Cupang Hitam

0 0 0
                                    


Mona terus mengekor ke mana pun Haiko pergi. Ke balik terumbu karang, ke dasar bebatuan, ke sisi utara, hingga ke permukaan. Cupang yang kulabeli pria karena berukuran lebih besar itu tampak tidak risi. Bahkan, sesekali ia berbalik dan seperti mengajak Mona bicara.

Haiko kubeli sekitar setengah tahun lalu di penjual cupang pinggir jalan seharga 25 ribu. Harga paling mahal dari jenis-jenis lain yang diperdagangkan saat itu. Keseluruhan warna tubuh ikan ini sebenarnya biru tua. Akan tetapi, semakin mendekati ekor, warnanya akan memudar. Bagian kepala Haiko berwarna biru dengan bercak putih. Langit berawan seperti berapa  di kepalanya. That's why aku memilih membeli ikan ini.

Pernah kubelikan Haiko pasangan seminggu setelah keberadaannya di rumah. Seekor cupang merah muda seharga lima belas ribu dan berukuran lebih kecil. Akan tetapi, cupang yang kunamai Keia itu meninggal esoknya. Kata Ibu, mereka berlaga sepanjang malam sehingga salah satunya meregang nyawa.

Ucapan salam serta bunyi dorongan pintu mengalihkanku dari dua cupang ini. Ibu datang dengan plastik hitam diikuti seorang pemuda di belakangnya.

"Sudah makan, Der?" Aku menggeleng.

Mataku masih mengawasi Ibu, sedari ia masuk, meletakkan plastik hitam di meja tamu, kemudian hilang di balik tirai pintu. Pemuda yang mengekorinya menatapku sejenak.

"Apa lihat-lihat?" sewotnya. Aku berdecih lalu kembali menatap akuarium.

Pemuda itu adikku. Namanya Siba Wiranda. Berusia empat tahun di bawahku dan tengah mengenyam pendidikan di bangku kelas sebelas. Kami tidak dekat, terlebih karena perbedaan jenis kelamin pun karakter.

Dia pria yang sanggup menghabiskan waktunya mendekam di kamar dengan game online. Lupa beribadah sampai Ibu harus marah-marah dan aku tidak bisa ketinggalan bagian menceramahinya. Well, kami tidak dekat karena katanya aku selalu ikut campur.

'Adikku yang manis, setelah Ayah tidak di sini, peran Ibu bertambah. Sebagai kepala keluarga dan ibu rumah tangga. Jadi, jangan tambah beban, ya.'

Mona berenang ke sisi selatan akuarium ketika pelet kujatuhkan. Meninggalkan Haiko yang asik mengibas ekor pudarnya. Ikan bersirip kecil itu tidak terpengaruh kepergian Mona.

Ketika sedang menjatuhkan pelet di atas tubuh Haiko, ponsel di samping vas bunga menyala dan menampilkan pop up notifikasi pesan masuk. Aku menepuk kecil tangan menghilangkan bekas pelet. Setelah menekan tulisan "Buka", kutemukan lima pesan dari Keiza.

[Kamu serius sedang menyukai seseorang?]

[Sejak kapan?]

[Siapa orangnya?]

[Aku kenal tidak?]

[Kenapa tidak pernah cerita? Kita, kan, sahabat, Der.]

Aku tersenyum jenaka membaca pesan salah satu penghuni rumah sebelah itu. Mungkinkah ia lupa janjinya untuk tidak menceritakan tambatan hati masing-masing? Dasar pelupa!

Baru saja akan mengingatkan Keiza tentang janji itu, sebuah pesan lain masuk. Aku bergegas meninggalkan pesan yang belum terbalas itu. Membuka kolom percakapan lain bersama seseorang yang sukses buat dadaku dihiasi kembang api.

[Cantik.]

Bunyi pesan pria dengan foto profil menghadap senja itu mengomentari status whatsApp-ku. Satu kata yang mampu buatku lupa untuk membalas banyak kata milik Keiza.

[Apanya?]

Kulihat lagi foto yang diunggah sore tadi.
Keiza duduk di ayunan dan aku berdiri di belakangnya memeluk leher gadis itu sambil senyum segaris. Keiza berpose menyamping juga tersenyum sangat ceria sampai mulutnya setengah terbuka. Meski demikian, ia tetap terlihat cantik. Maka di sini, siapa yang dipujinya cantik?

[Pohonnya.]

Aku terkekeh kecil. Bersamaan dengan itu, puluhan pesan masuk dengan pengirim tetangga sebelah. Segera kuketik terima kasih–meski terkendala notifikasi–sebagai balasan atas pujiannya.

