudah sedari awal, Azam tidak mempercayaiku. Mungkinkah, jika aku menikah dengan pria lain akan bernasib sama seperti saat ini?

“Kenapa kamu tidak menolaknya, Adiba?”
Aku menundukkan kepala. Lalu menerangkan pada sahabatku itu alasan aku menerima permintaannya untuk kembali bersama. Hanya demi bayi dalam kandungan agar tidak terlahir tanpa seorang ayah.

Aku lantas menceritakan Luna pada Icha. Bagaimana sikap mereka saat berada di hadapanku. Aku pun bertanya padanya apakah benar wanita itu adalah pacar Azam.

“Mana mungkin dia punya pacar? Setahuku dia itu tidak pernah bermain wanita.” Icha tak percaya dengan apa yang aku katakan.

Menurut Icha, Azam tidak mungkin memiliki wanita lain. Karena dia pria yang baik.
Bila Azam benar pria yang baik-baik mana mungkin dia menghinaku seperti itu.
Teringat igauan Azam tempo hari, akhirnya aku menanyakan pada Icha Apakah Azam memiliki seorang kakak. Karena aku penasaran, apakah ada kaitannya dendam Azam dengan diriku.

“Aku kurang tahu juga soal itu, Mas Fahrul juga tidak pernah menceritakannya padaku. Coba nanti aku akan menanyakannya  pada Mas Fahrul.”

Fahrul dia yang lebih tahu tentang Azam. Aku meminta Icha untuk menanyakan perihal Luna dan kakak Azam pada Fahrul.

“Yang sabar, Adiba. Aku yakin suatu saat Azam pasti akan memperlakukanmu dengan baik. Insya Allah, aku juga akan membantumu dengan cara menasihatinya.” Icha bangkit dari duduknya. Dia menepuk pundakku pelan, sebelum pergi meninggalkan perpustakaan.

Icha sangat menyesal dengan kejadian yang menimpaku dan Azam. Karena, dulu dia yang selalu meyakinkanku, jika Azam merupakan pria yang baik. Namun, kenyataan dia tidak seperti yang diduga.

***

“Dari mana saja, Kamu?” bentak Azam saat aku baru pulang ke rumah.

Hari ini aku pulang malam, karena mampir terlebih dahulu ke rumah Bapak dan Ibu. Sudah beberapa hari aku tidak ke sana.
Sebenarnya Ibu sudah meminta untuk pulang lebih awal. Namun, aku menolaknya. Rasanya aku ingin berlama-lama di rumah Ibu, hanya di sana tempat ternyaman untuk melepas penat.

Aku tak menjawab pertanyaan ataupun memandang Azam yang tengah berdiri di ruang tamu. Sepertinya dia memang sengaja menungguku pulang. Aku pun berjalan melewatinya begitu saja.

“Berhenti!” bentaknya lagi.
Namun, aku tetap tak menggubrisnya dan melanjutkan berjalan menuju kamar.

“Adiba!”

Kali ini Azam berjalan menghampiri. Dia menariku kuat, hingga tubuh ini membentur dada bidangnya. Hingga tidak ada jarak di antara kami.

Aku bisa mendengar suara detak jantung Azam yang cepat. Napasnya pun juga terasa memburu.

Sesaat aku larut dalam kedekatan ini. Mungkin jika Azam benar-benar mencintaiku, situasinya pasti akan berbeda.

Sadar akan apa yang sedang terjadi Azam bergegas kembali menegakkan badannya.

“Jangan pergi saat aku sedang bicara!”
Aku hanya diam tak menimpali perkataannya.

“Adiba, jawab pertanyaanku!”

“Pertanyaan mana yang harus aku jawab.” Aku berdiri seolah-olah menantangnya.
“Dari mana saja kamu?”

“Bukan urusanmu!”

“Jelas ini urusanku, karena kamu istriku.” Dia berbicara dengan menaik turunkan tangannya.

“Istri? Kapan kamu menganggapku sebagai istri?” Aku menatapnya tajam.

“Adiba, beraninya kau!” Azam tampak sangat emosi.

“Bukankah sudah nyata, jika kamu tidak menganggapku sebagai seorang istri. Di depan Luna kau anggap aku ini pembantu bukan? Jadi aku pulang malam atau tidak pulang pun, itu bukan urusanmu!” Aku menggerakkan jari telunjuk dan menggelengkan kepala bersamaan.
Aku lantas membalikkan badan, meninggalkan Azam yang masih berdiri termangu di sana.

Argh!

Teriaknya saat aku akan menutup pintu. Aku masih bisa melihat Azam mengacak rambutnya kasar.  Pada akhirnya dia meninju udara, sebelum beranjak dari sana.

Bersambung ....
Yang mau next kilat bisa ke KBM APP di sana sudah tamat

Yang mau next kilat bisa ke KBM APP di sana sudah tamat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Malam Pertama Tanpa Selaput DaraWhere stories live. Discover now