Permulaan - 2

1.3K 250 14
                                    

Ada banyak hal yang dipikirkan oleh Erik saat ini. Pertama, Abraham tidak seorang diri, dia bersama rekan di anggota dewan yang di bagian Komisi VIII. Satu hal yang Erik pikirkan adalah mereka pergi setelah menghadiri acara bersama Presiden yang diadakan hari ini di salah satu hotel di daerah Kuta. Kedua, tiga laki-laki lain tampak mencurigakan. Mereka sudah dipastikan bukan pejabat daerah karena pakaiannya terlalu informal. Tetapi Erik tidak bisa menyimpulkan dengan cepat, itu bukanlah sebuah keputusan yang bijak. Kesimpulan yang diambil terburu-buru tidak akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Karena, di pandangan matanya, semua tampak begitu normal. Ketiga, Lia dari tadi memperhatikannya. Sekalipun Erik tidak menatap balik tatapan perempuan itu. Jelas, Lia sedang memperhatikannya bahkan seluruh gerak-geriknya.

Mereka berdua duduk di sebuah pendopo yang berdampingan, tidak terlalu luas. Mata Erik sendiri menyusuri Abraham dan kawanannya. Mereka duduk di pendopo yang jauh lebih privat dan luas, berada menghadap sawah, tak jauh dari mereka.

"Mau pesan apa, Mas?"

"Terserah Mbaknya saja."

Lia masih menatap dengan pandangan menyipit. Sejak mereka masuk restoran ini, Erik menunjukkan tanda-tanda yang mencurigakan. Dia hanya fokus pada satu titik yang entah kenapa ... Lia tak menemukan ide sama sekali atas apa yang diperhatikannya.

Setelah memesan makanan untuk mereka berdua, Erik baru mengalihkan pandangan pada Lia. Pikiran Lia daritadi sudah berkecamuk, Anwar pasti tidak mengirimkan sembarang orang untuk menemaninya, kan?

"Andriyanto datang juga rupanya." Erik tanpa sadar bergumam, Lia langsung menelusuri arah pandang Erik pada seorang bapak-bapak yang datang bersama dua orang bodyguard berbaju hitam.

"Satu penerbangan sama saya." Lia menimpali, sekalipun tahu Erik tidak sedang berbicara dengannya. Ia masih mengingat bagaimana dia diarahkan Capt Tama untuk menyapa mantan Direksi salah satu BUMN itu tadi pagi.

Erik menoleh ke arah Lia. "Kamu tahu? Dia sekarang tahanan kota?"

Mata Lia membelalak, menatap tidak percaya pada Andriyanto yang tengah bergabung dengan pejabat-pejabat lainnya di pendopo besar itu, pendopo yang diperhatikan Erik sedari tadi. "Oh iya?"

"Kasus suap." Erik tanpa sadar mengucapkan dengan tenang, tangannya memainkan kunci mobil. Pemuda itu mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna merah dan celana selutut. Cukup modis dari supir-supir travel biasanya. "Mbaknya enggak pernah nonton berita?"

Lia menyusuri wajah Erik. "Saya lebih tertarik dengan siapa kamu sebenarnya, sih, Mas. Kamu bukan supir baru Mas Anwar, kan?" Tembaknya langsung. Puluhan kali menjadi pengguna jasa travel tentu membuat Lia paham ada yang aneh dengan pertemuannya dengan Erik.

Erik berdehem, membenarkan duduknya. Gesture tubuh seseorang yang tengah ketahuan. Keinginannya untuk membuntuti Abraham malah berakibat dia tidak maksimal berakting di depan Lia.

"Saya supir barunya untuk hari ini."

"Logat kamu juga aneh," timpal Lia.

Erik mengangkat sebelah alisnya. "Aneh?"

"Terlalu ... Jakarta. Mas Anwar juga, cuma sudah kecampur sama dialek Bali." Lia menumpukan tangan yang menopang dagunya di meja. "Kamu dari Jakarta, kan?"

"Kamu enggak pernah nonton berita, Mbak?"

"Enggak." Lia menjawab dengan santai. "Berita sekarang juga banyak campur tangan politisnya. Enggak menarik kayak dulu."

Erik mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, benar sih."

"Apa hubungannya saya sering nonton berita dengan kamu, Mas?"

Respair (Teaser Only)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang