Artikel 23: "Perang Melawan Hantu, Mungkinkah?"

336 77 8
                                    

AKU menatap bangunan dua lantai yang ada di depanku dengan perasaan berdebar yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata, kemudian melangkah perlahan menuju tangga, dan menaiki anak tangganya satu demi satu. Tujuanku kini hanya satu: kamar kosku.

Sesaat aku melirik ponsel untuk melihat waktu. Pukul 20.49 WIB. Ya, pada akhirnya aku memilih untuk menggunakan ponselku—maksudnya, ponsel Satya—lagi. Toh semalam sudah kucoba untuk mencabut kartu dan mematikan daya, tapi itu tidak menghalangi Pieter untuk menggangguku, kan? Jadi sebaiknya kumanfaatkan saja benda ini sebisanya, karena mungkin setelah ini aku tak tahu akan bisa menggunakannya lagi atau tidak.

Langkah kakiku akhirnya berhenti di ujung koridor lantai dua yang gelap. Rupanya, setelah beberapa hari kemarin mengungsi ke tempat Satya, lantai ini mutlak tak berpenghuni. Mang Onda rupanya tak mau repot-repot menyalakan lampu, dan alhasil koridor ini begitu gelap. Tanganku bergerak meraba dinding, mencoba mencari saklar lampu. Ketemu. Aku langsung menekan saklar itu. Lampu seketika menyala dan koridor ini jadi lebih terang dari sebelumnya, walau tetap tak bisa menyembunyikan aura suram dari kamar-kamar yang ditinggalkan oleh penghuninya.

Nggak apa-apa. Aku bisa.

Sekali lagi aku mencoba menguatkan diri sambil mencoba menggerakkan kaki yang tiba-tiba terasa seperti menempel pada lantai. Begitu berat dan sulit untuk melangkah. Perlu waktu bagiku untuk memaksa kedua kaki pemalas ini untuk bergerak. Sebagai akibatnya, bunyi gesekan kaki dengan lantai terdengar begitu jelas, bergaung memantul di dinding koridor, dan membuat suasana terasa semakin mencekam.

Setelah melalui beberapa detik yang terasa seperti selamanya, akhirnya tiba juga aku di tempat tujuanku. Rasanya aku belum pernah membutuhkan waktu selama ini untuk mencapai kamarku sendiri. Aroma green tea yang berasal dari pengharum ruangan langsung menyambut begitu aku memasuki kamarku. Selama beberapa waktu aku berdiri diam di pintu, mengamati kamar yang baru tiga malam kutinggalkan, tapi terasa selamanya. Maklum, aku sudah tinggal di sini sejak tahun pertama kuliah dan tak pernah pindah kosan. Jadi, ini sudah menjadi rumah kedua bagiku.

Setelah puas mengamati isi kamar, akhirnya aku melangkah masuk sambil menutup pintu. Dengan tenang kuletakkan tas punggung di sebelah tempat tidur—kemudian duduk diam di kursi kerja sambil tetap mengamati seisi kamar ini.

Mataku terpejam.

Jantungku berdebar kencang, dan... tiba-tiba saja air mataku meleleh turun. Aku terisak tak karuan.

Aku ketakutan.

Panik.

Frustrasi.

Sangat tertekan.

Sungguh.... Bohong kalau aku bilang aku benar-benar sudah siap menghadapi semua ini sendirian. Aku hanya pura-pura siap. Pada kenyataannya, saat ini aku sudah kepengin kabur meninggalkan tempat ini dan pergi sejauh mungkin. Namun aku tahu, aku tak boleh melakukan itu.

Jika aku kabur, entah apa yang akan terjadi pada orang-orang yang kusayangi.

Pada Satya.

Sudah cukup tiga orang yang menjadi korban karena masalahku. Sekarang saatnya aku untuk menyelesaikan ini sendirian!

Setelah isakanku mulai mereda, aku menepuk pipiku untuk menguatkan diri. Baiklah, aku siap, pikirku. Tanganku bergerak meraba kantong berisi berbagai macam doa penangkal bala yang bisa kutemukan di internet. Apa boleh buat, hanya ini yang bisa kulakukan. Tadinya aku berencana untuk diam-diam pergi ke kampung Satya untuk mencari orang pintar yang dia maksud, lalu meminta rajah pelindung. Sebagai alternatif lain, aku juga sudah mencari orang pintar yang tak jauh dari apartemen Satya. Namun, seharian ini Satya mendadak begitu posesif dan tak mengijinkanku pergi ke mana-mana, kecuali kalau dia ikut juga. Sepertinya dia tahu aku akan merencanakan sesuatu. Aku baru bisa lepas setelah Satya tertidur paska makan malam dan disinilah aku berada sekarang.

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang