3; asa yang tidak tergapai

643 36 0
                                    

ini masih tentangku, Asa. Ada sisi yang jauh dari kehidupanku sekarang dan memang belum kuceritakan, kurasa kalian perlu tau juga.

flashback on

Sejak kecil bapak mengenalkanku dengan dunia bulutangkis. Memang, beliau sangat menyukai per-badminton-an. Tak jarang bapak mengajakku menonton turnamen badminton.

"Kamu itu satu-satunya anak bapak yang mau diajak nonton badminton gini nduk," begitu kata bapak

Aku memang tergolong suka olahraga ya salah satunya badminton ini, sangat cocok kalau udah ngobrolin badminton sama bapak.

Salah satu doa bapak yang pernah beliau sampaikan kepadaku saat kami duduk di tribun penonton turnamen badminton tingkat kabupaten.

"Bapak dulu pengen banget jadi atlet badminton, nduk"

"Kenapa bapak ngga coba ikut klub badminton aja pak kan siapa tau bapak lolos terus jadi atlet," kataku dengan mudahnya

"ya ngga semudah itu nduk, bapak punya raket saja setelah bapak kerja"

"Tapi mimpi bapak tu ngga pernah berhenti, bapak pengen sekali anak bapak ada yang bisa sampai pelatnas," lanjutnya

Saat percakapan itu aku hanya terdiam, mencerna setiap kalimat yang diucapkan bapak. Aku memang anaknya yang paling dekat dengan bapak diantara kakak dan adikku.

"Asa coba wujudin impiannya bapak ya?"

Sebenarnya aku sudah mulai mengikuti latihan rutin badminton dari usia 8 tahun, kini usia ku 13 tahun. Ya, kurang lebih 5 tahun aku menjalani latihan rutin, beberapa kali bapak menawarkan seleksi klub badminton dan selalu ku tolak dengan alasan aku belum mahir.

Tahun ini akan menjadi kesempatan terakhirku untuk bisa mengikuti seleksi di salah satu klub badminton bergengsi di Indonesia. Dan tahun ini pula aku yakin untuk mengikuti seleksi ini.

Dengan bangga, bapak dan ibu mengantarku ke tempat audisi. Aku berhasil lolos seleksi dan tergabung dengan klub. senang sekali rasanya.

Setelah 2 tahun di klub aku terpaksa mundur karena didiagnosa radang usus buntu yang mengharuskanku dioperasi dan tidak bisa melakukan olahraga berat selama beberapa bulan bahkan beberapa tahun ke depan. Sejak operasi tersebut aku memutuskan gantung raket.

Kecewa, sedih, bersalah. Semua rasa itu menjadi satu. Disaat karirku menjadi atlet menemui titik terang dan emngalami kemajuan yang sangat pesat, aku harus rela melepaskan semuanya dan kembali ke sekolah biasa.

"Pak, Asa minta maaf ya. Asa belum bisa wujudin impian bapak," kataku di ruang inap rumah sakit 1 jam sebelum dioperasi

"Asa, dengerin bapak! bapak ngga bilang anak bapak harus jadi atlet, bapak cuman pengen anak bapak bisa sampai pelatnas. Jangan ngerasa salah gitu nak, yang penting kamu sehat dulu ya!"

flashback off

raket-raket ku dan medali-medali kejuaraan lokal yang telah aku dapatkan kini tersusun rapi di dinding rumah baruku ini.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
privateWhere stories live. Discover now