“Ayah nyesel dulu bawa kamu!”

“Gak ada yang nyuruh Ayah bawa aku, lagian semua itu juga gara-gara perbuatan Ayah sendiri.”

“Berani jawab kamu, hah?!”

“Udahlah, Yah. Aku ngantuk mau tidur!”

Haidan berjalan menaiki tangga, tak menghiraukan Anton yang masih berdecak kesal dibawah sana. Bagi Haidan, kejadian seperti ini sudah biasa terjadi, bahkan hampir setiap hari. Entah sejak kapan perselisihan antara ia dan sang Ayah dimulai, tapi satu yang Haidan selalu ingat, yang ia lakukan hanya untuk melampiaskan kekesalannya atas semua perbuatan sang Ayah.

“HAIDAN, BERHENTI KAMU!!”

Haidan membanting pintu kamarnya, lantas ia langsung merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. matanya menerawang langit-langit kamarnya yang terlihat polos.

“Kalau aja dulu gue tau yang sebenarnya, gue gak bakal mau ikut sama Ayah!”

Haidan mengacak rambutnya frustasi, ia membalikan badannya menjadi tengkurap. Menyesali masa lalu memang tidak ada gunanya. Akan tetapi sekarang ia sendiri bingung, jalan mana yang harus ia ambil.

Haidan terbangun dari tidur singkatnya dengan napas memburu, ia mimpi buruk. Entah sejak kapan dirinya selalu memimpikan hal yang sama, dan menurutnya itu sangat menakutkan. Haidan menyibak selimutnya dengan kasar, melirik jam yang tergantung di dinding kamarnya, tepat pukul enam lewat lima belas menit, akhirnya ia memutuskan untuk beranjak ke kamar mandi, dan bersiap untuk sekolah.

Setelah selesai bersiap, ia berjalan menuruni tangga menuju ke lantai bawah. Lelaki itu telah siap menggunakan seragam putih abu-abu dengan dasi yang masih tergantung asal-asalan. Di bawah sana, terlihat sang adik yang terlihat menggunakan seragam yang sama dengan dirinya sedang menikmati sarapan bersama kedua orang tuanya.

“Haidan, sarapan dulu sini, Nak.”

Rosa berdiri dari duduknya, mempersilahkan sulungnya untuk bergabung bersama.

“Aku buru-buru, Mah. Nanti aku sarapan disekolah aja.” ucap Haidan tanpa menoleh sedikitpun kearah Mamanya.

“HAIDAN!!!”

Haidan mendesah pelan, apa berteriak adalah hobi sang Ayah sekarang, bahkan ketika aktivitas baru saja dimulai pun Anton sudah berteriak.

“Kenapa sih, Yah. Aku ada tugas, kalo sarapan di rumah nanti gak keburu.”

Anton berdiri dari duduknya, pasalnya bukan sekali dua kali Haidan menolak perhatian yang istrinya berikan.

“Udah, Pah. Mungkin Haidan emang lagi buru-buru. Ya sudah, kamu mau Mama bawain ini buat bekel?” tanya Mama lembut.

“Gak, Mah. Haidan makan di sekolah aja, Makasih.”

Haidan beranjak dengan sedikit tergesa, meninggalkan tiga orang yang masih setia duduk di meja makan.

Nathan, sang adik hanya diam. Akhir-akhir ini, pemandangan seperti ini memang hampir setiap hari terjadi. Entah masalah apa yang terjadi sebelumnya hingga susana dingin seperti ini tak pernah mencair.

“Nana juga berangkat ya,”

Nathan atau yang lebih akrab disapa Nana itu berdiri dari kursinya. Menyusul sang kakak yang terlihat sudah melaju dengan motornya.

•••••

Haidan memarkirkan motornya didepan sebuah warung yang berada di belakang sekolahnya, disana sudah ada teman-temannya yang menunggu. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan Haidan dan yang lainnya, mereka selalu berangkat pagi dari rumah, namun tidak langsung menuju sekolah, melainkan nongkrong di warung yang sudah mereka claim menjadi basecamp mereka ketika di sekolah.

Lost | Jeno Haechan✓Where stories live. Discover now