Prolog

28 4 0
                                        


Dulu di sebuah sekolah yang biasa-biasa saja, di antara lorong yang cat temboknya mulai memudar dan suara bel yang kadang sumbang, ada empat gadis dengan kisah yang tidak biasa. Mereka bukan siapa-siapa di mata dunia. Tapi bagi satu sama lain, mereka adalah dunia itu sendiri.

Natalie Althea Rinjani, atau Thea, adalah kepala dari semua kepala. Dia cepat menangkap pelajaran, selalu penasaran pada hal baru, memimpin kelompok dan tanpa sadar selalu jadi sorotan. Tapi sorotan tak selalu bersinar terang, kadang jadi silau, kadang menyakitkan. Dia tetap bukan apa-apa di mata seseorang yang jauh lebih jenius darinya. Yang paling Thea tutupi bukanlah kekurangannya, tapi luka dari ekspektasi dan komentar yang datang terlalu tajam.

Elowen Ayaline, atau Aya, adalah matahari bagi siapa pun yang bertemu dengannya. Selalu ceria, penuh cerita, dan tahu caranya membuat suasana jadi hangat. Tapi tidak ada yang tahu bahwa di balik tawanya yang lepas, ada gadis yang terus bertahan di bawah tekanan. Tekanan dari rumah, dari ekonomi, dari mimpi-mimpi yang ia tahu mungkin harus ia kubur pelan-pelan. Aya pandai menyembunyikan letihnya. Ia tidak suka dikasihani. Tapi setiap malam, ia berbicara pada langit, meminta satu hari saja di mana ia bisa bernapas tanpa beban.

Liora Aryasena, atau Lio, seperti udara dingin di pagi hari. Rasional, tegas, dan kadang tanpa filter. Ia punya logika setajam pisau, dan tak ragu menggunakannya, bahkan ke teman-temannya sendiri. Thea dan Aya sering kesal dibuatnya. Tapi meski Lio terkesan tidak peduli, tidak pernah ia biarkan satu pun dari mereka benar-benar jatuh. Ia mencintai lingkaran ini dengan caranya sendiri, diam-diam dan penuh pertimbangan. Mungkin cinta bukan prioritasnya, tapi persahabatan ini... adalah satu dari sedikit hal yang tak pernah ia ragukan.

Enara Salwa Maheswari, atau Nara, selalu jadi bayangan. Tidak menonjol, tidak mencolok. Tapi siapa bilang yang biasa tidak menyimpan luar biasa? Nara adalah tempat pulang bagi mereka bertiga, tanpa banyak kata, tanpa banyak syarat. Ia menyimpan luka seperti menyimpan rahasia: rapi dan dalam. Keluarganya tidak utuh. Harapannya pernah ada, lalu patah. Tapi ia tidak pernah menyalahkan siapa-siapa. Ia hanya belajar berjalan dengan kaki yang goyah dan senyum yang dipaksakan. Karena bagi Nara, pulang itu bukan tempat. Pulang adalah mereka.

Mereka dulu satu. Empat hati dalam satu lingkaran. Empat langit yang meski warnanya berbeda, tetap menyatu di satu atap yang sama.

Namun waktu memisahkan mereka. Thea dan Lio masih satu sekolah, tapi seperti dua planet yang jarang bersinggungan. Aya dan Nara mengambil jalur kejuruan agar bisa segera bekerja. Komunikasi mereka merenggang, hingga hanya menyisakan sisa-sisa memori dalam bentuk foto lama dan pesan yang tak lagi dibalas.

Dan saat semuanya terasa benar-benar berakhir... Tiba-tiba, Thea mendapat pesan.

Bukan chat. Bukan DM. Tapi sebuah email.

Tanpa pengirim.
Tanpa logo.
Tanpa subjek.

Hanya satu kalimat yang terbaca:
"Pemanggilan Empat Hati: Kunci Kenangan Ada di Tempat Kalian Tertinggal."

Until The 4 ReturnWhere stories live. Discover now