Dua Jiwa

79 19 21
                                    

Pertemuan pertamaku dengan Kal tidaklah spesial. Kami hanya kebetulan berada di tempat yang sama dengan tujuan masing-masing.

Saat itu aku baru saja membuka mata. Tak ingat apakah sebelumnya diriku tertidur atau hanya memejam sejenak. Yang jelas, saat ini bumi yang sedang kupijak sedang hujan. Anehnya, aku tak merasakan dinginnya udara atau basah di kulit. Seolah butiran air lewat begitu saja tanpa menyentuh.

Tepat di depanku, orang-orang berkerumun. Mereka mengelilingi sesuatu. Ramai. Bahkan pejalan kaki berpayung yang tak sengaja lewat pun ikut bergabung. Menambah sesak jalan raya. Lalu lintas jadi tersendat. Para pengemudi protes dengan membunyikan klakson berulang kali. Baru diam ketika sirine terdengar. Ambulans datang.

Bolu pandan!

Tiba-tiba aku teringat tujuanku berada di sini. Segera saja kuberlari ke arah timur. Hanya membutuhkan waktu tiga menit untuk sampai di toko bahan kue.

Langsung kudekati rak jajaran bahan tambahan pangan, mencari perisa pandan. Tapi sampai lima menit berlalu, tetap tidak ketemu. Maka, kuhampiri salah satu staf.

"Mbak, perisa pandan ada?"

Tak ada jawaban.

"Mbak?" panggilku lagi.

"Dia enggak akan dengar. Kamu, kan, Ruhi."

Aku berbalik. Seorang lelaki yang sedikit lebih tinggi dariku melambai pelan.

"Ruhi?"

Ia mengangguk. "Ya. Ruhi. Jiwa yang berada di antara hidup dan mati. Tali putih di lenganmu itu buktinya."

Kuperhatikan kedua lengan. Menemukan tali putih mengikat lengan kanan atas. Menjuntai panjang tak teratur. Entah dimana ujungnya.

Tak sampai di situ, kuperhatikan pula lengan cowok di hadapanku. Dirinya diikat tali serupa. Hanya saja, miliknya berwarna hitam.

"Kamu ... Ruhi juga?" Jujur, aku masih belum percaya.

Maksudku, memangnya jiwa gentayangan seperti di film-film horor itu sungguhan ada? Dan sekarang aku menjadi salah satunya?

Ia menggeleng. "Aku Soul. Aku mati tiga tahun lalu."

"Bohong!"

Tawa renyah terdengar. "Dulu aku juga begitu. Kaget. Bisa dimengerti, kok. Nanti lama-lama juga bakal terbiasa. Selagi menjadi Ruhi, kamu bisa main bareng aku atau ... teman-teman yang lain."

Alih-alih menghibur, kalimatnya justru membuatku terisak.

***

Itu dulu. Dua minggu lalu. Sekarang sudah beda kasus.

Kini, fakta bahwa diriku merupakan bagian dari makhluk tak kasat mata mulai terlupakan. Kal membuatku merasa seperti sedang mengulang masa kecil. Lari-lari di sepanjang jalan, manjat pohon, menyusup ke bagasi mobil orang, main hujan dan sesekali mencuri makanan manusia yang dibiarkan terbuka.

Kecuali hari Sabtu. Kal akan di toko bahan kue sepanjang hari. Melihat sang ibu berbelanja.

"Semasa hidupnya, Kalingga sering bandel, ngeyelan. Sebenarnya, enggak nakal ekstrem, sih. Malahan, dia sayaanngg banget sama ibunya. Tapi tetap saja dia merasa banyak salah dan menyesal," begitu kata Lurette, malaikat penjaga jiwa.

Pernah suatu hari, kuajak Kal mengunjungi rumahnya. Supaya ia dapat melihat ibunya lebih lama, namun Kal menolak.

"Aku enggak mau melihat Ibu saat menangis. Itu hanya akan membuatku ingin tinggal lebih lama. Sedangkan satu-satunya misi Soul adalah merelakan kehidupan di dunia." Kal tersenyum. "Aru juga jangan lupa sama misi Ruhi, ya! Kumpulan semangat hidup, biar cepat bangun."

Kupamerkan barisan gigi.

Sebetulnya, diriku sedang dalam masalah.

Aku masih ingin di sini. Menjadi Ruhi. Main sama Kal tanpa lelah. Tak perlu bertemu guru galak. Tidak dibebani tugas menumpuk dan ujian.

"Tidak boleh!" Lurrete menyilangkan lengan ketika kuberitahu. "Pikirkan Kal. Pikirkan tentang para Soul yang ingin hidup."

Aku memberengut. Tapi Lurrete benar. Kal juga pernah bilang kalau aku beruntung.

"Kenapa?"

"Karena Aru masih punya kesempatan. Nanti kalau Aru bangun, Aru harus banyak senyum. Sesulit apapun kondisinya, hidup sebagai manusia jauh lebih baik daripada hanya melihat dunia tapi tak dapat melakukan apa-apa."

Kal membuatku termangu.

Aku tidak tahu seperti apa rasanya menjadi Soul. Bergentayangan tanpa harapan. Menyaksikan sosok-sosok tersayang tertawa dan menangis tanpanya. Berulang-ulang. Bertahun-tahun.

Apakah membosankan? Atau menyiksa?

Namun yang jelas terlihat adalah perihal sikap dan perilaku.

"Tak ada Soul yang menyebalkan, apalagi jahat. Mereka semua baik banget. Kamu tahu mengapa bisa begitu?" Suatu hari, di pagi gerimis, Lurrete bertanya.

Aku mengernyit.

"Kematian lah yang membuat mereka berubah."

"Kok, bisa? Bagaimana dengan jiwa-jiwa yang memendam dendam?"

Lurrete justru tertawa. "Selama menjadi malaikat penjaga jiwa, aku enggak pernah, tuh, menemukan Soul pendendam. Kalau Ruhi pendendam, sih, banyak! Semua itu karena para Soul tahu kalau mereka sudah tidak memiliki kesempatan hidup. Yang mereka ingat hanyalah kesalahan, penyesalan dan keinginan memperbaiki diri."

Sayangnya, sudah tidak bisa lagi.

"Jadi, karena itu Kal baik banget sama aku?"

Lurrete hanya tersenyum.

***

Cepat sembuh, Aru.

Aruya, semangat!

Ar, aku kangen.

Aru, kapan main bareng lagi?

Sehat-sehat, ya, Aru.

Kal yang mengajakku kemari. Dirinya berdiri di sebelahku, ikut memandangi salah satu meja di kelas yang dipenuhi sticky note warna-warni.

Aduh....

Kal. Kal. Kal. Kalingga.

Nama itu membuatku berdebar. Padahal seluruh ragaku sedang terbaring di rumah sakit pasca kecelakaan lalu lintas.

Kalau seperti ini terus, kapan aku punya keinginan untuk bangun?

Bahkan pesan sayang dari teman-temanku tak juga membuat hatiku tergerak. Tapi, pantaskah diriku melepaskan kesempatan hidup yang tidak dimiliki para Soul? Entah mengapa rasanya seperti tengah membuang sesuatu yang berharga.

Dua JiwaМесто, где живут истории. Откройте их для себя