Puluhan pesan yang Keiza kirim hanya berisi panggilanku. Der, Der, dan Der. Aku lagi-lagi terkekeh. Beranjak melempar bokong di single sofa sambil membalas pesannya.

[Lebih baik kita tidak menceritakan kekasih atau orang yang kita sukai, Der. Ingat?]

Butuh waktu beberapa detik dua centang abu berubah menjadi biru. Tidak ada tanda-tanda si rambut sebahu sedang mengetik. Cukup lama aku menatap status aktif di bawah namanya hingga berubah menjadi terakhir dilihat. Aku mengetik lagi.

[Perasaan itu tidak seru kalau dibicarakan via tulisan. Ia butuh mata, butuh bersuara.]

Akhir dari pesan itu kuberi emoji tertawa. Belum sampai keluar dari aplikasi, Keiza sudah membalas dan berhasil membuatku tertawa.

[Sedang berinteraksi dengan gebetan. Memang situ saja yang bisa?]

Ucapan terima kasihku belum dibalas pemilik nama salah satu kabupaten di Indonesia itu. Aku membuka percakapan kami. Di bawah namanya tertulis waktu terakhir dilihat. Mendongak menatap jam dinding di tembok utara, kulihat masih menunjukkan pukul sembilan lebih sedikit. Pria itu pasti belum tidur, mungkin sedang mengerjakan tugas.

Mataku kembali fokus pada akuarium. Airnya sedikit keruh sebab pakan ikan telah larut. Di sana, Mona masih setia menempel pada Haiko. Cupang sepanjang kira-kira empat senti itu menggerakkan ekor dan siripnya dengan tenang.

Seandainya Mona bukan makhluk yang amis dan berlendir, aku sudah akan menciumnya sejak pertama kali hewan itu disodorkan. Ia pemberian sederhana dari orang istimewa. Teman kecil yang berhasil akrab dengan Haiko.

Aku tersenyum. Atas kerendahan hati Haiko berbagi tempat pada Mona, kuartikan sebagai penerimaan semesta kepada pria itu.

"Gila!"

Kata bermakna ejekan itu tertuju padaku. Ia keluar dari bibir Siba yang derap langkahnya terdengar dekat. Aku abai saja. Toh, dia tidak akan paham bahwa hal sepele terkait orang terkasih bisa menjadikan kita manusia maha bahagia.

Kenyataannya, Siba adalah makhluk paling julid jika berkaitan dengan Mona. Ia mengomentari banyak hal saat kupindahkan si kecil hitam dengan amat hati-hati. Ia mencibirku habis-habisan saat pamer pemberian pria itu.

"Hanya dua ribu, Kak Der. Tidak ada harganya."

Siba bahkan pernah mengomentari warna dan jenis Mona. Kalimat panjang lebar yang akhirnya membuat kami saling mendiamkan. Begini katanya, "Itu bukan cupang, melainkan kepala timah. Bakal Kakak dapatkan dengan mudah di telaga bahkan di parit. Tidak usah bahagia diberi barang murahan seperti itu."

Kalimat sarat cemoohan itu sukses menciptakan banjir di mataku. Aku berdiri kaku samping meja akuarium dengan tangan terkepal. Dadaku kembang kempis.

"Cupang berwarna hitam tidak ada cantik-cantiknya, Kak. Wajar Kakak diberinya. Ikan itu mungkin tidak berharga di matanya," lanjut Siba.

Aku setelah mencerna kalimat itu antara sakit hati dan bingung. Apakah benar? Namun, tatkala Siba berbalik dan melangkah pergi, tanganku menyambar vas bunga lalu melemparnya dekat kaki pria itu. Punggungnya tersentak kentara ia terkejut. Lantas, terdengar pekikan Ibu bersama derap wanita itu.

Aku pergi ke kamar meninggalkan segala kekacauan. Mengunci pintu dan menangis sejadi-jadinya. Rasanya sakit sekali saat orang terdekat tidak mendukung bahagiaku.

Bunyi benda yang dipukul ke lantai membuatku tersentak. Sedikit aku mengintip Siba di samping sepeda motornya. Ia sedang jongkok membersihkan sesuatu. Beberapa saat kemudian adikku itu berdiri, menenteng sepatu lalu duduk di ambang pintu.

"Jangan terlalu berharap, Kak."

Anak bungsu itu berucap tanpa melihatku. Jarinya cekatan merajut tali sepatu. Selesai. Ia lantas bangkit, menyalakan motor lalu menghilang. Perasaan asing seketika menelusup di dadaku. Di sana menghangat dan ... tertohok.

Bersambung....

Kebon Talo, 19 Agustus 2021.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 12, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

We Were in LoveWhere stories live. Discover now