16 - Titik Cahaya

6.4K 832 19
                                    

Malam harinya, ayah duduk di pos ronda bersama beberapa warga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam harinya, ayah duduk di pos ronda bersama beberapa warga. Kala itu jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Beberapa orang tengah duduk santai sambil menghisap rokok dan menikmati segelas kopi. Begitu pula dengan ayah. Ini pertama kalinya sejak nenek meninggal, ayah memiliki waktu untuk bersantai bersama warga lainnya. Mama tengah tidur pulas di rumah, ayah bisa tenang keluar beberapa saat menghilangkan stress.

Kepala ayah bersandar di dinding pos, mulutnya menghisap sebatang rokok yang sisa setengah. Asap rokoknya mengepul dari bagian ujung, terus terbang dan menari-nari di bawah temaram cahaya lampu.

Di sampingnya, tiga orang tetangga termasuk hansip sedang sibuk bermain kartu. Sementara seorang penjual mi ayam sedang duduk sambil bertelepon ria dengan sang istri di kampung. Ayah lalu menoleh ke salah satu teman nongkrongnya. Pria botak itu bernama Agus. Setelah ayah menyenggolnya beberapa kali, akhirnya Agus menoleh.

“Kenapa, Bang?” tanyanya pada ayah. Kartu-kartu di tangannya pun ia taruh ke lantai.

“Gue mau nanya,” jawab ayah.

“Soal apa?” Agus kembali bertanya.

“Lu tau gak di mana tempat orang pinter yang bisa ngusir hawa negatif gitu?” Kini giliran ayah yang bertanya.

Mendengar ayah bertanya demikian, dua orang lainnya yang sedang main kartu mendadak menghentikan permainannya. Mereka sama-sama menatap ayah, sedikit kaget sekaligus senang dengan apa yang ayah ucapkan.

"Nah! Ini yang gue demen!” kata pria berkumis yang akrab disapa Bang Tohir.

“Hah? Demen kenapa?” tanya ayah.

“Bang, bang. Akhirnya lu ada inisiatif juga buat manggil orang pinter. Lu baru ngerasain apa gimana?” tanya seorang hansip yang juga ada di dekat mereka. “Lu sadar gak? Akhir-akhir ini kalo malem jalanan depan rumah lu sepi?” tambah sang hansip.

“Iya ya, sepi sih. Biasanya ada aja anak kecil main sampe jam sembilan. Ini kok abis magrib sepi ya?” kata ayah sambil mengangguk.

“Bang, itu karena gak ada yang berani lewat rumah lu. Semenjak Nek Murni meninggal, banyak kejadian aneh yang ada di rumah lu. Pokoknya aneh deh, serem kalo denger cerita warga. Semua warga juga udah tau,” tutur Agus menjelaskan.

Bang Tohir lalu menyahut. “Warga sebenernya mau nyuruh lu buat manggil orang pinter gitu. Cuma takutnya nanti lu tersinggung apa gimana, lagi juga keluarga lu masih berduka. Kita warga pada gak enak mau kasih tau,” ungkap Bang Tohir.

“Jadi kita ikut seneng deh, Bang. Kalo lu punya inisiatif sendiri manggil orang pinter. Berarti lu juga ngalamin, kan?” tanya Agus.

“Iya, Gus. Gue juga,” jawab ayah. “Jadi gimana nih? Gue harus kemana?” tanya ayah sekali lagi.

Agus menyeruput kopinya, setelah itu kembali menatap ayah. “Lu gue kasih alamat aja ya. Nanti lu datengin sendiri.” Tangan Agus mengambil pulpen dan sepotong kertas. Tangannya mulai menggoreskan ujung pulpen itu. Tinta hitamnya lalu membentuk huruf demi huruf yang merangkai berbagai kata.

7 Malam Setelah Nenek Meninggal (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang